Rokok menyebabkan
ketergantungan yang menjerat konsumennya tanpa pandang status sosial ekonomi
penggunanya. Konsumen rokok tidak lagi mempunyai pilihan untuk menentukan
apakah merokok atau menunda rokoknya demi memenuhi kebutuhan makan bagi
keluarganya. Akibat ketergantungan pada rokok, kebutuhan asupan makanan bergizi
bagi anak balita dalam keluarga miskin seringkali dikorbankan.
Demikian benang merah
diskusi terbatas yang diprakarsai Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli
Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI), Sabtu (9/5), di Kemang, Jakarta.
Diskusi bertema Kekurangan Gizi pada Balita dan Konsumsi Rokok Keluarga Miskin
ini melibatkan para pakar di bidang kesehatan dan gizi, para pengambil
kebijakan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi dan akademisi.
Dengan sumber daya ekonomi terbatas, 63 persen pria dewasa dari 20 persen penduduk termiskin
di Indonesia mengonsumsi 12 persen penghasilan bulanannya untuk membeli rokok yang merupakan pengeluaran kedua
setelah padi-padian. Data Susenas 2006 menunjukkan, pengeluaran untuk membeli
rokok adalah 5 kali lebih besar dari pengeluaran untuk telur dan susu, dua kali
lipat pengeluaran untuk ikan, dan 17 kali lipat pengeluaran untuk membeli
daging.
Studi pada 175.859 rumah tangga miskin perkotaan di
Indonesia selama tahun 1999-2003 mendapati, sebanyak 73,8 persen kepala keluarganya adalah perokok aktif,
dengan pengeluaran mingguan untuk membeli rokok 22 persen yang merupakan porsi
pengeluaran terbesar di atas beras. “Perilaku merokok kepala keluarga telah
menggeser pengeluaran yang seharusnya untuk membeli makanan dan meningkatkan
risiko gizi kurang, anak sangat kurus dan anak sangat pendek,” kata Prof Farid
Anfasa Moeloek.
Dalam studi sejenis pada
361.021 rumah tangga perkotaan dan pedesaan pada tahun yang sama membuktikan,
kematian bayi dan balita lebih tinggi pada keluarga yang orang tuanya merokok
daripada yang tidak merokok. Risiko kematian populasi balita dari keluarga
perokok berkisar 14 persen di perkotaan dan 24 persen di pedesaan.
Dengan angka kematian balita 162.000 per tahun
sebagaimana diungkapkan Unicef tahun 2006, maka konsumsi rokok pada keluarga
miskin menyumbang 32.400 kematian tiap tahun atau hampir 90 kematian balita per
hari. Dua faktor penyebab
langsung kekurangan gizi pada balita adalah asupan makanan dan penyakit infeksi
yang dipengaruhi kecukupan pangan, pola asuh, dan pelayanan kesehatan tidak
memadai, kata peneliti dari Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia,
Rita Damayanti.
Kecukupan pangan
berkaitan dengan ketersediaan pangan, daya beli keluarga, dan pemanfaatan
pangan. Daya beli cenderung hanya dikaitkan dengan tingkat pendapatan tanpa
memperhatikan bagaimana keluarga membelanjakan uangnya sehingga uang yang
tersedia menjadi tidak cukup untuk membeli makanan bergizi.
Maka dari itu, untuk
mengatasi masalah ekonomi keluarga miskin dan dampak lanjutannya pada status
gizi balita tidak cukup hanya dengan memberi tambahan uang (BLT) dan upaya
ekonomi produkti lain tanpa intervensi pada pola pengeluaran rumah tangga,
khususnya untuk membeli produk adiktif seperti rokok. “Karena itu,
arus-utamakan masalah tembakau pada gerakan sadar gizi dan pencapaian sasaran
pembangunan milenium (MDGs),” kata Roy Tjiong dari Hellen Keller International.
Arus-utamakan masalah
tembakau pada pedoman hidup bersih dan sehat, jadikan sekolah dan tempat-tempat
umum bebas rokok atau kawa san tanpa rokok, lipat gandakan cukai tembakau, dan
tegakkan fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang larangan merokok dengan
meratifikasi aksesi Konvensi Internasional Pengendalian Tembakau atau FCTC dan
advokasi Rancangan Undang Undang Pengendalian Dampak Tembakau, ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar