Sabtu, 07 November 2009

Budaya Malu yang Termispersepsikan



Secara etimologi, dalam kamus besar bahasa Indonesia “malu” diartikan sebagai rasa sangat tidak enak hati/hina /rendah, dsb, krn berbuat sesuatu yg kurang baik /kurang benar /berbeda dengan kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan. Dalam literatur bahasa arab, malu berkaitan dengan ahklaq (ٌقَﻼْﺧَأ) yang merupakan bentuk jamak dari khuluq yang berarti jalan hidup/kebiasaan/tabiat/perangai, yang mengandung makna sifat yang tertanam dengan kokoh dalam jiwa, baik yang terpuji maupun yang tercela. Namun saya lebih suka mendefinisikan malu sebagai sifat dimana secara naluriah manusia miliki, sebagai ungkapan pribadi atas situasi tertentu, yang terkomunikasikan dengan bahasa tubuh, baik itu mimik wajah, olah tubuh maupun bahasa verbal.

Rasanya kurang lengkap jika kita tidak mengkajinya dari sisi agama, karena saya beragama Islam dan lulusan sebuah fakultas syariah, di universitas Islam pula, walau program yang saya ambil bukan sosiologi Islam, asuransi syariah malah, namun paling tidak saya mencoba mengkaji dari sisi kacamata saya, juga sedikit tentang pengetahuan Islam melalui bahasa saya pribadi, lalu terserah jika bisa menerima pendapat saya atau tidak sama sekali, mengenai penyalahgunaan rasa malu dikalangan masyarakat Indonesia,

sedikit mengutip artikel yang dibuat Rektor saya, Prof. Komaruddin Hidayat tertanggal 25 September 2009 di laman UINjkt.ac.id, yang berjudul “Hilangnya Rasa Malu”, yang dapat saya simpulkan bahwa terjadi pergeseran budaya malu di masyarakat perkotaan, yang secara intens terinterpersepsikan melalui program acara televisi, sehingga terlihat gap/jurang pemisah antara budaya malu dimasyarakat perkotaan dengan masyarakat pedesaan.

Gambaran sederhananya, jika masyarakat pedesaan menganggap cerai merupakan aib yang harus ditutup-tutupi karena merasa gagal membina rumah tangga, mungkin persepsi lain tersaji di masyarakat perkotaan bahwa perceraian merupakan hal yang biasa, dan berlaku untuk konsumsi media, itu baru soal perceraian, bagaimana dengan pencurian, atau maling bahasa kasarnya, bahwa seorang maling di pedesaan jika tertangkap, sering kali kita lihat di televisi, pasti menutupi wajahnya dengan apapun asal tidak kelihatan media, hal berbeda di tunjukan masyarakat perkotaan, seorang koruptor kelas kakap pun dengan pakaian necisnya tampil dimedia tanpa rasa malu sedikitpun.

Barangkali kalau kutip mengutip, akan lebih sah jika mengutip sebuah hadist mengenai rasa malu ini. Bahwa diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. : Nabi Saw. Pernah bersabda ; “Iman meliputi lebih dari enam puluh cabang atau bagian. Dan Al haya’ (rasa malu) adalah sebuah cabang dari iman.”, jadi secara tegas kita sebutkan bahwa malu adalah sebagian dari Iman, dan iman adalah sesuatu yang diyakini kebenarannya. Lantas bagaimana dengan orang yang tidak punya malu?, secara tegaspulalah kita sebutkan Ia tidak beriman. Lalu bagaimana dengan malunya seorang penakut, pengecut atau minder, dan kalah mental

Inilah persolan baru rasa malu di masyarakat yang terbungkus oleh jiwa underestimate, rasa malu yang semestinya di munculkan pada situasi moral dan etika, namun kondisinya berbalik bahwa kita tidak malu lagi memunculkan aib di muka umum, akan tetapi tiba saatnya menunjukkan prestasi, atlit kita sudah kalah mental duluan.

Suatu kisah pernah saya alami ketika saya masih kuliah, ketika itu semester akhir, giliran untuk membuat tugas akhir, yang saya heran, tidak ada satupun yang mau mengajukan judul skripsi lebih awal, alasan sederhananya, ingin lihat dulu, bagaimana kondisi orang yang duluan mengajukan pengajuan judul skripsi, karena takut salah. Loh.., memang ada apa dengan kata “salah”, pasti ujung-ujungnya karena rasa “malu”. Kondisi serupa saya saksikan ketika melihat teman-teman saya tidak berani mengajukan skripsi secara mandiri, mereka lebih senang secara rombongan atau beramai-ramai mengajukan judul skripsi, itupun saling dorong-dorongan, benar-benar hal yang aneh.

Kondisi serupa terjadi pada atlit-atlit kita yang berlaga di pentas olah raga. Semisal sepak bola saja, kondisinya jauh berbeda saat tampil di liga, akan tetapi ketika tampil melawan tim asing kenapa atlit kita malu mengeluarkan kemampuannya. Mental dan daya juang pemain kita sama dengan nol. Tidak ubahnya dengan para politisi yang mengemban jabatan “wakil rakyat” bangsa ini yang tidak malu mangkir dari rapat akan tetapi malu bertanggungjawab ketika diterpa masalah. Sehingga apa yang salah dengan bangsa ini, kenapa budaya malu menempati posisi yang salah di bangsa ini, sudahkah kita introspeksi diri, jangan jadikan alasan keterbatasan dan ketidak mampuan kita sebagai biang keladi, karena tuhan menciptakan manusia dengan kapasitas yang sama, analogi sederhananya, jika sebuah baju kita salah memakainya, ambil contoh sebuah baju renang kita pakai di sebuah acara pesta pernikahan misalnya, tentu orang akan melihat sesuatu yang tidak wajar, karena bagian tubuh yang semestinya anda tutupi terlihat oleh orang banyak, maka pantaslah anda malu, karena anda tidak menutupinya,akan tetapi sebaliknya jika anda memakai baju pesta di kolam renang tentulah anda disebut orang yang tidak waras toh, maka tempatkan budaya malu pada tempatnya, itu baru bangsa yang cerdas. Bukan Sebaliknya*Adit

http://adityarahmat.blogdetik.com/2009/10/29/budaya-malu-yang-termispersepsikan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar