Selasa, 22 Mei 2012

MENUJU DEMORALISASI



Rasa galau, risau dan takut, terus membalut nurani bangsa ini. Tidak semua memang, namun hampir umumnya masyarakat Indonesia kini dengan penuh cemas menatap masa depan bangsanya sendiri. Kegalauan, kerisauan dan rasa takut tersebut, bukan datang secara tiba-tiba, bukan pula sekedar berpura-pura. Perasaan yang datang dari sebuah realitas bangsa yang kini terus berubah mengejar sumbu perubahan yang tidak lepas dari benturan-benturan serta goncangan budaya (culture shock), agama dan lain sebagainya.

Indonesia, sebagai Negara yang sedang berkembang (developing country), terus berpacu mengejar posisi puncak sejalan dengan derasnya pengaruh arus global yang datang dari negeri – negeri yang sudah maju dan mapan. Sebagai bagian dari masyarakat global yang terus berubah, bangsa Indonesia pun, tidak terlepas dari pengaruhi globalisasi yang kini ada menusuk ke relung hati bangsa ini. Sehingga konsep berbangsa yang ideal yang dituangkan dalam konsep Negara Pancasila, sebagai konsep bangsa yang bermartabat dan bermoral mulia, hanya tinggal konsep yang digerus masa.

Bangsa ini konon, bukan menuju ke arah bangsa yang semakin bermartabat dan bermoralitas tinggi, tetapi sebaliknya terjungkal dalam jurang aib dan hampir dikatakan tidak bermoral. Buktinya, hampir tidak ada satu anak bangsa pun yang dapat dipercayakan untuk menjalankan amanah bangsa. Bangsa kita menjadi bangsa yang digambarkan Muchtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia. Bangsa yang tidak jujur, suka menerabas, korup dan lain-lain. Ungkapan-ungkapan serupa, bukan hanya ada di dalam catatannya Muchtar Lubis, tetapi dalam banyak buku yang ditulis oleh mereka yang kritis memandang bangsa ini. Almarhum Franky Sahilatua, menyebutkan dalam syair lagunya tentang bangsa Negara Indonesia dengan sebuah perahu retak. Masih banyak ungkapan anak-anak bangsa ini yang kecewa melihat perubahan yang tidak sehat terhadap bangsa dan Negara ini sejak dahulu, bukan keprihatinan kekinian saja.

Kini, bahkan ungkapan kekecewaan bukan hanya menjadi milik rakyat kecil, tetapi jutaan rakyat Indonesia. Harian Kompas edisi 20 Juni 2011, di halaman depan menulis “ Kerusakan Moral Bangsa mencemaskan”. Lebih lanjut sebut Kompas “ kerusakan moral bangsa sudah sangat mencemaskan karena terjadi di hampir semua lini, baik di birokrasi pemerintahan, aparat penegak hukum, maupun masyarakat umum. Jika kondisi ini dibiarkan Negara bisa menuju ke arah kehancuran”.

Lebih lanjut Kompas memberitakan bahwa di kalangan birokrasi pemerintahan, hampir semua lembaga Negara tidak bersih dari kasus korupsi. Hingga saat ini, misalnya, tercatat 158 kepala daerah, yang terdiri atas gubernur, walikota dan bupati, tersangkut kasus korupsi. Beberapa di antaranya sudah divonis bersalah. Sedikkitnya 42 anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2001. Bukan hanya itu, penegak hukum seperti hakim, pegawai kejaksaan dan polisi juga mengalami krisis moral yang mencemaskan kita. Nah, begitu burukkah potret diri para penguasa, pejabat, penegak hukum dan moralitas bangsa ini? Sayangnya kondisi mentalitas buruk semacam ini seperti terpelihara dengan baik di negeri ini. Sehingga setiap orang cendrung dan terdorong untuk melakukan tindak korupsi yang semakin besar, sebab bila melakukan korupsi sedikit-sedikit, belit hukumannya juga akan lebih istimewa bagi pelaku korupsi yang diatas 5 milyar rupiah. Jadi kalau mau mandi, ya basah sekalian. Jangan tanggung-tanggung. Ironis bukan?

Kehancuran moral tidak saja menggerogoti para penyelenggara Negara dan penegak hokum, masyarakat Indonesiapun ikut terkontaminasi dengan budaya kekerasan, tidak sabar, tidak jujur, hilangnya rasa malu dan juga semakin individualistis. Nilai-nilai social yang dahulu kuat dan mengkristal dalam pola hubungan kekeraban, kini terkikis hampir habis. Wajar saja, sikap musyawarah, gotong royong kiranya hanya menjadi slogan-slogan belaka. Masyarakat dengan segala bentuk kekecewaan, meninggalkan budaya dan tradisi itu. Nilai nilai kejujuran, sabar semakin menjadi mahal. Yang ada saat ini masyarakat kita dengan mudah memilih melakukan tindak kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Buktinya selama bertahun – tahun kita menyaksikan aksi tawuran, mulai dari tawuran warga, hingga tawuran pelajar yang sedang mengenyam dunia pendidikan. Tawuran malah kemudian menjadi budaya turun temurun. Bukan hanya itu, pendekatan-pendekatan radikalisme cendrung menjadi pilihan dalam bentuk terror dan sebagainya, dunia pendidikan kita juga semakin jauh dari nilai kejujuran. Celakanya yang jujur dikorbankan, yang tidak jujur malah diselamatkan. Aneh bukan? Inilah kenyataan di negeri ini. Sudah banyak contoh yang kita saksikan selama ini. Ingatkah pembaca dengan kasus kecurangan massal yang dilakukan SD Gadel Surabaya? Siapa gerangan yang kemudian menjadi tumbal? Jawabnya adalah yang jujur.
Realitas ini membuktikan bahwa masyarakat kita semakin tergiring ke jalan yang demoralisasi dan cendrung memilih sikap yang apatis, permisif dan destruktif dalam segala hal, termasuk dalam gaya kehidupan yang serba bebas dari nilai-nilai moral, agama dan adat istiadat. Nilai-nilai moral lewat ajaran faham bernegara, yakni Pancasila kini juga terus ditinggalkan terserak-serak. Begitu juga dengan nilai-nilai dan norma agama, semakin runtuh dan jauh dari penghayatan dan implementasi secara benar.

Ketika pemaham, ketrampilan dan sikap bernegara dan beragama semakin rapuh, maka segala bentuk praktek ketidakjujuran, kecurangan serta hal-hal yang dekonstruktif, terjadi secara mudah di dalam masyarakat kita. Segala hal yang dahulu tabu, kini menjadi biasa dan bahkan dianggap kuno. Sehingga, bukan hal aneh kalau di dalam masyarakat kita, ditemukan berbagai praktek-praktek yang merusak diri dan moralitas diri serta merugikan orang lain. Nilai-nilai kebebasan menjadi segala-galanya sebagai bentu gaya hidup modern. Gaya modern yang juga sering disalah artikan dalam praktek kehidupan sehari-hari.

Kini, di tengah hiruk pikuk perubahan zaman yang kita pilih, ternyata mengarahkan kita pada kehidupan yang demoralisasi itu, membuat hati kita menjadi galau, risau dan bahkan ada yang merasa takut, karena saat ini kehancuran ,moral bangsa kita semakin mencemaskan. Di tengah kegalauan ini, ada pihak-pihak tertentu yang mencoba mensikapi kondisi buruk ini dengan cara mendorong masyarakat kita untuk segera melakukan perbaikan di semua lini. Sebuah beban dan tugas yang sangat berat kala harus memperbaiki di semua lini. Persoalannya, memperbaiki ini bukan seperti merubah ritme mesin atau robot, tetapi paradigma berfikir, bersikap dan bertindak yang sudah terlanjur berubah dengan arah salah atau keliru. Ini persoalan gaya hidup yang didorong oleh konsumerisme, kapitalisme dan dekadensi moral. Artinya terkait dengan persoalan moral yang rusak. Piranti moralitas sesuatu yang sangat abstrak, rohaniah dan spiritualitas. Kehilangan rasa malu dan hati nurani. Tentu perbaikannya tidak seperti membalik telapak tangan. Merubah yang rusak lebih sulit dibandingkan kala berproses menjadi rusak, apalagi kalau kerusakan yang sistemik.

Oleh sebab itu, sebelum mendorong perubahan ke arah perbaikan, diperlukan upaya untuk mencari akar persoalan dari demoralisasi ini. Ini perlu agar tidak salah dalam mendiagnosa dan pemulihan. Strateginya juga harus secara sistematis dan menyentuh landasan yang paling dasar, yakni keluarga dan keimanan setiap insan. Disadari atau tidak, fungsi pendidikan dalam keluarga selama bertahun-tahun telah diserahkan bulat-bulat pada sekolah-sekolah yang tidak kredibel. Orang tua beranggapan bahwa sekolah bisa menanamkan kejujuran, rasa malu dan keimanan, padahal lembaga pendidikan juga sudah sangat rusak, tidak jujur, karena mengejar prestise belaka. Sekolah hanya berhasil secara kecil-kecilan merubah domain kognitif dan psycomotoric, tetapi gagal merubah domain afektifnya. Wajar saja, kalau orientasi sekolah saat ini hanya mengejar nilai (angka) yang tinggi, bukan pada kecerdasan intelektualitas yang mampu membangun kehidupan mandiri sebagai wujud manusia Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa. 

Disinilah diperlukan upaya mengembalikan kesadaran utama orang tua untuk melangsungkan pendidikan keluarga secara intensif dan benar. Keluarga pada dasarnya adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Agar bisa berinergi, maka tri pusat pendidikan yang digagas oleh Ki hajar Dewantara, perlu disimpulkan kembali agar konrol social bisa berjalan. Dengan demikian, keluarga, sekolah dan masyarakat akan menjadi sebuah kekuatan untuk mengontrol perilaku masyarakat secara benar. Di samping itu, peran ulama dan pemimpin agama lainnya perlu didorong dan dihindari dari intervensi kepentingan politik. Ulama atau pemimpin agama secara independen difungsikan untuk membangun kesadaran masyarakat, pemerintah serta lembaga legislative untuk kembali ke jalan yang benar, menjadi bangsa yang beradab dengan peradaban sendiri yang lebih manusiawi, bukan ke jalan demoralisasi yang dan menghancurkan bangsa ini. Mari kita tumbuhkan kembali rasa malu, agar moralitas selalu terjaga.


Oleh Tabrani Yunis

Penulis adalah Redaktur Majalah POTRET, Media perempuan Aceh

http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/09/menuju-demoralisasi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar