Rasa galau, risau dan
takut, terus membalut nurani bangsa ini. Tidak semua memang, namun
hampir umumnya masyarakat Indonesia kini dengan penuh cemas menatap masa
depan bangsanya sendiri. Kegalauan, kerisauan dan rasa takut tersebut,
bukan datang secara tiba-tiba, bukan pula sekedar berpura-pura. Perasaan
yang datang dari sebuah realitas bangsa yang kini terus berubah
mengejar sumbu perubahan yang tidak lepas dari benturan-benturan serta
goncangan budaya (culture shock), agama dan lain sebagainya.
Indonesia, sebagai Negara yang sedang berkembang (developing country),
terus berpacu mengejar posisi puncak sejalan dengan derasnya pengaruh
arus global yang datang dari negeri – negeri yang sudah maju dan mapan.
Sebagai bagian dari masyarakat global yang terus berubah, bangsa
Indonesia pun, tidak terlepas dari pengaruhi globalisasi yang kini ada
menusuk ke relung hati bangsa ini. Sehingga konsep berbangsa yang ideal
yang dituangkan dalam konsep Negara Pancasila, sebagai konsep bangsa
yang bermartabat dan bermoral mulia, hanya tinggal konsep yang digerus
masa.
Bangsa ini konon,
bukan menuju ke arah bangsa yang semakin bermartabat dan bermoralitas
tinggi, tetapi sebaliknya terjungkal dalam jurang aib dan hampir dikatakan tidak bermoral. Buktinya,
hampir tidak ada satu anak bangsa pun yang dapat dipercayakan untuk
menjalankan amanah bangsa. Bangsa kita menjadi bangsa yang digambarkan
Muchtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia. Bangsa yang tidak jujur,
suka menerabas, korup dan lain-lain. Ungkapan-ungkapan serupa, bukan
hanya ada di dalam catatannya Muchtar Lubis, tetapi dalam banyak buku
yang ditulis oleh mereka yang kritis memandang bangsa ini. Almarhum Franky Sahilatua, menyebutkan dalam syair lagunya tentang bangsa Negara Indonesia dengan sebuah perahu retak. Masih
banyak ungkapan anak-anak bangsa ini yang kecewa melihat perubahan yang
tidak sehat terhadap bangsa dan Negara ini sejak dahulu, bukan
keprihatinan kekinian saja.
Kini, bahkan ungkapan kekecewaan bukan hanya menjadi milik rakyat kecil, tetapi jutaan rakyat Indonesia. Harian Kompas edisi 20 Juni 2011, di halaman depan menulis “ Kerusakan Moral Bangsa mencemaskan”. Lebih lanjut sebut Kompas “ kerusakan moral bangsa sudah sangat mencemaskan karena terjadi
di hampir semua lini, baik di birokrasi pemerintahan, aparat penegak
hukum, maupun masyarakat umum. Jika kondisi ini dibiarkan Negara bisa
menuju ke arah kehancuran”.
Lebih lanjut Kompas
memberitakan bahwa di kalangan birokrasi pemerintahan, hampir semua
lembaga Negara tidak bersih dari kasus korupsi. Hingga saat ini,
misalnya, tercatat 158 kepala daerah, yang terdiri atas gubernur,
walikota dan bupati, tersangkut kasus korupsi. Beberapa di antaranya
sudah divonis bersalah. Sedikkitnya 42 anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2001. Bukan hanya itu, penegak hukum seperti hakim, pegawai
kejaksaan dan polisi juga mengalami krisis moral yang mencemaskan kita.
Nah, begitu burukkah potret diri para penguasa, pejabat, penegak hukum
dan moralitas bangsa ini? Sayangnya kondisi mentalitas buruk semacam ini seperti terpelihara dengan baik di negeri ini. Sehingga
setiap orang cendrung dan terdorong untuk melakukan tindak korupsi yang
semakin besar, sebab bila melakukan korupsi sedikit-sedikit, belit
hukumannya juga akan lebih istimewa bagi pelaku korupsi yang diatas 5
milyar rupiah. Jadi kalau mau mandi, ya basah sekalian. Jangan
tanggung-tanggung. Ironis bukan?
Kehancuran moral tidak saja menggerogoti para penyelenggara Negara dan penegak hokum, masyarakat Indonesiapun ikut terkontaminasi dengan budaya kekerasan, tidak sabar, tidak jujur, hilangnya rasa malu dan juga semakin individualistis. Nilai-nilai
social yang dahulu kuat dan mengkristal dalam pola hubungan kekeraban,
kini terkikis hampir habis. Wajar saja, sikap musyawarah, gotong royong
kiranya hanya menjadi slogan-slogan belaka. Masyarakat dengan segala
bentuk kekecewaan, meninggalkan budaya dan tradisi itu. Nilai nilai
kejujuran, sabar semakin menjadi mahal. Yang ada saat ini
masyarakat kita dengan mudah memilih melakukan tindak kekerasan dalam
menyelesaikan masalah. Buktinya selama bertahun – tahun kita menyaksikan
aksi tawuran, mulai dari tawuran warga, hingga tawuran pelajar yang
sedang mengenyam dunia pendidikan. Tawuran malah kemudian menjadi budaya
turun temurun. Bukan hanya itu, pendekatan-pendekatan radikalisme
cendrung menjadi pilihan dalam bentuk terror dan sebagainya, dunia
pendidikan kita juga semakin jauh dari nilai kejujuran. Celakanya yang
jujur dikorbankan, yang tidak jujur malah diselamatkan. Aneh bukan?
Inilah kenyataan di negeri ini. Sudah banyak contoh yang kita saksikan
selama ini. Ingatkah pembaca dengan kasus kecurangan massal yang
dilakukan SD Gadel Surabaya? Siapa gerangan yang kemudian menjadi
tumbal? Jawabnya adalah yang jujur.
Realitas ini membuktikan bahwa masyarakat kita semakin
tergiring ke jalan yang demoralisasi dan cendrung memilih sikap yang
apatis, permisif dan destruktif dalam segala hal, termasuk dalam gaya
kehidupan yang serba bebas dari nilai-nilai moral, agama dan adat
istiadat. Nilai-nilai moral lewat ajaran faham bernegara,
yakni Pancasila kini juga terus ditinggalkan terserak-serak. Begitu juga
dengan nilai-nilai dan norma agama, semakin runtuh dan jauh dari
penghayatan dan implementasi secara benar.
Ketika pemaham,
ketrampilan dan sikap bernegara dan beragama semakin rapuh, maka segala
bentuk praktek ketidakjujuran, kecurangan serta hal-hal yang
dekonstruktif, terjadi secara mudah di dalam masyarakat kita. Segala hal
yang dahulu tabu, kini menjadi biasa dan bahkan dianggap kuno. Sehingga,
bukan hal aneh kalau di dalam masyarakat kita, ditemukan berbagai
praktek-praktek yang merusak diri dan moralitas diri serta merugikan orang lain. Nilai-nilai
kebebasan menjadi segala-galanya sebagai bentu gaya hidup modern. Gaya
modern yang juga sering disalah artikan dalam praktek kehidupan
sehari-hari.
Kini, di tengah hiruk
pikuk perubahan zaman yang kita pilih, ternyata mengarahkan kita pada
kehidupan yang demoralisasi itu, membuat hati kita menjadi
galau, risau dan bahkan ada yang merasa takut, karena saat ini
kehancuran ,moral bangsa kita semakin mencemaskan. Di tengah kegalauan
ini, ada pihak-pihak tertentu yang mencoba mensikapi kondisi buruk ini
dengan cara mendorong masyarakat kita untuk segera melakukan perbaikan
di semua lini. Sebuah beban dan tugas yang sangat berat kala harus
memperbaiki di semua lini. Persoalannya, memperbaiki ini bukan
seperti merubah ritme mesin atau robot, tetapi paradigma berfikir,
bersikap dan bertindak yang sudah terlanjur berubah dengan arah salah
atau keliru. Ini persoalan gaya hidup yang didorong oleh konsumerisme,
kapitalisme dan dekadensi moral. Artinya terkait dengan persoalan moral
yang rusak. Piranti moralitas sesuatu yang sangat abstrak,
rohaniah dan spiritualitas. Kehilangan rasa malu dan hati nurani. Tentu
perbaikannya tidak seperti membalik telapak tangan. Merubah yang rusak
lebih sulit dibandingkan kala berproses menjadi rusak, apalagi kalau
kerusakan yang sistemik.
Oleh sebab itu,
sebelum mendorong perubahan ke arah perbaikan, diperlukan upaya untuk
mencari akar persoalan dari demoralisasi ini. Ini perlu agar tidak salah
dalam mendiagnosa dan pemulihan. Strateginya juga harus secara
sistematis dan menyentuh landasan yang paling dasar, yakni keluarga dan
keimanan setiap insan. Disadari atau tidak, fungsi
pendidikan dalam keluarga selama bertahun-tahun telah diserahkan
bulat-bulat pada sekolah-sekolah yang tidak kredibel. Orang tua
beranggapan bahwa sekolah bisa menanamkan kejujuran, rasa malu dan
keimanan, padahal lembaga pendidikan juga sudah sangat rusak, tidak
jujur, karena mengejar prestise belaka. Sekolah hanya berhasil secara
kecil-kecilan merubah domain kognitif dan psycomotoric, tetapi gagal
merubah domain afektifnya. Wajar saja, kalau orientasi sekolah saat ini
hanya mengejar nilai (angka) yang tinggi, bukan pada kecerdasan
intelektualitas yang mampu membangun kehidupan mandiri sebagai wujud
manusia Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Disinilah
diperlukan upaya mengembalikan kesadaran utama orang tua untuk
melangsungkan pendidikan keluarga secara intensif dan benar. Keluarga
pada dasarnya adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Agar
bisa berinergi, maka tri pusat pendidikan yang digagas oleh Ki hajar
Dewantara, perlu disimpulkan kembali agar konrol social bisa berjalan.
Dengan demikian, keluarga, sekolah dan masyarakat akan menjadi sebuah
kekuatan untuk mengontrol perilaku masyarakat secara benar. Di samping
itu, peran ulama dan pemimpin agama lainnya perlu didorong dan dihindari
dari intervensi kepentingan politik. Ulama atau pemimpin agama secara
independen difungsikan untuk membangun kesadaran masyarakat, pemerintah
serta lembaga legislative untuk kembali ke jalan yang benar, menjadi
bangsa yang beradab dengan peradaban sendiri yang lebih manusiawi, bukan ke jalan demoralisasi yang dan menghancurkan bangsa ini. Mari kita tumbuhkan kembali rasa malu, agar moralitas selalu terjaga.
Oleh Tabrani Yunis
Penulis adalah Redaktur Majalah POTRET, Media perempuan Aceh
http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/09/menuju-demoralisasi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar