Minggu, 20 Mei 2012

MEMAAFKAN ITU INDAH



Siapa di antara kita yang tak pernah melakukan kesalahan?
Siapa pun kita pasti ada melakukan kesalahan, kekhilafan, dan kealpaan. Tak pelak, manusia itu pulalah yang menjadi tempat “bersemayamnya” kesalahan.
Tinggal lagi soal kualitas dan kuantitas kesalahan itu sendiri. Soal kualitas, artinya menyangkut kadar atau berat, dan soal kuantitas menyangkut banyak atau seringnya Ada pun segala besaran kesalahan itu ada cara dan alamat penyesaiannya untuk seseorang memperbaiki agama.
Walaupun Allah telah banyak menjelaskan dalam firman- firman Nya, bahwa salah satu ciri orang yang bertaqwa adalah memaafkan kesalahan orang lain, namun dalam prakteknya memaafkan adalah bukan perkara yang mudah.
Masih ingatkah kita akan kisah Abu Bakar As-Shiddiq yang pada suatu hari bersumpah untuk tidak lagi membantu Misthah bin Atsatsah, salah seorang kerabatnya?
Begitu berat kenyataan itu bagi beliau karena Misthah bin Atsatsah telah ikut menyebarkan berita bohong tentang putri beliau yaitu siti Aisyah. Tetapi Allah yang maha Rahman melarang sikap Abu Bakar tersebut, sehingga turunlah ayat ke-22 dari surah An-Nur.
Dan Janganlah orang-orang yang mempunyai kemuliaan dan kelapangan di antara kamu untuk tidak menyantuni kerabat=kerabat, orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah. Hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak menyukai bahwa Allah akan mengampunimu? Sesungguhnya, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nur: 22)
Ayat ini mengajarkan kepada kita agar melakukan sebuah hal mulia kepada orang yang pernah berbuat dosa kepada diri kita, yaitu mema’afkan. Dan sebuah kema’afan masih belum sempurna ketika masih tersisa ganjalan, apalagi dendam yang membara didalam hati kita.
MEMA’AFKAN adalah antara sifat terpuji yang perlu dilakukan sepanjang masa.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“…..Dan kalau kamu ma’afkan, ini adalah lebih dekat kepada taqwa”. (Surah al-Baqarah, ayat 237)
Menurut Imam Al-Ghazali, pengertian ma’af itu ialah apabila anda mempunyai hak untuk membalas, lalu anda gugurkan hak itu, dan bebaskan orang yang patut menerima balasan itu, dari hukum qisas atau hukum denda.
Dalam sebuah hadis qudsi Allah Azza wa Jalla berfirman.
Nabi Musa telah bertanya kepada Allah, wahai Tuhanku!, manakah hamba-Mu yang lebih mulia menurut pandanganMu?
Allah Azza wa Jalla berfirman.
adalah orang yang apabila berkuasa (menguasai musuhnya) dapat segera mema’afkan.”
Daripada hadis itu, Allah menjelaskan bahawa hamba yang mulia di sisi Allah adalah mereka yang berhati mulia, bersikap lembut, mempunyai toleransi tinggi dan bertolak ansur terhadap musuh.
Dia tidak bertindak membalas dendam atau sakit hati terhadap orang yang memusuhinya, walaupun telah ditawannya, melainkan mema’afkannya karena Allah semata-mata. Orang yang seperti inilah yang dikenali berhati emas, terpuji kedudukannya di sisi Allah. Memaafkan lawan di mana kita berada dalam kemenangan, kita berkuasa, tetapi tidak dapat bertindak sekehendak hati. Inilah sifat mulia dan terpuji.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan daripada Tuhan kamu, dan mendapat surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang yang bertakwa.” (Surah Ali Imran, ayat 133)
Ayat itu membuktikan bahawa orang yang menahan kemarahannya, termasuk dalam golongan Muttaqin iaitu orang yang bertakwa kepada Allah. Tambahan pula Allah akan memberikan pengampunan kepada mereka, lalu menyediakan mereka balasan syurga. Alangkah besar dan hebatnya ganjaran bagi manusia pemaaf.

Mema’afkan dalam Islam
Memaafkan kesalahan seseorang adalah tanda orang yang bertakwa. Wajib memberi maaf jika telah diminta dan lebih baik lagi memaafkan meskipun tidak diminta.
Sifat “tak kenal maaf” atau ‘tiada maaf bagimu’ adalah sifat syaitan. Ia akan membawa keretakan dan kerusakan dalam pergaulan bermasyarakat. Masyarakat aman damai akan terwujud jika anggota masyarakat itu memiliki sikap pemaaf dan mengerti bahwa manusia tidak terlepas dari pada salah dan alpa.
Imam Al-Ghazali memberi tiga panduan bagi memadamkan api kemarahan dan melahirkan sifat pemaaf. Apabila marah hendaklah mengucap “A’uzubillahiminassyaitanirrajim” (aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk).
Apabila marah itu muncul ketika berdiri, maka hendaklah segera duduk, jika duduk hendaklah segera berbaring.  Orang yang sedang marah, sunat baginya mengambil wuduk dengan air yang dingin. Hal ini karena kemarahan itu berasal daripada api, dan api itu dipadamkan dengan air.
|
Mudah mema’afkan, penyayang terhadap sesama Muslim dan lapang dada terhadap kesalahan orang merupakan amal shaleh yang keutamaannya besar dan sangat dianjurkan dalam Islam.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
Berilah ma’af dan suruhlah mengerjakan kebaikan serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. (al-A’raf [7]:199)
Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, kamu bersikap lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Maka maafkanlah mereka, dan mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam sesuatu urusan. Maka apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal.  (Ali Imran [3]:159)
Bahkan sifat ini termasuk ciri hamba Allah Azza wa Jalla yang bertakwa kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya.
 (yaitu) Orang-orang yang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya serta (mudah) mema’afkan kesalahan orang lain. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan. (Ali-Imran [3]:134)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khsusus menggambarkan besarnya keutamaan dan pahala sifat mudah memaafkan di sisi Allah Azza wa Jalla dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat)
Artinya bertambahnya kemuliaan orang yang pema’af di dunia adalah dengan dia dimuliakan dan diagungkan di hati manusia lainnya karena sifatnya yang mudah memaafkan orang lain, sedangkan di akhirat dengan besarnya ganjaran pahala dan keutamaan di sisi Allah Azza wa Jalla.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar