Rasulullah
saw. Bersabda, “Setiap Nabi mempunyai sahabat dan hawari yang selalu
berpegang teguh dengan petunjuknya dan mengikuti sunnahnya. Lalu muncullah
generasi pengganti (yang buruk) yang (hanya) mengatakan apa yang tidak mereka
lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan. Maka siapa yang berjuang
(untuk meluruskan) mereka dengan tangannya maka dia adalah mukmin. Dan barang
siapa yang berjuang dengan lidahnya maka ia adalah mukmin. Dan barangsiapa
berjuang dengan hatinya maka ia adalah mukmin. Dan tidak ada di belakang itu
keimanan sedikit pun.” (Muslim)
Hadits Rasulullah saw.
di atas menegaskan beberapa hal.
Pertama, akan selalu terjadi
perubahan pada kaum muslimin.
Kedua, perubahan itu bisa menuju ke
arah yang buruk.
Ketiga, seorang mukmin harus berjuang untuk
mengawal perubahan ke arah kebaikan dan perbaikan.
Dakwah adalah proyek
mewujudkan perubahan. Pimpinan proyeknya adalah Rasulullah saw. Ordernya dari
Allah swt. Makanya ketika Rasulullah saw. dimi’rajkan ke Sidratul-Muntaha,
beliau tidak minta tetap tinggal di sana. Padahal beliau bisa menikmati ibadah,
bertemu dengan para nabi yang diutus sebelum beliau, dan bahkan menjadi imam
mereka. Beliau tetap turun lagi dan menjadi penghuni bumi yang sarat dengan
berbagai tantangan dan persoalan. Ini karena beliau memang mendapat tugas untuk
melakukan perubahan. Dan Rasulullah saw telah melakukannya dengan sukses. Hal
ini dijelaskan dalam ayat-Nya:
“Sungguh Allah telah
benar-benar memberi karunia kepada orang-orang mukmin karena Dia telah mengutus
pada mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri yang membacakan kepada
mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab
(Al-Qur’an) dan hikmah (Sunnah), meskipun mereka sebelum itu benar-benar berada
dalam kesesatan yang nyata.” (Ali ‘Imran: 164)
Ayat itu menjelaskan
bahwa Rasulullah saw. telah menjalankan proyek perubahan dan telah sukses dalam
perjuangan melakukan perubahan itu. Proyek ini dimulai dengan pembangunan
pondasi berupa individu-individu Muslim. Di atas pondasi itu dibangun
keluarga-keluarga Islam. Dari keluarga-keluarga Islami terbentuklah masyarakat
Islami. Dan itu semua merupakan bekal untuk dakwah melakukan perbaikan terhadap
pemerintahan agar menjadi pemerintahan yang Islami. Tidak hanya sampai di situ
saja. Dakwah juga terus bergerak untuk mengembalikan khilafah Islamiyyah. Dan
dengan begitulah umat Islam akan menjadi guru peradaban bagi seluruh umat
manusia atau yang sering diistilahkan dengan ustadziyyatul-‘alam.
Atas dasar itu, maka
tidak boleh umat Islam tinggal diam dengan tidak memberikan pengaruh pada
perubahan yang terjadi. Perubahan adalah sunnatullah. Perubahan akan terus
bergulir. Jika tidak menuju yang baik pasti menuju keburukan. Jika bukan orang
baik-baik yang mempengaruhi maka pasti orang-orang buruk yang melakukannya. Dan
tanpa kesertaan orang-orang yang baik maka akan muluslah perusakan yang
dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Ada banyak hal yang
dapat dilakukan untuk berkontribusi dan mengawal perubahan agar mengarah kepada
perbaikan dalam segala sektor, di antaranya:
Pertama, mempersembahkan waktu, tenaga, harta untuk kemaslahatan Islam,
umat Islam, dan umat manusia pada umumnya. Allah swt. Berfirman: “Tidaklah sepatutnya
bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab yang berdiam di sekitar mereka,
tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi
mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian
itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan pada
jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah
orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan
dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh.
Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (At-Taubah: 120)
Ayat di atas
memberikan informasi bahwa Allah tidak suka kepada orang yang berdiam diri dan
tidak terlibat dalam perjuangan. Allah menyebutnya bahwa perbuatan itu tidak
layak. Dan sebaliknya, kepada orang yang terlibat dalam perjuangan di jalan
Allah untuk menyebarkan kebaikan dan hidayah Allah swt. dengan apa pun yang
dimilikinya, Allah menjanjikan segala yang dilakukannya akan bernilai amal
saleh. Tidak ada yang sia-sia dari orang yang berjuang di jalan Allah, sekecil
apa pun perjuangannya.
Kedua, menghadirkan emosi dan semangat yang kuat untuk kejayaan Islam
dan umatnya dan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat seluas-luasnya.
Berbahagia saat Islam mendapatkan kemenangan-kemenangan dan merasa sedih bila
Islam mendapatkan tekanan dan umat Islam mendapat ujian. Ia tidak rela bila
Islam dihinakan dan bila kaum muslimin diinjak-injak. Rasulullah saw. bersabda,
“Siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslimin, ia tidak termasuk
golongan mereka.”
Perubahan hanyalah
terjadi atas perkenan Allah swt. Dan manusia hanya bisa merencanakan dan
memperjuangkan. Namun sebelum itu semua manusia harus memiliki semangat dan
optimisme bahwa perubahan bisa terjadi. Jika dari awal kita sudah pesimis dan
mengatakan bahwa keadaan tidak mungkin berubah, berarti kita sudah kalah
sebelum bertarung. Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan, “Aku (Allah)
tergantung prasangka hamba-Ku terhadap-Ku.”
Ketiga, tidak cukup hanya emosi dan semangat itu.
Banyak orang yang punya semangat menggebu-gebu untuk melakukan perubahan, namun
yang keluar dari dirinya hanyalah umpatan, cacian, dan makian terhadap keadaan.
Emosi dan semangat yang produktif adalah yang membawa seseorang untuk berpikir
keras dan bekerja cerdas dalam rangka mencari jalan keluar dari segala problem yang
merundung umat dan bangsa. Ia rela menjadikan dirinya sebagai bagian dari
solusi dan bukannya menjadi masalah. Bahkan bila hal itu membuatnya menjadi
“korban”.
Keempat, memerintah kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar; menyeru manusia kepada jalan Islam dan jalan dakwah dengan
cara hikmah dan nasihat yang baik. Itulah sifat yang melekat pada orang beriman
dan tidak mungkin terpisahkan.“Dan orang-orang beriman laki-laki dan
orang-orang beriman perempuan sebagian mereka adalah penolong bagi sebagiian
lain, mereka memerintah kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (At-Taubah:
71)
Dalam kondisi apa pun
amar ma’ruf dan nahi munkar tidak boleh diabaikan. Tidaklah sebuah kaum
meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar melainkan pasti mereka menjadi kaum
yang hina. Firman Allah, “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani
Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan
mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak
melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa
yang selalu mereka perbuat itu.” (Al-Maidah: 78-79)
Kelima, mengatakan yang benar di depan penguasa yang
zhalim agar mereka tidak secara semena-mena menjalankan kekuasaan hanya menurut
hawa nafsunya. Agar penguasa memimpin dengan penuh keadilan dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Rasulullah bersabda, “Jihad yang paling
utama adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zhalim.”
(Al-Bukhari). Dalam hadits lain beliau bersabda, “Pemimpin para syuhada adalah
Hamzah bin Abdil-Muthalib dan orang yang berdiri di hadapan penguasa yang
zhalim seraya memerintahnya (kepada yang ma’ruf) dan mencegahnya (dari yang
munkar) lalu ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (Majma’uz-Zawaid 9: 271)
Jadi, jika kita
melihat ada peluang untuk melakukan perubahan, jangan biarkan berlalu begitu
saja. Apalagi membiarkannya dikendalikan oleh orang-orang yang menghendaki
keburukan dan penyimpangan. Allahu a’lam.
Oleh: Tate
Qomaruddin, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar