Sabtu, 07 November 2009

Membangun Budaya Malu

Salah satu ciri fitrah manusia adalah adanya rasa malu. Bila rasa malu hilang, manusia cenderung berbuat seperti binatang bahkan bisa lebih parah lagi. Allah berfirman: "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai". (QS. 7:179).

Kini kita sedang berada di sebuah zaman, yang menunjukkan bahwa manusia sudah benar-benar lebih sesat dari binatang: Seorang anak membunuh ibunya, seorang ayah memperkosa anak perempuannya, anak-anak diperjualbelikan, harga diri dijual demi uang, perempuan rela telanjang di depan umum demi seni body painting, suami istri melakukan perselingkuhan dengan bangganya, dsb.

Dalam suatu hadits, Rasulullah mengatakan: "Rasa malu tidak pernah mendatangkan kecuali kebaikan" (HR. Bukhari-Muslim). "Rasa malu semuanya baik'' (HR. Muslim). Bahkan Abu Sa'id Al Khudri pernah menggambarkan bahwa Rasulullah saw. lebih pemalu dari seorang gadis. Bila melihat sesuatu yang tidak ia sukai, tampak tanda rasa malu dari wajahnya (HR. Bukhari-Muslim). Dalam kesempatan lain, Rasullah mengkaitkan antara iman dan rasa malu: "Rasa malu adalah bagian dari iman, dan iman tempatnya di surga. Prilaku jelek adalah bagian dari kekeringan iman, keringnya iman tempatnya di neraka"(HR. Ahmad).

Imam Ibn Majah menyebutkan sebuah hadits yang menggambarkan betapa rasa malu harus dibudayakan demi keselamatan sebuah bangsa. Rasulullah bersabda: "Jika Allah swt. ingin menghancurkan sebuah kaum, dicabutlah dari mereka rasa malu. Bila rasa malu telah hilang maka yang muncul adalah sikap keras hati. Bila sikap keras hati membudaya, Allah mencabut dari mereka sikap amanah (kejujuran dan tangung jawab). Bila sikap amanah telah hilang maka yang muncul adalah para pengkhianat. Bila para mengkhianat merajalela Allah mencabut rahmatNya. Bila rahmat Allah telah hilang maka yang muncul adalah manusia laknat. Bila manusia laknat merajalela Allah akan mencabut dari mereka tali-tali Islam".

Menerangkan makna hadits ini, Syeikh Muhammad Al Ghazali berkata dalam bukunya Khuluqul Muslim: "Bila seorang tidak mampunyai rasa malu dan amanah, ia akan menjadi keras dan berjalan mengikuti kehendak hawa nafsunya. Tak peduli apakah yang harus menjadi korban adalah mereka yang tak berdosa. Ia rampas harta dari tangan-tangan mereka yang fakir tanpa belas kasihan, hatinya tidak tersentuh oleh kepedihan orang-orang lemah yang menderita. Matanya gelap, pandangannya ganas. Ia tidak tahu kecuali apa yang memuaskan hawa nafsunya. Bila seorang sampai ke tingkat prilaku seperti ini, maka telah terkelupas darinya fitrah agama dan terkikis habis jiwa ajaran Islam" (Khuluqul Muslim, hal.171).

Imam An Nawi menyebutkan bahwa hakikat rasa malu itu muncul dalam bentuk sikap meninggalkan perbuatan jelek, dan perbuatan zhalim. Seorang sufi besar Imam Junaid menerangkan bahwa rasa malu muncul dari melihat besarnya nikmat Allah, sedangkan ia merasa banyak kekurangan dalam mengamalkan ketaatan kapada-Nya. (Riyadhushsholihin, h.246).

Mudah-mudahan kita masih memiliki dan mau membangun rasa malu untuk berbuat yang dzalim. Salah satu cara yang paling sederhana adalah memakai pakaian muslimah atau untuk pria memakai pakaian yang mencirikan muslim menurut kultur setempat, dan aktif dalam kegiatan bernuansa Islam. Rasanya tidak mungkin seorang dengan busana muslimah akan melacur. Tak mungkin seorang yang dengan baju koko mengakhiri weekend-nya di diskotik. Ah, malu rasanya membicarakan aib orang lain padahal kita sering tampil dalam kegiatan agama atau mengirimkan artikel Islam seperti ini. Wallahu ‘alam.

Rasulullah SAW bersabda, "Malu itu termasuk keimanan dan keimanan membawa ke surga. Sedangkan perbuatan keji termasuk kejelekan dan kejelekan tempatnya di neraka." (HR Tirmidzi).

Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang paling sempurna. Kesempurnaan itu tampak dari dianugerahkannya akal, sehingga manusia mampu memilah antara yang hak dan batil.

Malu merupakan sifat yang mulia. Sifat yang telah diwariskan oleh para Nabi. Islam menganjurkan umatnya agar menjadikan malu sebagai penghias hidupnya. Hiasan yang membawa kebaikan bagi pemiliknya dan menjadi jalan menuju surga.

Imam Ibnul Qoyyim berkata, "Antara dosa dan sedikitnya rasa malu ada keterkaitan yang sangat erat, maka setiap dari keduanya akan menuntut yang lain. Barang siapa malu kepada Allah ketika berbuat maksiat, Allah pun akan malu menyiksanya pada hari kiamat kelak. Dan barang siapa tidak punya rasa malu kepada Allah ketika berbuat maksiat, maka Allah tidak akan malu menyiksanya kelak." (Ad−Da'u Wad Dawa', hal 111).

Hilangnya rasa malu menyebabkan hilangnya seluruh kebaikan manusia. Sifat malu juga merupakan perangai yang mengantarkan seseorang untuk istiqamah berbuat baik dan terpuji, sehingga rela meninggalkan perbuatan jelek dan maksiat.

Sudah saatnya malu menjadi budaya yang harus selalu dijaga dan dipelihara, baik oleh individu, kelompok, terlebih bangsa ini. Kita sadari betapa tidak berhentinya petaka, bencana, yang melanda bangsa ini mungkin salah satunya diakibatkan oleh hilangnya rasa malu.

Pejabat merasa malu jika menyelewengkan kekuasaan terkait profesinya. Jabatannya merupakan amanah yang harus diemban. Dia menjadi pejabat bukan karena kehebatannya, melainkan kepercayaan konstituen kepadanya. Seorang wanita merasa malu mempertontonkan 'perhiasannya' pada orang yang tidak memiliki hak atasnya. Dia berpikir bahwa 'perhiasan' itu merupakan karunia Allah SWT yang harus dijaga.

Seorang pengusaha merasa malu jika terlambat memberi upah pada karyawannya. Kesuksesan usahanya adalah berkat kerja keras para karyawannya. Tak ada artinya dia tanpa bantuan karyawan.

Penguasa merasa malu jika tidak memberikan pelayanan terbaiknya kepada rakyat. Kekuasaan yang dimilikinya sangat terbatas oleh ruang dan waktu. Namun, kekuasaan Allah SWT bersifat kekal. Ketakutannya kepada Allah SWT mendorongnya untuk berbuat adil dan bijaksana.

Hasan Al Bashri berkata, "Empat perkara yang barang siapa ada padanya akan sempurna, dan barangsiapa yang mempunyai satu saja, maka ia termasuk orang saleh pada kaumnya; agama sebagai petunjuknya, akal yang meluruskannya, mawas diri yang menjaganya, malu yang menggiringnya." (Al−Adab asy−Syar'iyah, 2/219). (Hikmah/Republika)

Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahadthir Mohamad, mengatakan perasaan malu selayaknya disemai sejak awal, agar kita bisa maju dan terus memperbaiki kualitas hasil kerja. "Contohlah orang Jepang," ujarnya saat memberi orasi ilmiah kepada wisudawan Universitas Pancaila di Jakarta hari ini.

Menurutnya, berkat budaya malu itulah Jepang bisa bangkit dari keterpurukannya setelah Perang Dunia II. Rasa malu hanyalah satu contoh nilai hidup yang dapat memajukan suatu bangsa. Mahathir menyebutkan nilai lain, yaitu kesepahaman akan pentingnya ilmu pengetahuan, tanpa mempermasalahkan dari mana asalnya.

Masyarakat Islam, katanya, mengalami masa keemasan saat mereka belajar bahasa Yunani dan India, agar bisa menterjemahkan dan memahami buku-buku ilmu pengetahuan. Bangsa Eropa pun tercerahkan saat mereka mulai belajar dari literatur Islam. "Kejayaan Islam lenyap saat muncul fatwa pelarangan pengajaran ilmu-ilmu yang dianggap tidak Islami," sesal Mahathir.

http://www.pkpu.or.id/artikel.php?id=3&no=18
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/05/10/brk,20080510-122830,id.html
http://wacanarenungan.blogspot.com/2005/09/membangun-budaya-malu.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar