Siapa di antara kita yang
tak pernah melakukan kesalahan?
Siapa pun kita pasti ada
melakukan kesalahan, kekhilafan, dan kealpaan. Tak pelak, manusia itu pulalah
yang menjadi tempat “bersemayamnya” kesalahan.
Tinggal lagi soal
kualitas dan kuantitas kesalahan itu sendiri. Soal kualitas, artinya menyangkut
kadar atau berat, dan soal kuantitas menyangkut banyak atau seringnya Ada pun
segala besaran kesalahan itu ada cara dan alamat penyesaiannya untuk seseorang
memperbaiki agama.
Walaupun Allah telah
banyak menjelaskan dalam firman- firman Nya, bahwa salah satu ciri orang yang
bertaqwa adalah memaafkan kesalahan orang lain, namun dalam prakteknya
memaafkan adalah bukan perkara yang mudah.
Masih ingatkah kita akan
kisah Abu Bakar As-Shiddiq yang pada suatu hari bersumpah untuk tidak lagi
membantu Misthah bin Atsatsah, salah seorang kerabatnya?
Begitu berat kenyataan
itu bagi beliau karena Misthah bin Atsatsah telah ikut menyebarkan berita
bohong tentang putri beliau yaitu siti Aisyah. Tetapi Allah yang maha Rahman
melarang sikap Abu Bakar tersebut, sehingga turunlah ayat ke-22 dari surah
An-Nur.
“Dan Janganlah orang-orang yang mempunyai kemuliaan dan
kelapangan di antara kamu untuk tidak menyantuni kerabat=kerabat, orang-orang
yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah. Hendaklah mereka
mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak menyukai bahwa Allah akan mengampunimu?
Sesungguhnya, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS
An-Nur: 22)
Ayat ini mengajarkan
kepada kita agar melakukan sebuah hal mulia kepada orang yang pernah berbuat
dosa kepada diri kita, yaitu mema’afkan. Dan sebuah kema’afan masih belum
sempurna ketika masih tersisa ganjalan, apalagi dendam yang membara didalam
hati kita.
MEMA’AFKAN adalah antara
sifat terpuji yang perlu dilakukan sepanjang masa.
Allah Azza wa Jalla
berfirman.
“…..Dan kalau kamu ma’afkan,
ini adalah lebih dekat kepada taqwa”. (Surah al-Baqarah,
ayat 237)
Menurut Imam Al-Ghazali,
pengertian ma’af itu ialah apabila anda mempunyai hak untuk membalas, lalu anda
gugurkan hak itu, dan bebaskan orang yang patut menerima balasan itu, dari
hukum qisas atau hukum denda.
Dalam sebuah hadis qudsi
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Nabi Musa telah
bertanya kepada Allah, wahai Tuhanku!, manakah hamba-Mu yang lebih mulia
menurut pandanganMu?”
Allah Azza wa Jalla
berfirman.
“adalah orang yang
apabila berkuasa (menguasai musuhnya) dapat segera mema’afkan.”
Daripada hadis itu, Allah
menjelaskan bahawa hamba yang mulia di sisi Allah adalah mereka yang berhati
mulia, bersikap lembut, mempunyai toleransi tinggi dan bertolak ansur terhadap
musuh.
Dia tidak bertindak
membalas dendam atau sakit hati terhadap orang yang memusuhinya, walaupun telah
ditawannya, melainkan mema’afkannya karena Allah semata-mata. Orang yang
seperti inilah yang dikenali berhati emas, terpuji kedudukannya di sisi Allah.
Memaafkan lawan di mana kita berada dalam kemenangan, kita berkuasa, tetapi
tidak dapat bertindak sekehendak hati. Inilah sifat mulia dan terpuji.
Allah Azza wa Jalla
berfirman.
“Dan bersegeralah kamu
kepada ampunan daripada Tuhan kamu, dan mendapat surga yang luasnya seluas
langit dan bumi, yang disediakan bagi orang yang bertakwa.” (Surah Ali
Imran, ayat 133)
Ayat itu membuktikan
bahawa orang yang menahan kemarahannya, termasuk dalam golongan Muttaqin iaitu
orang yang bertakwa kepada Allah. Tambahan pula Allah akan memberikan
pengampunan kepada mereka, lalu menyediakan mereka balasan syurga. Alangkah
besar dan hebatnya ganjaran bagi manusia pemaaf.
Mema’afkan dalam Islam
Memaafkan kesalahan
seseorang adalah tanda orang yang bertakwa. Wajib memberi maaf jika telah
diminta dan lebih baik lagi memaafkan meskipun tidak diminta.
Sifat “tak
kenal maaf” atau ‘tiada maaf bagimu’ adalah sifat syaitan.
Ia akan membawa keretakan dan kerusakan dalam pergaulan bermasyarakat.
Masyarakat aman damai akan terwujud jika anggota masyarakat itu memiliki sikap
pemaaf dan mengerti bahwa manusia tidak terlepas dari pada salah dan alpa.
Imam Al-Ghazali memberi
tiga panduan bagi memadamkan api kemarahan dan melahirkan sifat pemaaf. Apabila
marah hendaklah mengucap “A’uzubillahiminassyaitanirrajim” (aku
berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk).
Apabila marah itu muncul
ketika berdiri, maka hendaklah segera duduk, jika duduk hendaklah segera
berbaring. Orang yang sedang marah, sunat baginya mengambil wuduk dengan
air yang dingin. Hal ini karena kemarahan itu berasal daripada api, dan api itu
dipadamkan dengan air.
|
Mudah mema’afkan,
penyayang terhadap sesama Muslim dan lapang dada terhadap kesalahan orang
merupakan amal shaleh yang keutamaannya besar dan sangat dianjurkan dalam
Islam.
Allah Azza wa Jalla
berfirman.
Berilah ma’af dan suruhlah mengerjakan kebaikan serta
berpalinglah daripada orang-orang yang
bodoh. (al-A’raf [7]:199)
Dalam ayat lain, Allah
Azza wa Jalla berfirman.
Maka disebabkan rahmat
dari Allah-lah, kamu bersikap lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekitarmu. Maka maafkanlah mereka, dan mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam sesuatu urusan. Maka apabila kamu telah
membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakal. (Ali Imran [3]:159)
Bahkan sifat ini termasuk
ciri hamba Allah Azza wa Jalla yang bertakwa kepada-Nya, sebagaimana
firman-Nya.
(yaitu) Orang-orang yang yang menafkahkan
(hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan
amarahnya serta (mudah) mema’afkan kesalahan orang lain. Dan Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebaikan. (Ali-Imran [3]:134)
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam secara khsusus menggambarkan besarnya keutamaan dan pahala
sifat mudah memaafkan di sisi Allah Azza wa Jalla dalam sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Tidaklah Allah
menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya)
kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat) ”
Artinya bertambahnya
kemuliaan orang yang pema’af di dunia adalah dengan dia dimuliakan dan
diagungkan di hati manusia lainnya karena sifatnya yang mudah memaafkan orang
lain, sedangkan di akhirat dengan besarnya ganjaran pahala dan keutamaan di
sisi Allah Azza wa Jalla.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar