Selasa, 10 November 2009

Mafia dan Kemunafikan



SEDIKIT demi sedikit tirai di panggung hukum terbuka. Semua orang terperangah dan ternganga-nganga menyaksikan wajah hukum yang selama ini borok. Buruk rupa ditutupi topeng dalam negara yang, menurut konstitusi, berdasar atas hukum.



Adalah lakon rekayasa kriminalisasi Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah yang kini dipentaskan di atas panggung hukum. Dan, tiga panggung sekaligus mementaskan lakon yang sama.

Panggung Mahkamah Konstitusi
memperdengarkan rekaman telepon seorang Anggodo Widjojo dengan penyidik kepolisian, petinggi kejaksaan, dan pihak lain yang terkait dengan rekayasa kriminalisasi KPK.

Lainnya adalah panggung Tim Delapan. Tim yang kelahirannya dibidani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memanggil sejumlah pihak dari kepolisian, kejaksaan, KPK, dan pihak lain yang relevan.

Tim yang diberi batas usia dua minggu itu ditugasi memverifikasi fakta yuridis dan melaporkannya kepada Presiden. Dalam kesimpulan sementaranya, Tim Delapan berpendapat penyidikan terhadap Bibit dan Chandra belum memiliki bukti yang kuat.

Panggung ketiga dimainkan Komisi III DPR yang menggelar rapat kerja dengan Kapolri dan Jaksa Agung. Penjelasan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri terkait dengan dugaan pemerasan, penyuapan, dan penyalahgunaan wewenang yang disangkakan kepada Bibit dan Chandra hanya menuai bantahan dan kecaman.

Begitu juga penjelasan Jaksa Agung Hendarman Supandji yang pada intinya mengakui tidak ada bukti mutlak aliran dana kepada dua pemimpin nonaktif KPK itu. Kendati bukti mutlak tidak ada, Jaksa Agung berupaya menggunakan apa yang disebutnya sebagai bukti kuat. Bukti kuat itu sesungguhnya hanya tafsiran atas konstruksi rekayasa fakta.

Ada benang merah alur cerita yang disajikan di atas tiga panggung itu. Yaitu hukum ternyata telah lama diatur mafia. Jaksa Agung mengakui keberadaan makelar kasus alias markus dan makelar jabatan atau marjab.

Amat disayangkan, buruk rupa penegakan hukum negeri ini hanya dibawa ke salon kecantikan kata-kata. Belum ada aksi. Pencanangan kegiatan memberantas mafia hukum dalam agenda 100 hari pemerintahan dengan mengumumkan program untuk melaporkan mafia hukum melalui PO Box 9949 Jakarta 10000 dengan kode 'Ganyang Mafia' bukanlah sebuah tindakan nyata yang diharapkan publik.

Sudah sangat terang benderang bahwa hukum sudah lama diatur mafioso. Akan tetapi, tangan penegak hukum seakan tak mampu menjangkaunya, apalagi menangkap dan menahan para mafia.

Identitas mafioso sudah terkuak dalam rekaman yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi dan nama mereka disebut-sebut dalam panggung Tim Delapan dan Komisi III DPR. Alangkah ajaibnya, sejauh ini, belum satu pun yang ditahan, termasuk Anggodo sang aktor utama rekayasa kriminalisasi Bibit dan Chandra. Publik melihat terang benderang kesalahan Anggodo, tetapi atas nama hukum polisi mengaku sulit menemukan kesalahannya.

Kita tidak mau berburuk sangka bahwa aparatur hukum sudah bisa diatur mafioso. Jika para mafia peradilan yang namanya disebutkan dalam rekaman tidak juga disentuh, jangan salahkan publik menuding telah terjadi politik pembiaran. (http://www.mediaindonesia.com/read/2009/11/11/105091/70/13/Rupa-Buruk-Panggung-Hukum)

Di tengah suasana batin publik yang sedang tercabik-cabik oleh sepak terjang Anggodo Widjojo yang amat perkasa mengatur kepolisian dan kejaksaan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan program kerja seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu II.

Program penting itu menjadi tidak penting di mata publik yang sedang terperangah oleh kedahsyatan sepak terjang mafia peradilan yang diperankan seorang Anggodo. Padahal, salah satu target kerja 100 hari kabinet SBY adalah Ganyang Mafia. Ironis!!!

Sungguh ironis memang. Program Ganyang Mafia dilancarkan pada saat dua lembaga penegak hukum kepolisian dan kejaksaan digerayangi dengan amat leluasa oleh para mafia.
Bahkan tidak cuma digerayang. Seorang bernama Anggodo kini diberi gelar baru 'Super-Anggodo' oleh Effendi Ghazali, ahli komunikasi politik, ketika berorasi di Bundaran HI, kemarin, dalam pawai besar antikorupsi.

Mengapa Anggodo demikian super? Karena tidak ada kekuasaan di negeri ini yang mampu menjeratnya. Padahal, dia sampai detik ini di tangan dan dilindungi polisi. Ganyang Mafia, dengan demikian, tidak semata akselerasi perang terhadap korupsi, tetapi lebih dari itu, adalah pengakuan bahwa kita sesungguhnya kalah dalam perang melawan para bandit dan mafia korupsi itu sendiri. Anggodo adalah bukti yang amat telanjang.

Mengapa kalah? Kita mengakui dijajah mafia korupsi, tetapi pikiran dan konstruksi penegak hukum terpaku pada konstruksi prosedural. Adalah kekonyolan luar biasa bila seorang mafia mau meninggalkan bukti. Kalau bukti tercecer di mana-mana, bukan mafia namanya. Adalah tugas mafia untuk bekerja rapi. Tugas mereka adalah berbohong. Tugas polisi adalah membongkar kebohongan.

Kita gagal memberantas korupsi karena seperti yang sangat telanjang dipertontonkan dalam kasus Anggodo, aparat penegak hukum bersahabat dengan mafia. Mereka, para penegak hukum itu, dibiayai negara, tetapi mengabdi pada mafia.

Mafia, dengan demikian, bisa diberantas hanya bila ada keberanian untuk menggunakan kekerasan hukum yang dikomandoi nurani dan akal budi. Tidak dikerdilkan oleh rezim bukti dan prosedur.


http://www.mediaindonesia.com/read/2009/11/11/104663/70/13/Ganyang-Mafia-Ganyang-Kemunafikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar