AR RAQIIB (Yang Maha Mengawasi) adalah Allah yang mengetahui dan melindungi. Siapapun yang memperhatikan sesuatu sedemikian rupa hingga tidak pernah melalaikannya dan mengamatinya dengan pandangan yang berkesinambungan, sehingga jika orang tahu mengenai pengawasan ini, dia tidak akan mendekati atau bahkan melanggar apa yang dilarang dilakukannya, dia disebut Raqiib, maksudnya, setia dalam memperhatikan. Oleh karena itu sifat ini berkaitan erat dengan ilmu serta perlindungan, tetapi dari sisi bahwa hal tersebut terlaksana secara konstan.
Dia yang Maha Mengawasi atau yang Maha Menyaksikan atau yang mengamati makhluk-Nya dari saat ke saat yang tidak ada sesuatu makhlukpun yang luput dari pengawasan-Nya. Allah mengawasi, menyaksikan dan mengamati segala sesuatu dengan pandangan-Nya, pendengaran-Nya serta dengan ilmu-Nya.
'Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Allah menciptakan isterinya dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya, saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu' [An Nisa:1]
'Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. dan adalah Allah maha mengawasi segala sesuatu' [Al Ahzab:52]
'Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu: "sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu" dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada diantara mereka. maka setelah engkau wafatkan (angkat) aku, engkau-lah yang mengawasi mereka, dan engkau adalah maha menyaksikan atas segala sesuatu. jika engkau menyiksa mereka maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba engkau dan jika engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya engkaulah yang maha perkasa lagi maha bijaksana' [Al Maaidah:117~118]
Sifat menjaga dan memperhatikan (mengawasi) dalam diri manusia hanya terpuji jika dijaga dan diperhatikan adalah Tuhannya dan hatinya. Hal itu terjadi kalau dirinya mengetahui bahwa Allah azza wa jalla memperhatikannya dan melihatnya dalam setiap keadaan, dia juga tahu bahwa jiwa rendahnya sendiri adalah musuhnya dan setan adalah musuhnya. Keduanya senantiasa mengambil kesempatan untuk mendorongnya menjadi lalai dan durhaka
Rasulullah Saw bersabda: 'Ingatlah!, Sesungguhnya didalam jasad terdapat segumpal daging yang apabila baik, baiklah semua jasadnya. Dan apabila jelek maka jeleklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa itu adalah hati' [Bukhari, muslim]
Qalb (hati adalah anggota bathin yang berada didalam jasad. Seorang manusia bergantung pada hati dan akalnya. Hati adalah anggota yang paling mulia, dinamakan Qalb (hati) karena menyebabkan pikiran cepat timbul dan berubah. 'Tiadalah manusia disebut insan (manusia), melainkan karena lupanya dan tiadalah (hati) dinamakan Kalbu melainkan berubah-ubahnya'
Sesungguhnya, baik dan rusaknya badan itu bergantung baik dan rusaknya hati, karena hati adalah tempat dimulainya gerakan badan dan kehendak jiwa. Kehendak yang baik timbul karena hati selamat dari penyakit-penyakit bathin, seperti hasud, kikir, dengki, sombong dan lainnya. Hati itu seperti mata air dan jasadnya seperti ladang, jika airnya tawar, tawarlah tumbuhannya, dan jika airnya asin, asinlah tumbuhannya. Dan hati itupun seperti tanah, jasad seperti tanamannya.
'Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang yang bersyukur' [Al A'raaf:58]
Hati menjadi baik karena enam perkara
(1)-Membaca Al-Qur'an dan memahaminya.
(2)-Mengosongkan perut.
(3)-Shalat malam.
(4)-Merendahkan hati kepada Allah SWT.
(5)-Duduk bersama orang-orang yang saleh.
(6)-Makan makanan yang halal.
Rasulullah Saw bersabda: 'Sesungguhnya bagi Allah itu terdapat wadah-wadah, ketahuilah bahwa wadah-wadah itu adalah hati. Hati yang paling dekat kepada Allah adalah hati yang lembut, jernih dan teguh'
'Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik' [Al Hadid:16]
Hati orang kafir adalah wadah yang rusak yang tidak akan masuk kedalamnya suatu kebaikanpun.
Hati orang munafik adalah wadah yang pecah jika sesuatu dimasukkan kedalamnya maka ia akan keluar dari wadahnya.
Hati orang beriman adalah wadah yang baik, yang jika dimasukkan kebaikan kedalamnya, ia akan memenuhi wadah itu.
Perkara yang pertama jatuh kedalam hati adalah kelalaian (ghaflah).
Perkara yang pertama jatuh kedalam hati adalah kelalaian (gaflah).
Jika Allah SWT membangunkannya, hati itu tidak akan lalai.
Jika Allah tidak membangunkannya, gaflah itu akan menjadi suara hati (khatrah).
Jika Allah menolak, khatrah tidak akan menjadi pikiran (Fikrah) dan
Jika Allah tidak menolaknya, khatrah menjadi fikrah.
Jika Allah memalingkannya, fikrah tidak akan menjadi kemauan yang teguh (azmah) dan jika tidak memalingkannya, fikrahpun menjadi azmah (kemauan yang teguh) apabila Allah menjaga azmahnya, tidak akan jatuh kedalam kemaksiatan, dan jika Allah tidak menjaganya terjerembablah ia kedalam kemaksiatan.
Jika Allah menyelamatkan dari kemaksiatan karena dirinya bertobat, hati tidak akan menjadi keras dan jika Allah melunakkan hatinya, tidak akan menjadi watak dan jika Allah melunakkannya, Qaswatul Quluub (hati yang keras) akan menjadi watak dan menutupinya.
'Sekali-kali tidak (demikian). Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka' [Al Muthaffifin:14).
'Hati orang yang beriman itu bersih bagaikan cermin, tidak datang setan kepadanya membawa sesuatu, kecuali dirinya mengetahuinya. Apabila dia berbuat dosa, Allah melemparkan kedalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila Allah menerima taubatnya, dihapuskan dosanya. Jika berkehendak, titik-titik hitam itu menjadi hitamlah hatinya. Jika keadaannya sudah demikian, nasehat baginya kurang bermanfaat' [Syekh Ibrahim]
'Dosa diatas dosa akan menggelapkan hati, hingga hati menjadi hitam' [Syekh Hasan Al Bashri]
'Hidupnya hati adalah iman, dan matinya hati adalah kufur. Sehatnya hati adalah taat dan sakitnya hati adalah kemaksiatan. Bangunnya hati adalah DZIKRULLAH dan tidurnya hati adalah lalai dari mengingat Allah
Rasulullah Saw bersabda: 'Janganlah kamu sekalian banyak bicara tanpa ingat kepada Allah, (karena jika begitu) maka hatimu akan menjadi keras'. '(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram'. (Imam Al-Ghazali)
Nama Allah Ta’ala yang maha agung ini disebutkan dalam tiga ayat al-Qur’an,
{إنَّ اللهَ كان عَلَيْكُمْ رقيباً}
“Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi kamu sekalian” (QS an-Nisaa’:1).
{وكان اللهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ رَقِيْباً}
“Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu” (QS al-Ahzaab:52).
{وكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيْداً ما دُمْتُ فِيْهِمْ، فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أنْتَ الرَّقِيْبَ عَلَيْهِمْ، وأنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٍ}
“Dan akulah yang menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah Yang Maha Mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu” (QS al-Maa-idah:117).
Makna ar-Raqiib secara Bahasa
Ibnu Faris menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan makna yang satu, yaitu berdiri (tegak) untuk mengawasi/memperhatikan sesuatu[1].
Al-Fairuz Abadi menjelaskan bahwa nama ini secara bahasa berarti pengawas, penunggu dan penjaga[2].
Ibnul Atsir dan Ibnu Manzhur menjelaskan bahwa nama Allah al-Raqiib berarti Maha Penjaga/Pengawas yang tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya[3].
Penjabaran makna nama Allah al-Raqiib
Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas, beliau menjelaskan bahwa makna ar-Raqiib adalah zat yang maha mengawasi semua perbuatan dan keadaan manusia”[4].
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “ar-Raqiib adalah zat yang maha memperhatikan dan mengawasi semua hamba-Nya ketika mereka bergerak(beraktifitas) maupun ketika mereka diam, (mengetahui) apa yang mereka sembunyikan maupun yang mereka tampakkan, dan (mengawasi) semua keadaan mereka”[5].
Di tempat lain beliau berkata: “ar-Raqiib adalah zat yang maha mengawasi semua urusan (makhluk-Nya), maha mengetahui kesudahannya, dan maha mengatur semua urusan tersebut dengan sesempurna-sempurna aturan dan sebaik-sebaik ketentuan[6]“.
Maka makna ar-Raqiib secara lebih terperinci adalah: zat yang maha memperhatikan/mengetahui apa yang tersembunyi dalam dada/hati manusia, yang maha mengawasi apa yang diusahakan setiap diri manusia, yang maha memelihara semua makhluk dan menjalankan mereka dengan sebaik-baik aturan dan sesempurna-sempurna penataan, yang maha mengawasi semua yang terlihat dengan penglihatan-Nya yang tidak ada sesuatupun yang luput darinya, yang maha mengawasi semua yang terdengar dengan pendengaran-Nya yang meliputi segala sesuatu, yang maha mengawasi/memperhatikan semua makhluk dengan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu[7].
Pengaruh Positif dan Manfaat Mengimani Nama Allah Ar-Raqiib
Pengaruh positif yang paling utama dengan mengimani nama Allah yang agung ini adalah senantiasa merasakan muraaqabatullah (pengawasan dari Allah Ta’ala) dalam semua keadaan kita, dan timbulnya rasa malu yang sesungguhnya di hadapan-Nya, yang ini semua akan mendorong seorang hamba untuk selalu menetapi ketaatan kepada-Nya dan menjauhi semua perbuatan maksiat, di manapun dia berada[8].
Muraaqabatullah (selalu merasakan pengawasan Allah Ta’ala) adalah kedudukan yang sangat tinggi dan agung dalam Islam, sekaligus termasuk tahapan utama untuk menempuh perjalanan menuju perjumpaan dengan Allah dan negeri akhirat.
Hakikat muraaqabatullah adalah terus-menerusnya seorang hamba merasakan dan meyakini pengawasan Allah Ta’ala terhadap (semua keadaannya) lahir dan batin, maka dia merasakan pengawasan-Nya ketika berhadapan dengan perintah-Nya, untuk kemudian dia melaksanakannya dengan sebaik-baiknya, dan ketika berhadapan dengan larangan-Nya, untuk kemudian dia berusaha keras menjauhinya dan menghindarinya[9].
Seorang penyair mengungkapkan makna ini dalam bait syairnya[10]:
Jika suatu hari kamu sedang sendirian maka janganlah kamu berkata:
Aku sendirian, akan tetapi katakanlah: ada (Allah) yang Maha Mengawasiku
Dan janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa Dia akan lalai sesaatpun
Dan (jangan mengira) sesuatu yang tersembunyi akan luput dari (pengawasan)-Nya
Inilah makna al-Ihsan yang disebutkan dalam hadits Jibril ‘alaihis salam yang terkenal, yaitu sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“أن تعبد الله كأنكَ تراه، فإنْ لَمْ تَكُنْ تراه فإنه يراك”
“(al-Ihsan adalah) engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, kalau kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu”[11].
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Muraaqabatullah (selalu merasakan pengawasan Allah Ta’ala) adalah termasuk amalan hati yang paling tinggi (keutamaannya dalam Islam), yaitu menghambakan diri (beribadah) kepada Allah dengan (memahami dan mengamalkan makna yang terkandung dalam) nama-Nya ar-Raqiib (Yang Maha Mengawasi) dan asy-Syahiid (Yang Maha Menyaksikan). Maka ketika seorang hamba mengetahui/meyakini bahwa semua gerakan (aktifitas)nya yang lahir maupun batin, tidak ada (satupun) yang luput dari pengatahuan-Nya, dan dia (senantiasa) menghadirkan keyakinan ini dalam semua keadaannya, ini (semua) akan menjadikannya (selalu berusaha) menjaga batin (hati)nya dari (semua) pikiran (buruk) dan angan-angan yang dibenci Allah, serta menjaga lahir (anggota badan)nya dari (semua) ucapan dan perbuatan yang dimurkai Allah, serta dia akan beribadah/mendekatkan diri (kepada Allah) dengan kedudukan al-ihsan, maka dia akan beribadah kepada Allah seakan-akan dia melihat-Nya, kalau dia tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatnya”[12].
Kalau kita merenungkan dengan seksama ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan luasnya ilmu Allah Ta’ala dan bahwasanya tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan dan pengawasan-Nya, baik yang tampak di mata manusia maupun tersembunyi, seperti ayat-ayat berikut:
{واعلموا أن الله يعلم ما في أنفسكم فاحذروه}
“Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahi apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya” (QS al-Baqarah:235).
{يستخفون من الناس ولا يستخفون من الله وهو معهم إذ يبيتون ما لا يرضى من القول، وكان الله بما يعملون محيطاً}
“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan” (QS an-Nisaa’:108).
{يعلم خائنةَ الأَعْيُنِ وما تُخْفِي الصُدور}
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan dalam hati” (QS al-Mu’min:19). Dan ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat-ayat tersebut, merenungkan dan menghayati semua itu akan membangkitkan dalam diri seorang hamba muraaqabatullah dalam semua perbuatan dan keadaannya. Karenamuraaqabatullah adalah termasuk buah yang manis dari keyakinan seorang hamba bahwa Allah Ta’ala maha mengawasi dan memperhatikan dirinya, maha mendengarkan apa yang diucapkan lisannya, serta maha mengetahui semua perbuatannya setiap waktu, setiap tarikan nafas, bahkan setiap kedipan matanya[13].
Penutup
Dengan penjelasan di atas, kita memahami bagaimana agungnya manfaat dan keutamaan membaca al-Qur’an dengan merenungkan dan menghayati kandungan maknanya, karena dengan itulah kita bisa mengambil petunjuk agung yang terdapat di dalamnya dengan sempurna[14], untuk membawa kita mencapai kedudukan dan tingkatan yang tinggi di hadapan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
{كتاب أنزلناه إليك مبارك ليدبروا آياته وليتذكر أولوا الألباب}
“Ini adalah kitab (al-Qur’an) yang kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS Shaad:29).
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita semua kedudukan muraaqabatullah yang agung dan mulia ini, serta semua kedudukan yang tinggi dalam agama-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Mengabulkan permohonan hamba-Nya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel muslim.or.id
[1] Kitab “Mu’jamu maqaayiisil lughah” (2/353).
[2] Kitab “al-Qamus al-muhith” (hal. 116).
[3] Kitab “an-Nihayah fi gariibil hadits wal atsar” (2/609) dan “Lisaanul ‘Arab” (1/424).
[4] Kitab “tafsir Ibni Katsir” (1/596).
[5] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 90).
[6] Ibid (hal. 487).
[7] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 159).
[8] Lihat Kitab “Tafsir Ibni Katsir” (1/596) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 90).
[9] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 160).
[10] Dinukil oleh Imam Ibnu Hibban al-Busti dalam kitab “Raudhatul ‘uqala’” (hal. 26).
[11] HSR Muslim (no. 8).
[12] Tafsiiru asma-illahil husna (hal. 55).
[13] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 160).
[14] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam “Ighaatsatul lahfan min masha-yidisy syaithaan” (1/44).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar