Ketika cahaya tauhid padam di muka bumi, maka kegelapan yang tebal
hampir saja menyelimuti akal. Di sana tidak tersisa orang-orang yang bertauhid
kecuali sedikit dari orang-orang yang masih mempertahankan nilai-nilai ajaran
tauhid. Maka Allah SWT berkehendak dengan rahmat-Nya yang mulia untuk mengutus
seorang rasul yang membawa ajaran langit untuk mengakhiri penderitaan di
tengah-tengah kehidupan. Dan ketika malam mencekam, datanglah matahari para
nabi. Kedatangan Nabi tersebut sebagai bukti terkabulnya doa Nabi Ibrahim as
kekasih Allah SWT, dan sebagai bukti kebenaran berita gembira yang disampaikan
oleh Nabi Isa as.
Allah SWT menyampaikan salawatnya kepada Nabi itu, sebagai bentuk
rahmat dan keberkahan. Para malaikat pun menyampaikan salawat kepadanya sebagai
bentuk pujian dan permintaan ampunan, sedangkan orang-orang mukmin bersalawat
kepadanya sebagai bentuk penghormatan. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat
untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya." (QS. al-Azhab: 56)
Sebelumnya Allah SWT mengutus para nabi-Nya sebagai rahmat kepada
kaum dan zaman mereka saja, namun Allah SWT mengutus beliau saw sebagai rahmat
bagi alam semesta. Beliau saw datang dengan membawa rahmat yang mutlak untuk
kaum di zamannya dan untuk seluruh zaman. Allah SWT berfirman, "Dan
aku tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta."
Hakikat dakwah para nabi sebelumnya adalah menyebarkan Islam,
begitu juga ajaran yang dibawa oleh Nabi yang terakhir adalah Islam. Beliau saw
adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib, anak seorang wanita Quraisy.
Beliau saw adalah pemimpin anak-anak Nabi Adam as. Beliau saw adalah hamba
Allah SWT dan Rasul-Nya,
serta rahmat Allah SWT yang dihadiahkan kepada umat manusia.
Beliau saw lahir di tanah Arab. Ketika itu malam gelap, tiba-tiba
Abdul Muthalib membayangkan bahwa matahari telah terbit, lalu ia bangun dan
ternyata mendapati dirinya di pertengahan malam, keheningan yang luar biasa
menyelimuti gurun yang terbentang. Ia menuju pintu kemah, lalu menyaksikan
bintang-bintang bersinar di langit, dan dunia tampak di selimuti dengan malam.
Ia kembali menutup pintu kemah dan tidur. Belum lama ia dikuasai oleh rasa
kantuk yang amat sangat, sehingga ia kembali bermimpi untuk kedua kalinya.
Segala sesuatunya tampak jela s kali ini, Sesungguhnya sesuatu yang besar
memerintahnya untuk melaksanakan perintah yang sangat penting, "Galilah
zamzam!" Dalam mimpinya Abdul Muthalib bertanya: "Apakah itu
zamzam?" Kemudian untuk kedua kalinya perintah itu mengatakan bahwa ia
diperintahkan untuk menggali zamzam. Belum lama Abdul Muthalib melihat sesuatu
yang bersembunyi itu, sehingga ia berdiri di tempat tidurnya dan hatinya
berdebar dengan keras. Abdul Muthalib bangkit, lalu ia membuka pintu kemah
kemudian pergi ke gurun yang luas. Apakah arti zamzam? Tiba-tiba pikirannya
dipenuhi dengan cahaya yang datang dari jauh, bahwa pasti zamzam adalah sebuah
sumur, tetapi apa yang diinginkan oleh suara yang datang dalam tidur itu agar
ia menggali sumur, di sana tidak ada jawaban selain satu jawaban dari
pertanyaan ini, yaitu agar orang-orang yang berhaji dan berkeliling di sekitar
Ka'bah dapat meminumnya. Tetapi apa nilai dari sumur itu sendiri, bukankah di sana
terdapat banyak sumur yang dapat diminum oleh orang-orang yang berhaji.
Abdul Muthalib duduk di tengah-tengah pasir gurun pada pertengahan
malam, ia memikirkan bintang-bintang sembari merenungkan cerita-cerita kuno
yang mengatakan tentang sumur yang memancar darinya air sebagai akibat dari
pukulan kaki Nabi Ismail as, di sana juga ada cerita yang mengatakan bahwa
sumur itu telah binasa sesuai dengan perjalanan zaman.
Matahari terbit di atas gurun Jazirah Arab, Abdul Muthalib keluar
menemui orang-orang, dan menceritakan kepada mereka bahwa ia akan menggali
sebuah sumur di tempat tertentu, ia menunjukkan ke tempat yang di situ ia
diberitahu oleh suara yang ada dalam mimpinya. Orang-orang Quraisy menolaknya,
Sesungguhnya tempat yang diisyaratkan oleh Abdul Muthalib terletak di antara
dua berhala dari berhala-berhala yang biasa disembah oleh masyarakat setempat,
yaitu di antara berhala yang bernama Ashaf dan NAllah. Abdul Muthalib merasa
bahwa usahanya sia-sia untuk meyakinkan kaumnya agar mengizinkannya untuk
menggali sumur. Mereka mengetahui bahwa Abdul Muthalib tidak mempunyai sesuatu
selain hanya seorang anak. Bahwasanya ia tidak memiliki anak-anak yang dapat
menolong dan memperkuatnya serta melaksanakan keinginan-keinginannya.
Pada saat itu di kawasan negeri Arab dipenuhi dengan
kabilah-kabilah yang terjalin suatu ikatan fanatisme atau kesukuan yang kuat
dan usaha untuk melindungi keluarga yang sangat menonjol. Akhirnya Abdul
Muthalib pergi dalam keadaan sedih, lalu ia berdiri di hadapan Ka'bah dan
mengungkapkan suatu nazar kepada Allah SWT. Ia berkata: "Jika aku mendapat
sepuluh anak laki-laki, dan mereka menginjak usia dewasa, sehingga mereka mampu
melindungiku saat aku menggali sumur Zamzam, maka aku akan menyembelih salah
seorang dari mereka di sisi Ka'bah sebagai bentuk korban."
Pintu langit pun terbuka untuk doanya. Belum sampai berlangsung
satu tahun, istrinya melahirkan anaknya yang kedua dan setiap tahun ia
melahirkan anak laki-laki sampai pada tahun yang kesembilan, sehingga Abdul
Muthalib mempunyai sepuluh anak laki-laki. Kemudian berlalulah zaman dan
anak-anak Abdul Muthalib menjadi besar.
Abdul Muthalib akhirnya menjadi seseorang yang memiliki kemampuan.
Kemudian Abdul Muthalib berusaha melakukan rencananya yang diisyaratkan dalam
mimpinya itu, yaitu ia bersiap-siap untuk mengorbankan salah satu anaknya
sebagai bentuk pelaksanaannya dari nazarnya. Maka dilakukanlah undian atas
sepuluh anaknya, lalu keluarlah nama anaknya yang paling kecil yaitu Abdullah.
Ketika nama anak itu keluar dalam undian, maka orang-orang yang ada
disekitarnya berusaha memberontak, mereka mengatakan bahwa mereka tidak akan
membiarkan Abdullah disembelih.
Abdullah saat itu terkenal sebagai seseorang yang bersih dikawasan
Arab, ia telah dapat menarik simpati masyarakat di sekitarnya. Ia tidak pernah
menyakiti seseorang pun. Bahkan ia tidak pernah meninggikan suaranya lebih dari
orang lain. Senyuman khas Abdullah terkenal sebagai senyuman yang paling lembut
di kawasan Jazirah Arab. Muatan ruhaninya demikian jernih, dan hatinya yang
mulia menyerupai sebuah kebun di tengah-tengah gurun hati-hati yang keras, oleh
karena itu semua manusia datang kepadanya dan menentang usaha penyembelihannya.
Para pembesar Quraisy berkata, "Lebih baik kami menyembelih anak-anak kami
daripada ia harus disembelih, dan menjadikan anak-anak kami sebagai tebusan
baginya. Kami tidak akan menemukan seseorang pun yang lebih baik dari dia seandainya
kami menyembelihnya, pertimbangkanlah kembali masalah itu, dan biarkan kami
bertanya kepada dukun."
Abdul Muthalib tampak tidak mampu menghadapi tekanan ini, lalu ia
mempertimbangkan kembali apa yang telah ditetapkannya. Kemudian mereka
mendatangi seorang dukun. Si dukun berkata: "Berapakah taruhan yang kalian
miliki?" Mereka menjawab: "Sepuluh ekor unta." Dukun itu
berkata: "Datangkanlah sepuluh unta, lalu lakukanlah kembali undian
atasnya dan atas nama Abdullah, jika undian datang padanya, maka tambahlah
sepuluh ekor unta lagi, lalu ulangilah terus undian tersebut, demikian hingga
tidak keluar lagi nama Abdullah."
Kemudian dilakukanlah undian atas nama Abdullah dan atas sepuluh
ekor unta yang besar. Undian itu pun mengeluarkan terus nama Abdullah, hingga
Abdul Muthalib menambah sepuluh ekor unta lagi, kemudian lagi-lagi yang keluar
nama Abdullah sehingga mereka pun menambah sepuluh ekor unta lagi sampai jumlah
unta itu telah mencapai seratus ekor unta. Setelah itu, datanglah nama unta
tersebut. Maka saat itu, masyarakat demikian gembiranya sehingga berlinangan
air mata, kegembiraan dari mereka karena melihat Abdullah berhasil
diselamatkan. Kemudian disembelihlah seratus ekor unta di sisi Ka'bah, dan
mereka membiarkannya di situ sehingga korban itu tidak disentuh oleh seseorang
pun dan juga disentuh oleh binatang-binatang buas.
Abdul Muthalib sangat gembira atas keselamatan anaknya, Abdullah.
Lalu ia menetapkan untuk menikahkannya dengan gadis terbaik di Jazirah Arab,
kemudian ia keluar dengannya pada suatu hari dari Ka'bah ke rumah Wahab, dan di
sana ia meminang untuknya Aminah binti Wahab. Kemudian Aminah binti Wahab
menikah dengan Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang pemuda yang paling mulia
dan paling dicintai oleh orang-orang Quraisy.
Dinyalakanlah api-api di gunung-gunung Mekah, agar para musafir
dan para tamu mengetahui tempat diadakannya acara tersebut, yaitu acara
pernikahan antara Abdullah dan Aminah. Lalu disembelihlah hewan-hewan korban,
dan manusia dari kalangan orang-orang fakir bahkan binatang-binatang buas dan
burung makan darinya. Abdullah tinggal bersama istrinya dua bulan di rumah
pernikahan, hingga suatu hari ada kabar bahwa kafilah akan berangkat, lalu
Abdullah pun mengikuti kafilah tersebut dan melakukan perjalanan bersama kafilah
perdagangan Quraisy menuju Syam, itu adalah kesempatan terakhir yang diperoleh
Aminah binti Wahab bersamanya. Wajah Abdullah yang mulai tampak berseri-seri
mengucapkan selamat tinggal kepada Aminah, lalu setelah itu bayang-bayang
wajahnya tersembunyi bersama kafilah dan rnereka pun hilang. Aminah tidak
mengetahui bahwa itu adalah kesempatan terakhirnya setelah dua bulan dari
perkawinannya. Abdullah mengunjungi paman-pamannya dari kabilah bani Najar di
Madinah, dan di sana ia meletakkan jasadnya di muka bumi, ia meninggal dunia.
Abdullah bin Abdul Muthalib kini telah meninggal. Saat itu ia
berusia dua puluh lima tahun. Kabar kematiannya tiba-tiba tersebar dan sangat
memilukan hati orang-orang yang mendengarnya, sehingga kabar itu sampai ke
istrinya. Aminah tampak menangis tersedu-sedu dan ia tampak menyampaikan
pertanyaan-pertanyaan pada dirinya dan tidak mengetahui jawabannya, mengapa
Allah SWT menebusnya dengan seratus unta jika kemudian Dia menetapkan kematian
baginya.
Tidak lama kemudian, lalu bergeraklah dirahimnya janin dengan
gerakan yang sedikit, ia tampak mulai mengetahui bahwa ia sedang hamil. Aminah
menangis dua kali, pertama ia menangis untuk dirinya sendiri dan kali ini ia
menangis untuk anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum ia sempat dilahirkan.
Aminah tidak pernah mengetahui sebelumnya bahwa janin yang dikandungnya akan
menjadi anak yatim, ayahnya meninggal saat ia dilahirkan.
Anak yatim ini harus menanggung beban anak-anak yatim dan
orang-orang fakir serta orang-orang yang sedih di muka bumi. Ia akan menjadi
Nabi yang terakhir dan rasul-Nya kepada manusia. Ia akan menjadi rahmat yang
dihadiahkan kepada manusia dan tidak akan mengetahui makna rahmat kecuali orang
yang merasakan penderitaan dan kepahitan. Inilah anak kecil yang sebelum
dilahirkan telah menelan kesedihan. Dan berlalulah hari demi hari, lalu
hilanglah tangisan penderitaan dan mata Aminah pun telah mengering, namun
kesedihannya tampak menyerupai sebuah pohon yang turnbuh bersama kehausan.
Kemudian kesedihannya hari demi hari semakin ia rasakan tetapi
kesedihannya itu mulai tidak tampak ketika ia mendapatkan bahwa janin yang
dikandungnya tidaklah memberatkannya, sebaliknya ia merasakan betapa ringannya
janin yang dikandungnya bagaikan merpati yang berkeliling di seputar Ka'bah,
dan seandainya kesedihannya yang selalu mengitarinya, maka tidak ada wanita
yang lebih bahagia darinya dengan kehamilan yang ringan ini. Janin itu adalah
manusia yang mulia di sisi Tuhan, kemudian semakin dekatlah hari kelahirannya.
Sementara itu, pasukan Abrahahh mendekati Mekah.
Abrahahh adalah seorang penguasa Yaman, yaitu pada saat Yaman
tunduk kepada Habasyah setelah penguasa Persia diusir. Di Yaman ia membangun
suatu gereja yang menunjukkan bangunan yang menakjubkan. Abrahahh membangunnya
dengan niat agar orang-orang Arab berpaling dari Baitul Haram di Mekah. Ia
melihat betapa orang-orang Yaman tertarik dengan rumah tersebut. Dan ketika ia
tidak melihat gereja yang dibangunnya memiliki daya tarik seperti itu dan tidak
mampu menarik hati orang-orang Arab, maka ia berkeinginan kuat untuk
menghancurkan Ka'bah, sehingga orang-orang tidak menuju ke Ka'bah lagi
melainkan ke gerejanya. Demikianlah akhirnya ia menyiapkan pasukan yang besar
yang dipenuhi dengan berbagai senjata, kemudian pasukan itu menuju Ka'bah.
Pasukan Abrahahh terdiri dari kelompok gajah yang besar yang
digunakannya untuk menghancurkan Ka'bah. Gajah-gajah itu bagaikan tank-tank
yang kita gunakan saat ini. Orang-orang Arab pun mendengar rencana tersebut.
Memang orang-orang Arab saat itu terkenal sebagai penyembah berhala, meskipun
demikian mereka sangat memberikan penghargaan dan penghormatan terhadap Ka'bah,
karena mereka meyakini bahwa mereka adalah anak-anak Nabi Ibrahim as dan Nabi
Ismail as pemelihara Ka'bah.
Perjalanan pasukan tiba-tiba dihadang oleh seorang lelaki yang
mulia dari penduduk Yaman yang bernama Dunaher. Ia mengajak kaumnya dan dari
kalangan orang-orang Arab untuk memerangi Abrahahh, sehingga ada beberapa orang
yang mengikutinya. Abrahahh berhadapan dengan tentara tersebut tetapi pasukan
yang sedikit itu dapat dengan mudah dipatahkan oleh pasukan kafir yang besar
itu. Kemudian Dunaher pun kalah dan menjadi tawanan Abrahahh. Pasukan Abrahahh
tersebut juga sempat ditentang oleh Nufail bin Hubaid al-Aslami, namun Abrahahh
pun dapat mengalahkan mereka dan berhasil menawan Nufail.
Kemudian ketika Abrahahh melewati kota Taif, menghadaplah
kepadanya beberapa orang tokoh setempat, dan mereka tampak gemetar ketakutan
dan berkata kepadanya bahwa sesungguhnya 'rumah' yang ditujunya tidak berada di
tempat mereka, tetapi berada di Mekah. Hal itu mereka sampaikan dengan maksud
untuk memalingkannya dari rumah berhala mereka, di mana mereka membangun di
dalamnya berhala yang bernama Latha kemudian mereka mengutus seseorang yang
akan menunjukkan kepada Abrahahh letak Ka'bah. Ketika Abrahahh berada di antara
Taif dan Mekah, ia mengutus seorang pemimpin pasukannya sehingga ia melihat
keadaan Mekah. Di sana ia merampas banyak harta dari kaum Quraisy dan selain
mereka, dan di antara yang dirampasnya adalah dua ratus unta milik Abdul
Muthalib bin Hasyim. Saat itu Abdul Muthalib adalah salah seorang pembesar
Quraisy dan pemimpin mereka, serta pengawas sumur Zamzam.
Kedatangan utusan Abrahahh di Mekah telah menimbulkan gejolak pada
kabilah-kabilah. Akhirnya kaum Quraisy bergerak, begitu juga kaum Khananah.
Kemudian mereka mengetahui bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk melawan
Abrahahh, sehingga mereka membiarkannya, lalu tersebarlah di Jazirah Arab
berita tentang datangnya pasukan yang kuat yang sulit untuk ditandingi. Dalam
surat yang dibawa oleh utusannya itu, Abrahahh menyampaikan bahwa ia tidak
datang untuk memerangi mereka, namun ia datang hanya untuk menghancurkan
Ka'bah. Jika mereka tidak menentangnya, maka darah mereka tidak akan
ditumpahkan. Lalu utusan itu menemui Abdul Muthalib, ia menceritakan tentang
keinginan Abrahahh. Abdul Muthalib berkata: "Kami tidak ingin memeranginya
karena kami tidak memiliki kekuatan. Ka'bah adalah rumah Allah SWT yang mulia
dan suci, dan rumah kekasih-Nya Ibrahim. Jika Ia mencegahnya, maka itu adalah
rumah-Nya dan tempat suci-Nya, namun jika Ia membiarkannya, maka demi Allah
kami tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankannya." Kemudianutusan itu
pergi bersama Abdul Mutihalib menuju Abrahahh.
Abdul Muthalib adalah seseorang yang sangat terpandang dan sangat
mulia. Ia memiliki kewibawaan dan kehormatan yang mengagumkan. Ketika Abrahahh
melihatnya, Abrahahh menampakkan penghormatan kepadanya. Abrahahh memuliakannya
dan mendudukannya di bawahnya, ia tidak suka bahwa ia duduk bersamanya di kursi
kekuasaannya. Lalu Abrahahh turun dari kursinya dan duduk di atas sebuah
permadani dan mendudukkan Abdul Muthalib di sisinya. Kemudian ia berkata kepada
penerjemahnya: "Katakan padanya apa kebutuhannya?" Abdul Muthalib berkata:
"Kebutuhanku adalah agar Abrahahh mengembalikan dua ratus ekor unta yang
diambilnya dariku" Ketika Abdul Muthalib mengatakan demikian, wajah
Abrahahh berubah, lalu ia berkata kepada penerjemahnya: "Katakan padanya
sungguh aku merasa kagum ketika melihatnya, kemudian aku merasakan
kehati-hatian saat berbicara dengannya, apakah engkau berbicara denganku
tentang dua ratus ekor unta yang telah aku ambil, lalu engkau membiarkan rumah
yang merupakan simbol agamanya dan kakek-kakeknya, yang aku datang untuk
menghancurkannya dan dia tidak menyinggungnya sama sekali" Abdul Muthalib
menjawab: "Aku adalah pemilik unta, sedangkan pemilik rumah itu adalah
Tuhan yang melindunginya." Abrahahh berkata: "Dia tidak akan mampu
melindunginya dariku." Abdul Muthalib menjawab: "Lihat saja
nanti!"
Selesailah dialog antara Abdul Muthalib dan Abrahahh. Abrahahh pun
mengembalikan unta yang telah dirampasnya. Abdul Muthalib pergi menemui
orang-orang Quraisy dan menceritakan apa yang dialaminya, dan ia memerintahkan
mereka untuk meninggalkan Mekah dan berlindung dibalik gua-gua di gunung.
Akhirnya kota Mekah dikosongkan oleh pemiliknya. Aminah binti Wahab keluar ke
gunung-gunung di dekat kota Mekah kemudian malaikat turun di bumi Jarzirah
Arab.
Abdul Muthalib berdiri dan memegangi pintu Ka'bah dan berdiri
bersama dengan sekelompok orang-orang Quraisy, mereka berdoa kepada Allah SWT
dan meminta perlindungan-Nya, agar para malaikat memerintahkan gajah-gajah
tidak melangkahkan kakinya sehingga gajah itu pun tetap di tempatnya dan
menaati perintah para malaikat, kemudian gajah-gajah itu menerima pukulan yang
dahsyat namun gajah-gajah itu tetap berdiam di tempatnya, gajah-gajah itu
tampak gemetar dan berteriak tetapi lagi-lagi gajah-gajah itu menolak untuk
bergerak dan tidak bergerak selangkah pun. Abrahahh bertanya: "Mengapa
pasukan tidak bergerak?" Kemudian dikatakan kepadanya bahwa gajah-gajah
menolak untuk bergerak. Abrahah mengangkat cemetinya. Dengan muka emosi, ia
ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan gajah-gajahnya.
Matahari saat itu bersinar dan ia duduk di kemahnya. Ketika ia
keluar, matahari bersembunyi di balik segerombolan burung. Abrahah mengangkat
pandangannya ke arah langit. Mula-mula ia membayangkan bahwa ia melihat
sekawanan awan yang hitam. Kemudian ia mengamat-amati awan itu. Dan ternyata ia
bukan awan biasa. Itu adalah sekelompok burung yang menutupi cahaya matahari
dan menyerupai awan yang tebal. Burung ababil, burung yang banyak.
Gajah-gajah semakin berteriak dengan kencang dan tampak ketakutan.
Dan rasa takut itu kini menghinggapi seluruh pasukan. Abrahah berteriak di
tengah-tengah pasukannya agar gajah diusahakan untuk maju secara paksa.
Kemudian terbukalah salah satu jendela dari jendela al-Jahim, dan burung-burung
itu menghujani pasukan dengan batu dari Sijil, yaitu batu yang sama yang pernah
dihujankan kepada kaum Nabi Luth. Batu itu menyerupai bom-bom atom yang
digunakan saat ini.
Jika Anda membaca buku-buku kuno, maka Anda akan mengetahui
bagaimana peristiwa yang menimpa pasukan Abrahah. Anda akan membayangkan bahwa
Anda berada di hadapan suatu kekuatan yang menghancurkan yang tidak diketahui
asal muasalnya. Dunia mengenali sebagian darinya setelah empat belas abad dari
peristiwa tersebut. Buku-buku itu mengatakan bahwa pasukan itu dihancurkan
dengan penghancuran yang dahsyat.
Para tentara Abrahah kembali dalam keadaan binasa di mana
daging-daging dari tubuh mereka berceceran di jalan. Abrahah pun mendapatkan
luka dan mereka keluar dari tempat itu dalam keadaan dagingnya terpisah satu
persatu. Abrahah pun terbelah dadanya dan mati. Kemudian jasad para pasukannya
tersebar dan berceceran di bumi, seperti tanaman yang dimakan oleh binatang.
Setelah mendekati setengah abad, turunlah suatu surah di Mekah yang
menceritakan tentang peristiwa itu:
"Apakah kamu tidak memperhatikan bagimana Tuhanmu telah
bertindak terhadap tentara gajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya
mereka (untuk menghancurkan Ka 'bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada
mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal)
dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadihan mereka seperti daun yang dimakan
(ulat)." (QS. al-Fil: 1-5)
Pasukan gajah yang ingin memporak-porandakan Mekah dikalahkan.
Kemudian mereka dihancurkan dan Tuhan pemilik Ka'bah berhasil melindungi rumah suci-Nya.
Perlindungan tersebut bukan sebagai penghormatan bagi orang yang tinggal di
rumah itu dan bukan sebagai bentuk pengkabulan doa kaum yang menyembah berhala
yang memenuhi tempat itu. Allah SWT sebagai Pelindung Ka'bah memeliharanya
karena adanya hikmah yang tinggi; Allah SWT menginginkan sesuatu bagi rumah
itu; Allah SWT ingin melindunginya agar tempat itu menjadi tempat yang damai
bagi manusia dan supaya tempat itu menjadi pusat dari akidah yang baru dan
menjadi tanah bebas yang aman, yang tidak dikuasai oleh seseorang pun dari luar
dan juga tidak didominasi oleh pemerintahan asing yang akan membatasi dakwah.
Yang demikian itu karena di sana terdapat rumah dari rumah-rumah di Mekah yang
lahir di sana seorang anak di mana ibunya bernama Aminah binti Wahab dan
ayahnya adalah Abdullah, salah seorang tokoh Arab. Anak itu belum dilahirkan
dan belum dapat tugas kenabian dan ia belum memikul Islam di atas pundaknya dan
belum menjadi rahmat bagi alam semesta. Kemudian datanglah Abrahah yang ingin
menghancurkan semua ini tanpa ia mengetahui semua rahasia ini.
Tragedi yang menimpa Abrahah adalah karena bahwa ia berusaha
menentang kehendak Ilahi sehingga kehendak Ilahi itu menghancurkannya dengan
mukjizat yang mengagumkan. Datanglah banyak burung dengan membawa batu-batuan
yang tidak didengar suaranya. Kemudian burung-burung melemparkan batu-batu itu
kepada Abrahah beserta tentaranya. Semua ini berdasarkan rencana Ilahi terhadap
rumah-Nya dan agama-Nya serta nabi-Nya sebelum orang mengetahui bahwa Nabi
Islam telah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat tidurnya di perut ibunya dan
mulai memasuki kehidupan yang keras di muka bumi.
Di tengah-tengah kegembiraan Mekah karena keselamatan penghuninya
dan selamatnya Ka'bah, Aminah binti Wahab bermimpi: di tengah suatu malam ia
menyaksikan dirinya berdiri sendirian di tengah-tengah gurun, dan telah keluar
dari dirinya suatu cahaya besar yang menyinari timur dan barat dan terbentang
hingga langit. Aminah tiba-tiba terbangun dari tidurnya namun ia tidak
mengetahui tafsir dari mimpinya.
Berlalulah hari demi hari dari tahun gajah. Dan pada waktu sahur
dari malam Senin hari keduabelas dari bulan Rabiul Awal, Aminah melahirkan
seorang anak kecil yang yatim yang bernama Muhammad bin Abdillah bin Abdul
Muthalib, seorang cucu dari Ismail bin Ibrahim bin Adam.
Sebelum ia dilahirkan, dunia mati karena kehausan padanya.
Kehausan dunia sangat besar kepada cinta, rahmat, dan keadilan. Sekarang teiah
berlalu 600 tahun dari kelahiran al-Masih dan orang-orang Masehi telah menjauhi
ajaran cinta, bahkan keyakinan-keyakinan berhalaisme telah meresap kepada
sebagian kelompok mereka dan kejernihan ajaran tauhid telah ternodai. Sedangkan
orang-orang Yahudi telah meninggalkan wasiat-wasiat Musa dan mereka kembali
menyembah lembu yang terbuat dari emas. Dan setiap orang dari mereka lebih
memilih untuk memiliki lembu emas yang khusus. Demikianlah, berhalaisme telah
menyerang di bumi. Bumi dipenuhi oleh kegelapan. Akal disingkirkan dan Tuhan
diiupakan dan mereka menyerahkan diri mereka kepada pembohong.
Ketika jantung dunia telah terkena kekeringan, maka memancarlah
dari timur suatu mata air keimanan yang jernih yang menjadi puas dengannya
separo dunia. Dan mukjizat besar terjadi ketika mata air ini mengeluarkan air
yang jernih dari jantung gurun yang paling besar ketandusannya di dunia, yaitu
gurun jazirah Arab. Berkenaan dengan penggambaran masa tersebut, dalam hadis
yang mulia dikatakan: "Sesungguhnya Allah melihat penduduk bumi lalu Dia
murka kepada mereka, baik orang-orang Arab maupun orang-orang Ajam kecuali
sebagian kecil dari Ahlulkitab."
Di tenda yang kasar, lahirlah seorang anak yatim yang kemudian
bertanggung jawab untuk memberikan minum kepada dunia yang haus pada cinta,
keadilan, kebebasan, serta kebenaran. Sementara itu, beberapa langkah dari
tempat kelahirannya terdapat berhala-berhala yang memenuhi Baitul 'Athiq dan
sekitar Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail agar menjadi
rumah Allah SWT dan Dia disembah di dalamnya dan manusia merasa tenteram di
dalamnya. Di rumah yang kuno ini—yang dibangun sebelumnya oleh Adam—dipenuhi
patung-patung tuhan yang terbuat dari batu dan kayu. Ini menunjukkan betapa
akal orang-orang Arab saat itu mengalami titik terendah.
Sementara itu nun jauh di sana, tepatnya di Yatsrib atau Madinah
dipenuhi oleh orang-orang Yahudi yang mereka datang di sana karena melarikan
diri dari penindasan orang-orang Romawi. Mereka tinggal di situ bagaikan
srigala-srigala di atas tanah yang tersubur di mana mereka melakukan monopoli
dalam perdagangan. Mereka membagun kejayaan mereka dengan memanfaatkan orang-orang
Arab dan keheranan mereka terhadap diri mereka sendiri.
Para cendikiawan Yahudi memperdagangkan segala sesuatu, dimulai
dari emas sampai Taurat. Mereka menyembunyikan kertas-kertas darinya dan
menampakkan sebagiannya; mereka mengubah kertas-kertas Taurat itu untuk
memperkaya diri mereka. Pada saat orang-orang Yahudi menyembah emas dan sangat
lihai melakukan persekongkolan, orang-orang Arab justru menyembah batu dan
mereka pandai berperang. Mereka juga lihai dalam membuat syair lalu
menggantungkannya di atas tirai-tirai Ka'bah. Orang-orang Arab hidup di bawah
naungan sistem kesukuan di mana kepala suku adalah pemimpin dan nilainya
sebanding dengan anak buahnya, dan kemampuan mereka dalam berperang. Dan
keutamaan seseorang dilihat dari asal muasalnya serta nilainya juga dilihat
dari kefanatikannya serta kebanggannya kepada nasab yang merupakan kemuliannya,
juga kefanatikannya terhadap berhala tertentu yang merupakan agamanya. Jadi,
segala bentuk kemuliaan dan kewibawaan tidak terbentuk kecuali dalam ruang lingkup
yang sempit dalam kabilah atau kesukuan.
Sedangkan di tempat yang jauh dari Mekah, Romawi menyerupai burung
rajawali yang lemah, namun belum sampai kehilangan kekuatannya. Orang-orang
Romawi sangat menyanjung kekuatan. Sedangkan di belahan timur dari utara negeri
Arab, orang-orang Persia menyembah api dan air. Api tetap menyala di tempat
peribadatan mereka di mana manusia rukuk untuknya. Dan di sana terdapat danau
Sawah yang dianggap suci oleh mereka.
Sementara itu, Kisra, raja kaum Persia duduk di atas singgasananya
dan memberikan keputusan terhadap manusia. Keputusan Kisra selalu didengar dan
dilaksanakan. Tidak ada seorang pun yang berani menentangnya dan menolaknya.
Orang-orang Persia berhasil mengalahkan Romawi dan Yunani, sehingga mereka menjadi
kekuatan yang dahsyat di muka bumi. Meskipun mereka memiliki kekuatan yang
sangat luar biasa, namun penyembahan api jelas-jelas menunjukkan betapa
bodohnya mereka dan betapa kekuatan mereka diliputi oleh kebodohan sehingga
akal mereka tercabut dan mereka terhalangi untuk mencapai kebenaran. Alhasil,
kegelapan semakin meningkat di setiap penjuru bumi dan kehidupan berubah
menjadi hutan yang lebat di mana di dalamnya seorang yang kuat akan
menyingkirkan seorang yang lemah dan di dalamnya yang menang adalah kebatilan.
Di tengah-tengah suasana yang demikian kelam, lahirlah seorang
anak di tenda Mekah. Ketika anak tersebut lahir, maka padamlah api yang
disembah oleh kaum Persia dan keringlah danau Sawah yang disucikan oleh
manusia, bahkan robohlah empat belas loteng dari istana Kisra. Dan setan merasa
bahwa penderitaan yang besar telah merobek-robek hatinya. Ini semua sebagai
simbol dimulainya kehancuran kejahatan atau keburukan di muka bumi dan
terbebasnya akal manusia dari penyembahan terhadap sesama manusia atau terhadap
hal-hal yang bersifat khurafat. Manusia diajak hanya untuk menyembah kepada
Allah SWT. Kelahiran Rasul sebagai bukti hilangnya kelaliman, sebagaimana
kelahiran Nabi Musa yang menunjukkan kebebasan Bani Israil dari kelaliman
Fir'aun.
Ajaran Muhammad bin Abdillah merupakan ajaran revolusi yang paling
meyakinkan dan yang paling penting yang pernah dikenal di dunia; ajaran yang
bertugas untuk menyelamatkan dan membebaskan akal dan materi. Tentara Al-Qur'an
adalah tentara yang paling adil dan paling berani untuk menghancurkan
orang-orang yang lalim. Kita akan melihat dalam sejarah Nabi bahwa
kejadian-kejadian luar biasa telah mengelilingi Ka'bah sebelum kelahirannya.
Kemudian terjadilah peristiwa luar biasa setelah kelahirannya di mana
terjadilah peristiwa pembelahan dada pada saat beliau masih kecil, begitu juga
beliau dinaungi oleh awan di waktu kecil, bahkan beliau terkenal pada saat
masih kecil dengan kecenderungan untuk meninggalkan permainan-permainan yang
biasa dimainkan oleh anak-anak kecil seusia beliau. Allah SWT memberikan
penjagaan khusus kepadanya sehingga Jibril as turun kepadanya dengan membawa
wahyu.
Selanjutnya, mukjizatnya yang pertama adalah mukjizat yang
terdapat pada kepribadiannya dan pemikiran-pemikirannya. Itulah yang menjadi mukjizatnya
yang terbesar setelah Al-Qur'an; itu adalah bangunan ruhani yang tinggi di mana
beliau mampu menahan penderitaan di jalan Allah SWT. Dan dalam menegakkan
kebenaran, beliau memikul berbagai macam rintangan. Beliau melaksanakan amanat
yang diembannya secara sempuma dan sebaik-baik mungkin. Hal yang indah yang
dikatakan tentang mukjizat Nabi setelah diutusnya beliau adalah bahwa beliau
tidak mempunyai mukjizat selain usaha membebaskan akal: tanpa memiliki kekuatan
luar biasa selain membebaskan pikiran, tanpa dalil selain kalimat Allah SWT.
Sedangkan Isa bin Maryam telah berdakwah dan mengajak manusia
untuk menciptakan kesamaan, persaudaraan, dan cinta kasih di antara mereka,
namun Muhammad saw diberi karunia untuk mewujudkan persamaan, persaudaraan, dan
cinta kasih di antara orang-orang mukmin di tengah-tengah kehidupannya dan
setelah kehidupannya.
Ketika Nabi Isa mampu menghidupkan orang-orang yang mati dan
mengeluarkan mereka dari kuburan, Muhammad bin Abdillah menghidupkan
orang-orang hidup dari kematian mereka yang tidak pernah mereka sadari. Itu
adalah bentuk kematian yang paling berat. Beliau juga mengeluarkan rnereka dari
kegelapan dan kebodohan menuju cahaya ilmu, dan dari belenggu syirik dan
kekufuran menuju dunia tauhid.
Sulaiman sebagai seorang Nabi dan raja mampu memperkerjakan jin
untuk mengabdi padanya, bahkan mereka mampu terbang beribu-ribu mil untuk
menghadirkan singgasana musuh-musuhnya agar mereka semua tercengang terhadap
kemampuannya, sehingga mereka masuk Islam. Namun Muhammad saw justru mengabdi
kepada Islam hanya sebagai seorang tentara yang sederhana. Beliau mengetahui
bahwa ketika beliau lalai sesaat saja dari dakwah di jalan Allah SWT, maka
kesempatannya dalam menyebarkan agama Islam akan hilang.
Di saat terjadi peristiwa besar dalam peperangan, tiba-tiba azan
salat dikumandangkan, sehingga para pasukan yang berperang mengerjakan salat.
Tidak ada malaikat yang turun untuk melindungi mereka ketika salat atau
mencegah datangnya anak-anak panah dari punggung mereka saat sujud. Karena itu,
hendaklah para pasukan melindungi dirinya sendiri. Para pasukan mukmin berusaha
salat secara bergantian: sebagian mereka salat dan sebagian mereka bertugas
untuk menjaga.
Allah SWT berfirman:
"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu)
lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah
segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata,
kemudian apabila mereka sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah
mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang
golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka
denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.
Orang-orang kafir ingin agar kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu,
lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus."(QS. an-Nisa': 102)
Selesailah masalah itu dan tidak adak malaikat yang turun untuk
melindunginya dan menolongnya. Ini adalah masa kematangan akal dan masa
keletihan para nabi dan orang-orang mukmin. Dan sesuai kadar keletihan mereka
dalam menyampaikan ajaran Islam, mereka pun akan mendapatkan balasan yang
besar.
Pada masa para nabi sebelum Nabi Muhammad saw, mereka menghadirkan
mukjizat-mukjizat kepada kaum mereka saat memulai dakwah, sehingga kaum tersebut
mempercayai apa saja yang mereka bawa, sedangkan Nabi Muhammad bin Abdillah
tidak menghadirkan kepada kaumnya selain dirinya dan ketulusannya.
Allah SWT telah memutuskan untuk melindungi Musa dan
memerintahkannya untuk mengangkat gunung di atas kaumnya hingga mereka beriman
kepada Taurat, atau untuk menjatuhkan gunung tersebut di atas mereka. Ketika
mengetahui hal yang Demikian itu, orang-orang Yahudi sujud dengan meletakkan
pipi mereka di atas tanah dan mereka mengamati bukit batu yang berada di atas
kepala mereka yang diangkat oleh tangan yang tersembunyi. Sedangkan Nabi
Muhammad bin Abdillah tak pernah memaksa seseorang pun. Berimanlah beberapa
orang kepadanya dan puaslah beberapa orang kepadanya dan matilah bersamanya
orang-orang yang mati dalam keadaan puas. Beliau tidak membawa pedang kecuali
saat panah yang beracun mendekati jantung Islam dan mengancamnya.
Dakwah para nabi menuntut terjadinya mukjizat demi mukjizat. Ini
karena masa kekanak-kanakan manusia serta kelemahan akal dan hilangnya panca
indera menuntut rahmat Allah SWT untuk mendatangkan mukjizat yang sesuai dengan
masa turunnya mukjizat tersebut dan budaya masyarakat setempat. Adalah hal yang
maklum bahwa di tengah-tengah penduduk Mekah saat itu tidak terdapat
orang-orang yang cerdas atau orang-orang yang bijak yang mampu menyerap
kata-kata yang baik. Dan kesulitan yang dihadapi oleh Islam adalah bahwa ia
tidak diturankan pada masa ini saja, tetapi Islam diturunkan untuk setiap masa.
Allah SWT mengetahui bahwa manusia telah memasuki masa kematangan berpikir yang
mengagumkan, maka hikmah-Nya menuntut bahwa pernyataan yang pertama kali
disebutkan dalam risalah-Nya adalah "iqra'" (bacalah).
Di samping itu, risalah tersebut mengandung pemikiran yang universal, sistem
yang membangun, dan hukum yang mempesona, serta kebebasan yang diidamkan, dan
manusia yang sempurna.
Adalah tidak mengurangi kehormatan para nabi sebelum Nabi Muhammad
saw di mana mereka tidak diutus di masa-masa kematangan pemikiran, tetapi yang
menambah kehormatan Nabi Muhammad saw bahwa beliau diutus di tengah-tengah masa
kematangan berpikir, dan beliau diutus sebelum datangnya masa ini. Beliau
memikul berbagai lipat cobaan yang pernah dipikul oleh para nabi; beliau
berdakwah dengan menanggung berbagai lipat godaan dan cobaan; beliau mengalami
siksaan yang pernah dialami oleh semua para nabi; beliau mencintai Allah SWT
sebagaimana para nabi mencintai-Nya. Allah SWT memuliakannya ketika beliau
mengimami mereka di saat salat pada saat beliau melakukan Isra' dan Mi'raj.
Meskipun demikian, ketika beliau keluar pada suatu hari menemui
sahabat-sahabatnya dan mendapati mereka mengutamakan para nabi dan
mendahulukannya atas mereka, maka beliau justru menampakkan kemarahan dan
wajahnya berubah. Beliau berkata: "Janganlah kalian mengutamakan aku atas
Yunus bin Mata."
Melalui pernyataan itu, beliau berusaha meletakkan suatu pondasi
pemikiran yang harus dilalui oleh kaum Muslim di mana para nabi memang memiliki
derajat tertentu di sisi Allah SWT. Boleh jadi ada nabi yang lebih afdal atau
yang lebih mulia daripada yang lain. Siapakah yang menetapkan hal itu? Tidak
ada seorang pun selain Allah SWT. Ada pun kaum Muslim hendaklah mereka berhenti
pada batas tertentu yang seharusnya mereka berikan berkaitan dengan sopan
santun terhadap para nabi. Selama Allah SWT menyampaikan shalawat kepada rasul
sebagai bentuk penghormatan dan memerintahkan mereka untuk menyampaikan
shalawat kepadanya, dan selama Rasulullah seperti nabi-nabi yang lain, maka
hendaklah mereka juga bershalawat kepada semua nabi tanpa perbedaan, meskipun
pada bentuk shalawat itu sendiri.
Sementara itu, bayi yang mungil itu yang lahir di Mekah bergerak
setelah tahun gajah. Kemudian berita tersebar di sana sini dan Sampailah ke
telinga kakeknya bahwa cucunya telah dilahirkan. Abdul Muthalib segera menuju
ke tempat itu dan membawa cucunya yang yatim lalu berkeliling dengannya di
Ka'bah sambil memikirkan namanya. Abdul Muthalib tidak merasa terpukau dengan
nama-nama yang mulai beredar di benaknya. Ia tampak bingung menentukan nama
yang paling tepat buat cucunya, bahkan kebingungannya itu berlanjut sampai enam
hari, sehingga sang Nabi disunat. Ketika malam telah menyelimuti kawasan Mekah,
datanglah kepadanya suara yang sama yang dulu pernah dilihatnya dan didengarnya
yang memerintahkannya untuk menggali zamzam. Di tengah-tengah tidurnya, suara
itu membisikkan kepadanya bahwa nama cucunya berasal dari al-Ham, yang
berarti Muhammad atau Ahmad.
Orang-orang Quraisy bertanya kepada Abdul Muthalib: "Nama apa
yang engkau berikan kepada cucumu?" Abdul Muthalib menjawab sambil
mengingat bisikan suara yang didengarnya saat mimpi, "Muhammad." Nama
tersebut sebenamya tidak umum di kalangan orang-orang Jahilliyah. Mereka
bertanya, "Mengapa Abdul Muthalib tidak memakai narna-nama kakek-kakeknya
dan nama-nama yang biasa dipakai di kalangan mereka." Abdul Muthalib
menjawab: "Aku ingin Allah SWT memujinya di langit dan manusia memujinya
di bumi."
Kami tidak mengetahui dorongan apa yang mendikte Abdul Muthalib
untuk menyatakan kalimat tersebut. Apakah kalimat itu bersumber dari realitas
kebanggaan orang-orang Arab yang populer atau berasal dari realitas kebanggaan
tradisional? Atau, apakah berangkat dari realitas kegembiraan yang dalam dengan
kelahiran si cucu, ataukah kalimat itu bersumber dari suasana ruhani yang jernih
dan bisikan alam gaib? Tentu kami tidak bisa menjawab. Yang dapat kami ketahui
adalah bahwa seseorang tidak akan layak menyandang predikat manusia yang dipuji
di bumi dan dipuji oleh Allah SWT di langit seperti predikat yang disandang
oleh Muhammad bin Abdillah.
Nabi Muhammad saw muncul ke alam wujud dalam keadaan yatim. Beliau
ditinggalkan oleh ayahnya saat beliau masih janin di dalam perut ibunya. Allah
SWT berfirman:
"Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia
melindungimu?" (QS. adh-Dhuha: 6)
Allah SWT melindunginya. Orang-orang sufi mengatakan bahwa
sebab-sebab kemanusiaan seperti adanya kakeknya Abdul Muthalib dan bagaimana ia
mengasuhnya dan melindunginya tidak lain hanya bentuk lahiriah yang tidak
begitu penting, sedangkan bentuk batiniah yang sebenarnya adalah kita berada di
hadapan manusia yang dilindungi dan diasuh oleh Tuhannya sejak masih kecil.
Allah SWT mendidiknya saat beliau masih kecil, dan mengujinya dengan keyatiman
saat beliau masih janin serta mengujinya dengan kelaparan sejak masih kecil,
dan dewasa dengan kematian si ibu, saat beliau masih kecil dengan keterasingan
di tengah-tengah keramaian, dan dengan terjaga di tengah-tengah tidur serta
dengan penderitaan demi penderitaan. Allah SWT telah menyiapkannya sejak usia
dini untuk memikul beban risalah terakhir.
Selanjutnya, ibunya seringkali memeluknya lebih dari sebelumnya.
Ia melihat bahwa banyak dari wanita-wanita yang menyusui tidak berkenan untuk
mengasuhnya. Adalah sudah menjadi tradisi yang berkembang di Mekah di mana
keluarga-keluarga yang mulia mengirim anaknya ke kawasan dusun agar anak
tersebut menyerap dan menghirup udara segar serta memperoleh mainan yang
memadai. Dan biasanya wanita-wanita yang menyusui anak-anak lebih tertarik
menyusui anak-anak dari orang-orang kaya. Namun ketika pemimpin manusia seorang
yang fakir, maka wanita-wanita yang biasa menyusui tidak berminat kepadanya.
Marilah kita telusuri bagaimana Halimah binti Abi Duaib
menceritakan kisahnya bersama anak kecil yang disusuinya: "Saat itu terjadi
musim tandus dan kami tidak memiliki sesuatu sehingga aku dan suamiku mengalami
kemiskinan yang luar biasa. Lalu kami menetapkan keluar ke Mekah dan menemani
wanita-wanita dari Bani Sa'ad. Kami semua mencari anak-anak yang masih menvusu
agar orang tua mereka dapat membantu kami untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Binatang yang aku tunggangi sangat lemah dan sangat kurus yang itu
semua disebabkan oleh kekurangan makanan. Bahkan kami khawatir kalau-kalau ia
berhenti di tengah perjalanan dan mati. Dan kami tidak tidur semalaman karena
melihat kondisi anak kecil yang bersama kami. Ia menangis karena tidak
menemukan makanan yang dapat dimakannya. Ia menangis karena kelaparan dan tidak
mendapat air susu, baik dari air susuku maupun air susu unta yang dibawa oleh
suamiku, sehingga kami tidak dapat memuaskan dahaganya. Di tengah-tengah malam,
aku merasakan keputusasaan. Aku bertanya-tanya bagaimana aku dapat melakukan
sesuatu dalam keadaan yang demikian.
Akhirnya, kami sampai di Mekah. Sementara itu, wanita-wanita yang
ingin mencari anak-anak yang dapat mereka susui telah mendahului kami. Mereka
mengambil anak-anak kecil yang mereka sukai, kecuali satu anak, yaitu Muhammad
di mana ayahnya telah meninggal dan ia berasal dari keluarga yang miskin
meskipun sebenarnya kedudukannya sangat mulia di antara tokoh-tokoh Quraisy.
Oleh karena itu, wanita-wanita enggan untuk mengasuhnya. Namun aku dan suamiku
tidak sepaham dengan mereka karena aku tidak peduli dengan keyatiman dan
kcfakirannya. Kemudian aku malu untuk kembali dan tidak mengambil bayi yang
dapat aku susui kemudian. Di samping itu, aku malu jika mendapat cercaan dari
wanita-wanita itu. Lalu aku merasakan adanya kasih sayang yang memenuhi hatiku
terhadap anak kecil yang tampan itu yang akan diganggu oleh udara yang
kotor."
Kisah tersebut mengatakan bahwa saat anak-anak kecil mendapatkan
wanita-wanita yang menyusuinya, maka Muhammad bin Abdillah sedang tidur dalam
keadaan lapar di ranjangnya yang kasar, tanpa disusui oleh siapa pun. Suatu
hikmah yang tinggi berkehendak agar bayi yang masih menyusui itu menghadapi
dunia dalam keadaan yatim dan dalam keadaan kelaparan agar ia dapat merasakan
penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang yang lapar sebelum ia menyelamatkan
mereka.
Halimah mengatakan bahwa ia meyakinkan suaminya bahwa ia merasakan
keinginan yang kuat untuk mengambil anak yatim ini, sehingga suaminya
menyetujuinya. Halimah tidak mengetahui rahasia keinginannya yang samar agar ia
kembali untuk mengambil anak yatirn yang masih menyusu ini. Ia tidak mengetahui
bahwa Allah SWT telah menanamkan rasa cinta kepada anak kecil itu dalam hatinya
seperti Allah SWT menanamkan cinta kepada Musa pada hati isteri Fir'aun. Jika
Musa menolak wanita-wanita lain untuk menyusuinya kecuali ibunya setelah Allah
SWT mencegahnya dari susuan wanita-wanita lain agar ibunya merasa bahagia dan
tidak bersedih, maka Muhammad bin Abdillah—seorang anak kecil yang masih
menyusu dan mulia—-justru ditolak oleh wanita-wanita yang menyusui, sedangkan
ia sendiri tidak pernah menolak seseorang pun.
Halimah kembali kepadanya dan ia memberitahu bahwa ia akan mengasuhnya.
Nabi Muhammad saw adalah seorang yang mulia. Halimah meletakkan tangannya di
dadanya, sehingga anak kecil itu tertawa. Halimah mencium di antara kedua
matanya. la meletakkannya di kamarnya. Halimah mengetahui bahwa kedua air
susunya telah kering, namun tiba-tiba air susunya memancar dengan keras sebagai
bentuk kasih sayang dan tanda kebesaran dari Allah SWT. Kini Halimah pun dapat
menyusuinya. Apakah itu merupakan hikmah yang tinggi di mana anak kecil
tersebut merasa cukup dengan sesuatu yang sedikit? Ataukah anak kecil itu sudah
dapat mendidik dirinya untuk zuhud dan qanaah sebelum ia mendidik orang-orang
dewasa tentang pengorbanan dan kesatriaan?
Halimah kembali ke gurun Bani Sa'ad dan ia membawa Muhammad bin
Abdillah. Belum lama ia menyaksikan tanahnya yang tandus sehingga tiba-tiba
kebaikan dunia terbuka dan mekar di hadapanya, di mana bumi dipenuhi dengan
kehijau-hijauan setelah mengalami masa tandus. Pohon-pohon berbuah dan buah
kurma tampak berseri-seri setelah sebelumnya layu, bahkan susu-susu binatang
pun mulai tampak banyak. Allah SWT memberikan berkah-Nya kepada tempat
tersebut. Halimah mengetahui bahwa kabaikan ini telah datang bersama kedatangan
anak kecil yang diberkahi, sehingga cintanya kepada anak itu semakin bertambah.
Bahkan suaminya pun menjadi tawanan cinta yang lain kepada Muhammad saw.
Pada suatu hari ia berkata kepada isterinya: "Apakah engkau
mengetahui wahai Halimah bahwa engkau telah mengambil seorang anak yang
mulia?" Halimah berkata: "Anak kecil itu tidak menangis dan tidak
berteriak kecuali ketika ia telanjang." Ketika anak kecil itu gelisah di
tengah malam dan tidak tidur, maka Halimah membawanya keluar dari kemah dan ia
berhenti bersamanya di bawah sinar bintang. Saat itu anak itu tampak bergembira
ketika menyaksikan langit. Setelah kedua matanya terpuaskan oleh pandangan ke
arah langit, ia pun mulai tidur.
Ketika anak itu mencapai tahun yang kedua, maka ia telah disapih,
sehingga ibunya ingin mengambilnya, tetapi Halimah tidak kuat untuk menahan
perpisahan ini. Halimah menjatuhkan dirinya di hadapan kedua kaki sang ibu dan
ia mulai menciuminya dan ia meminta agar membiarkannya bersama anaknya sehingga
anak itu benar-benar kuat dan dapat kembali menghirup udara segar gurun.
Akhirnya, Rasulullah saw tinggal di tempat Bani Sa'ad sampai lima tahun. Dan
pada masa lima tahun ini terjadi peristiwa penting yang terkenal dengan
peristiwa pembelahan dada. Kehendak Ilahi telah menetapkan kepada Ruhul
Amin, yaitu Jibril untuk menemui Muhammad bin Abdillah dan membelah
dadanya dengan perintah Ilahi serta menyuci hatinya dengan rahmat dan
mengeringkannya dengan cahaya dan mengeluarkan bagian dunia darinya.
Seperti biasanya Rasulullah saw keluar pada suatu hari bersama
saudara susuannya dengan menunggangi sekawanan domba menuju tempat pengembalaan.
Di tengah hari, saudaranya berlari-lari dalam keadaan takut dan menangis sambil
berteriak bahwa Muhammad telah terbunuh. Muhammad diambil oleh dua orang
laki-laki yang memakai baju yang putih lalu kedua orang itu menelentangkannya
dan membelah dadanya.
Mendengar hal itu, Halimah sangat kaget dan terpukul. Ia segera
pergi sambil berlari mencari Muhammad dan diikuti oleh suaminya yang mengikuti
petunjuk anak kecil dari saudara Muhammad. Akhirnya, mereka menemukan Muhammad
sedang duduk di atas tanah di mana wajahnya tampak pucat dan kedua matanya
menyala.
Halimah dan suaminya mencium dengan lembut dan mulai menampakkan
kasih sayangnya. Kemudian mereka bertanya, "apa yang terjadi?"
Muhammad menjawab: "Ketika aku memperhatikan domba-domba yang sedang bermain
aku dikagetkan dengan kedatangan dua orang yang memakai pakaian yang putih.
Mula-mula aku menyangka bahwa mereka adalah burung yang besar, namun ternyata
aku salah. Mereka adalah dua orang yang tidak aku kenal yang memakai pakaian
warna putih. Salah seorang dari mereka berkata kepada temannya dengan menunjuk
ke arahku, "Apakah ini anaknya?" Yang lain menjawab,
"benar." Aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Lalu mereka
mengambilku dan menidurkan aku serta membelah dadaku dan mereka mengambil
sesuatu darinya hingga mereka mendapatinya dan membuangnya jauh-jauh. Setelah
itu, mereka bersembunyi laksana bayangan."
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Anas dan juga diriwayatkan oleh
Muslim dan Ahmad. Para mufasir berbeda pendapat tentang simbolisme yang dalam
ini. Sebagaian besar ulama menakwilkan peristiwa tersebut. Pakar-pakar klasik,
seperti Qurthubi berpendapat bahwa peristiwa itu diisyaratkan oleh
firman-Nya: "Bukankah Kami telah melapangkan untukmu
dadamu?. " (QS. Alam Nasyrah: 1)
Sedangkan tokoh-tokoh hadis, seperti Ghazali berpendapat bahwa
manusia istimewa seperti Muhammad saw tidak mungkin terlepas dari bimbingan
Ilahi dan tidak mungkin terkena waswas sekecil apa pun yang biasa menimpa
manusia biasa. Jika suatu kejahatan menjadi suatu gelombang yang memenuhi
cakrawala, maka di sana terdapat hati yang segera memungutnya dan terpengaruh
dengannya, namun hati para nabi dengan adanya bimbingan Allah SWT tidak akan
terpanggil dan tidak terkena arus kejahatan tersebut.
Dengan demikian, usaha para nabi terfokus pada peningkatan
kemajuan atau ketinggian, bukan memerangi kerendahan. Diriwayatkan oleh
Abdillah bin Mas'ud bahwa Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada seseorang di
antara kalian kecuali ia diawasi oleh temannya dari kalangan jin dan temannya
dan dari kalangan malaikat." Para sahabat berkata: "Apakah hal itu
juga berlaku kepadamu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Ya, tetapi
Allah SWT membantuku, sehingga ia berserah diri dan tidak memerintahkan
kepadaku kecuali dalam kebaikan."
Begitulah sikap orang-orang yang dahulu dan para ahli hadis
berkaitan dengan peristiwa pembelahan dada. Kami kira bahwa kejadian yang luar
biasa tersebut berhubungan dengan persiapan Nabi untuk melalui Isra' dan
Mi'raj. Ia merupakan perjalanan di mana Rasulullah saw akan menebus alam
angkasa dan akan mencapai alam langit. Kemudian beliau akan melampaui alam ini,
sehingga sampai di Sidratul Muntaha yang di sana terdapat Janatul Ma'wah.
Pandangan tersebut kembali kepada pendapat kami yang mengatakan
bahwa peristiwa pembelahan dada berulang lebih dari sekali saat Rasul saw
mencapai usia lima puluh tahun. Dan peristiwa pembelahan dada terjadi kedua
kalinya pada malam Isra' dan Mi'raj.
Bukhari meriwayatkan dari Malik bin Sh'asha'a bahwa Rasulullah saw
menceritakan kepada mereka peristiwa malam Isra' di mana beliau bersabda:
"Ketika aku berada di Hathim—atau beliau berkata di Hijr—saat aku dalam
keadaan antara tidur dan bangun, maka seorang datang kepadaku lalu ia membelah
antara ini dan ini. Yaitu antara kerongkongan dan perutnya. Beliau melanjutkan:
Lalu ia mengeluarkan hatiku dan membawa mangkok dari emas yang penuh dengan
keimanan lalu ia menyuci hatiku. Kemudian diulanginya."
Kami kira bahwa pembelahan dada merupakan bentuk simbolis yang
menunjukkan kesucian Rasul saw dan sebagai bentuk penyiapannya untuk melalui
Isra' dan Mi'raj. Itu merupakan pemberitahuan dari Ilahi bahwa anak ini akan
mencapai suatu kedudukan yang belum pernah dicapai oleh manusia dan tidak akan
dicapai manusia sesudahnya. Setelah peritiwa pembelahan dada, berubahlah
kehidupan anak kecil itu di mana sebagian besar waktunya digunakan untuk
merenung dan menyendiri. Dari roman wajahnya tampak keseriusan yang biasanya
menghiasi wajah orang-orang dewasa.
Berlalulah hari demi hari, tahun demi tahun dan Selesailah masa menetapnya
bersama Halimah di dusun Bani Sa'ad. Beliau sangat terpengaruh dan sangat
terkesan dengan keadaan di sana. Diriwayatkan bahwa beliau pemah mengingat masa
kecilnya di Bani Sa'ad dan beliau membanggakannya. Beliau menyebutkan
pengorbanan mereka dan sikap mereka yang baik. Beliau berkata: "Aku
termasuk dari Bani Sa'ad, tanpa bermaksud menyombongkan diri. Jika mereka
berhadapan atau menyaksikan salah seorang mereka lapar, maka mereka akan
membagi makanan di antara mereka."
Kemudian Muhammad bin Abdillah kembali ke Mekah saat usianya lima
tahun. Beliau hidup beberapa hari bersama ibunya di mana si ibu merasakan
kesedihan yang dalam atas kepergian ayahnya. Sesuai janji untuk mengingat
ayahnya yang telah pergi, Aminah menetapkan untuk mengunjungi kuburannya di
Yatsrib. Jarak antara Mekah dan Yatsrib lebih dari lima ratus kilo meter di
gurun yang kering yang jauh dari tanda-tanda kehidupan. Anak itu menempuh
peijalanan yang berat. Setelah perjalanan yang berat ini, Muhammad bin Abdillah
tinggal di tempat paman-paman dari ibunya di Madinah selama satu bulan.
Muhammad melihat rumah yang di situ ayahnya meninggal sebelum ia dilahirkan. Ia
berziarah bersama ibunya ke kuburan yang sederhana yang ayahnya dikuburkan di
dalamnya. Mula-mula pikirannya terfokus pada keadaan yatim sambil ia mulai
memperhatikan linangan air mata ibunya yang diam.
Selesailah masa satu bulan keberadaannya di sisi paman-pamannya.
Kemudian ibunya menemaninya untuk kembali ke Mekah. Kedua anak manusia itu
sampai di pertengahan jalan. Muhammad bin Abdillah tidak mengetahui rahasia
kepucatan wajah ibunya. Lalu malaikatul maut turun di suatu tempat yang yang
bernama Abwa. Di situlah Aminah binti Wahab telah bertemu dengan kekasihnya,
Allah SWT.
Sang ibu meninggal dan meninggalkan anak satu-satunya bersama
seorang pembantu. Pembantu itu menampakkan rasa kasihnya terhadap anak kecil
yang kehilangan ayahnya saat masih janin dan kehilangan ibunya saat berusia
enam tahun. Muhammad bin Abdillah kini menjadi sendiri dan ia dalam keadaan
menangis. Ia mencapai kematangan setelah ia melewati kesedihan kehidupan dan
kerasnya kehidupan sebagai anak yatim.
Rasulullah saw pernah ditanya setelah masa diutusnya:
"Bagaimana pandanganmu?" Beliau menjawab: "Pengetahuan adalah
modalku. Akal adalah dasar agamaku. Cinta adalah pondasiku. Zikrullah adalah
kesenanganku. Dan kesedihan adalah temanku."
Allah SWT telah menyiramkan kepadanya sungai-sungai kesedihan
sehingga beliau dapat memberikan kepada manusia buah dari kegembiraan dan
ketulusan.
Anak kecil itu kembali ke Mekah dalam keadaan sedih dan ia tampak
terpaku. Lalu Abdul Muthalib, kakeknya menampakkan cinta yang luar biasa dan
penghormatan padanya. Setelah dua tahun ketika Muhammad bin Abdillah berusia
delapan tahun, maka meninggallah salah satu benteng yang terbaik yang
menjaganya, yaitu kakeknya Abdul Muthalib. Kemudian anak kecil itu kini
merenungi kakeknya laksana orang dewasa. Ia tampak tegar seperti layaknya orang
dewasa.
Kita tidak mengetahui mengapa terjadi demikian. Mengapa hikmah
Allah SWT mencegah Nabi yang terakhir untuk mendapatkan kasih sayang seorang
ayah, kasih sayang seorang ibu, dan bimbingan seorang kakek? Apakah Allah SWT
ingin memberi Nabi yang terakhir suatu kasih sayang dan cinta yang semata-mata
bersumber dari sisi-Nya? Apakah Allah SWT ingin mendidiknya dengan kesedihan
dan memberinya perasaan-perasaan yang penuh dengan penderitaan? Apakah Allah
SWT ingin membuat hati Rasul-Nya hanya tertuju kepadanya? Dahulu Allah SWT
berkata kepada Musa:
"Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku." (QS. Thaha:
41)
Dahulu Allah SWT memberi kabar gembira kepada Musa di dalam Taurat
sebagaimana Isa memberi kabar gembira di dalam Injil dengan kedatangan seorang
Nabi setelahnya yang bernama Ahmad. Dan Nabi Musa meminta kepada Tuhannya agar
memberinya dan memberi umatnya puncak keutamaan, lalu Allah SWT menjawab bahwa
Dia telah menetapkan keutamaan ini kepada Nabi yang terakhir Ahmad dan umatnya.
Allah SWT telah memilih Musa untuk diri-Nya. Meskipun Demikian,
Dia tidak mencegahnya untuk mendapatkan kasih sayang seorang ibu dan
mendidiknya di tengah-tengah keluarganya. Namun Dia berkehendak untuk
menjadikan Nabi yang terakhir tercegah dari mendapatkan kasih sayang seorang
manusia dan cinta seorang manusia, sehingga Nabi tersebut hanya mendapatkan
kasih sayang Ilahi dan cinta Ilahi.
Allah SWT berfirman menceritakan tentang keadaan Rasul terakhir:
"Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia
melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia
memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu
Dia memberikan kecukupan. Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu
berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah
kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu maha hendaklah kamu
menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). " (QS. ad-Dhuha: 6-11)
Makna ayat tersebut secara harfiah adalah bahwa beliau dalam
keadaan yatim lalu Allah SWT melindunginya; beliau dalam keadaan tersesat lalu
Allah SWT memberinya petunjuk; beliau dalam keadaan fakir lalu Allah SWT
memampukannya. Allah SWT melindunginya dengan mengasuhnya, membimbingnya, dan
mencukupinya. Itu adalah derajat keutamaan yang tidak pernah dicapai oleh
seseorang pun di dunia.
Setelah kematian kakeknya, maka pamannya Abu Thalib mengasuhnya.
Allah SWT telah meletakkan kecintaan pada hati pamannya, sehingga pamannya
mengutamakan Muhammad saw daripada anak-anaknya dan memuliakannya serta
menghormatinya, bahkan Abu Thalib mendudukkannya di ranjangnya yang biasa
dibentangkannya di hadapan Ka'bah di mana tidak ada seorang pun yang duduk
selainnya.
Muhammad bin Abdillah hidup di jantung gurun Mekah sebagai seorang
yang memiliki kesadaran yang tinggi di antara kaum yang sedang lalai dan kaum
yang mabuk-mabukan dan para penyembah berhala serta para pedagang minuman keras
dan para syair dan orang-orang yang berperang dan tokoh-tokoh kabilah.
Muhammad bin Abdillah seorang yang banyak diam dan ketika usianya
semakin dewasa, maka ia bertambah banyak diam. Beliau tidak berbicara kecuali
jika diajak seseorang berbicara; beliau tidak terlibat dalam permainan
hura-hura anak-anak muda; beliau merasakan kesedihan yang dalam; beliau sering
menyendiri dan membuka matanya di hamparan pasir-pasir. Mulutnya terdiam dan
akalnya berpikir. Beliau merenungkan di masa kecilnya bagaimana kaumnya
bersujud terhadap berhala dan terpukau dengannya; bagaimana orang-orang berakal
mau bersujud kepada batu-batu yang tidak memberikan mudharat dan manfaat dan
tidak berbicara serta tidak dapat melakukan apa-apa. Beliau mewarisi dari
kekeknya Ibrahim kebencian yang fitri terhadap dunia berhala dan patung.
Di dalam dirinya terdapat penghinaan yang besar terhadap sembahan-sembahan
dari batu ini, suatu penghinaan yang menjadikannya tidak mau mendekat
selama-lamanya terhadap patung tersebut. Namun hatinya yang besar dipenuhi
dengan kesedihan yang lebih hebat dari kesedihan kakeknya Ibrahim. Beliau sedih
karena akal manusia menyembah batu dan emas, kesombongan serta kekuasaan
penguasa; beliau mendengar apa yang dikatakan manusia dan mengamat-amati urusan
kehidupan dan keadaan masyarakat; beliau juga menyaksikan betapa banyak
pertentangan dan perkelahian di antara manusia yang justru disebabkan oleh
masalah-masalah yang sepele, sehingga keheranan beliau semakin bertambah dan
sudah barang tentu kesedihannya pun semakin dalam. Tidakkah manusia mengetahui
bahwa mereka akan mati seperti ayahnya, ibunya, dan kakeknya? Mengapa mereka
menimbulkan pertentangan ini, hingga mereka mendapatkan lebih banyak kejahatan?
Ketika usianya semakin bertambah, maka bertambahlah kezuhudannya
dalam hidup, dan sepak terjangnya terus bersinar memenuhi penjuru Mekah. Beliau
tidak sama dengan seseorang pun dari kalangan pemuda saat itu. Meskipun kami
kira bahwa kesedihannya disebabkan oleh hal-hal yang umum, tetapi beliau tidak
mengungkapkan kegelisahan hatinya pada seseorang pun. Beliau belum bertujuan
untuk memperbaiki masyarakat atau kemanusiaan. Benar bahwa
pertanyaan-pertanyaan kritis timbul dalam benaknya dan ingin segera menemukan
jawaban, tetapi akalnya sendiri tidak dapat menemukan jawaban atau jalan
keluar. Inilah yang dimaksud dengan makna ayat:
"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia
memberikan petunjuk." (QS. adh-Dhuha: 7)
Yang dimaksud ad-Dhalal (kesesatan) di sini ialah
kebingungan akal dalam menafsirkan kejahatan dan usaha melawannya karena
ketiadaan senjata dan kecilnya usia. Semua itu justru menambah sikap diam anak
kecil itu dan menjauhkannya dari dunia yang akan mencemari akal, sehingga
akalnya selamat dari segala noda dan tetap di bawah naungan kejernihannya.
Anak kecil itu tetap jauh dari dosa-dosa yang dilakukan oleh
kaumnya yang berupa kecenderungan untuk menyembah berhala dan cinta kekuasaan
dan kebanggaan. Ia selalu mendekat dan lebih mendekat kepada hakikatnya yang
suci; ia mampu mempengaruhi orang lain dengan jiwanya yang bersih dan rahmatnya
atau kasih sayangnya tertuju kepada manusia, bahkan kepada binatang dan burung.
Ketika ia duduk akan makan lalu ada burung merpati berkeliling di seputar
makanannya rnaka ia meninggalkan makanannya untuk burung itu. Pada saat
orang-orang memukul anjing yang mendekat kepada makanan mereka, maka ia justru
mencabut suapan yang ada di mulutnya dan memberikannya pada anjing, kucing,
anak-anak kecil, dan orang-orang fakir. Bahkan seringkali di waktu malam ia
tidur dalam keadaan lapar karena ia memberikan makanannya ke orang lain.
Muhammad saw adalah seorang fakir yang harus bekerja agar dapat
makan, maka beliau bekerja sebagai pengembala kambing, seperti Nabi Daud, Nabi
Musa, dan nabi-nabi yang lain yang diutus oleh Allah SWT. Kemudian beliau
melakukan perjalanan bersama kafilah pamannya Abu Thalib menuju Syam saat
beliau berusia tiga belas tahun. Beliau menyaksikan keadaan umat-umat yang
lain, maka keheranannya semakin bertambah terhadap masa jahiliyah ini. Ketika
beliau menyaksikan orang-orang tersesat, maka kesedihannya semakin bertambah
dan hatinya semakin tersentuh dan pikirannya semakin dalam.
Pada saat perjalanan menuju ke Syam ini terjadi suatu peristiwa
terhadap anak kecil itu. Kemungkinan besar itu justru menambah kebingungannya.
Seorang pendeta yang bernama Buhaira berdiri di jendela rumah yang menjadi
tempat peribadatannya di Suria. Tiba-tiba ia memperhatikan suatu awan
putih—tidak seperti biasanya—yang menghiasai langit yang biru. Saat itu udara
sangat terang, sehingga munculnya awan tersebut sangat mengherankan. Kemudian
pandangan Buhaira yang tertuju ke langit, kini tertuju ke bumi di mana ia
mendapati awan itu menyerupai burung yang putih yang menaungi kafilah kecil
yang menuju ke arah utara. Buhaira memperhatikan bahwa awan tersebut mengikuti
kafilah.
Jantung Buhaira berdebar dengan keras karena ia mengetahui melalui
buku-buku peninggalan kaum Masehi yang otentik bahwa seorang nabi akan muncul
ke dunia setelah Isa. Sifat dan kabar nabi tersebut diceritakan dalam buku-buku
kuno. Buhaira segera meninggalkan tempatnya, lalu ia segera memerintahkan untuk
menyiapkan makanan yang besar. Kemudian ia mengutus seseorang untuk menemui
kafilah tersebut dan mengundang mereka untuk jamuan makan. Salah seorang mereka
berkata dengan nada bercanda kepada Buhaira: "Demi Lata dan 'Uzza, engkau
hari ini tampak lain wahai Buhaira. Engkau tidak pernah melakukan demikian
kepada kami, padahal kami telah melewati dan singgah di tempat ini lebih dari
sekali. Ada peristiwa apa gerangan wahai Buhaira?"
Buhaira menjawab: "Hari ini kalian adalah tamu-tamuku."
Pertanyaan orang tersebut tidak dijawab dengan terang-terangan. Ia sengaja
menghindarinya dan tidak menyingkapkan rahasia kemuliaan yang datangnya
tiba-tiba ini. Buhaira memberi makan mereka dan mulai memperhatikan di antara
mereka adanya seseorang yang memiliki tanda-tanda yang dibacanya dalam kitab-kitabnya
yang kuno tentang seorang rasul yang ditunggu. Namun ia tidak menemukannya,
hingga ia bertanya kepada mereka: "Wahai kaum Quraisy, apakah ada
seseorang yang tidak hadir bersama jamuanku ini?" Mereka menjawab:
"Benar, ada seseorang yang tidak ikut bersama kami. Kami meninggalkannya
karena ia masih kecil." Buhaira berkata: "Sungguh aku telah
mengundang kamu semua. Panggilah ia supaya hadir bersama kami dan memakan
makanan ini." Salah seorang lelaki dari kaum Quraisy berkata: "Demi
Lata dan 'Uzza, sungguh tercela bagi kami untuk meninggalkan Muhammad bin
Abdillah bin Abdul Muthalib dari jamuan yang kami diundang di dalamnya.
Pamannya meminta maaf karena Muhammad masih kecil, kemudian
sebagian mereka berdiri dan menghadirkannya. Belum lama Buhaira memandangi
kejernihan dua mata Muhammad, sehingga ia mengetahui bahwa ia telah mendekati
tujuannya. Buhairah terpaku ketika memandangi Muhammad bin Abdillah sehingga
kaum selesai makan dan mereka berpisah.
Muhammad bin Abdillah duduk sendirian. Buhaira menghampirinya dan
berkata: "Wahai anak kecil, demi kedudukan Lata dan 'Uzza, sudikah kiranya
engkau memberitahu aku terhadap apa yang aku tanyakan kepadamu?" Buhaira
ingin mengetahui sikap anak ini terhadap berhala kaumnya. Anak kecil itu
menjawab: "Jangan engkau bertanya kepadaku tentang Lata dan 'Uzza. Demi
Allah, tidak ada sesuatu yang lebih aku benci daripada keduanya." Buhaira
berkata: "Dengan izin Allah aku ingin bertanya kepadamu." Anak kecil
itu menjawab: "Tanyalah apa saja yang terlintas di benakmu."
Buhaira bertanya kepada anak kecil itu tentang keluarganya,
kedudukannya di tengah-tengah kaumnya, mimpinya dan pendapat-pendapatnya.
Dialog tersebut terjadi jauh dari pantauan kaum karena mereka tidak akan diam
ketika mendengar bahwa Muhammad membenci berhala-berhala mereka. Kemudian
Muhammad menjawab pertanyaan-pertanyaan Buhaira dengan yakin, hingga membuat
Buhaira mantap bahwa ia sekarang duduk bersama seorang Nabi yang kabar berita
gembiranya disampaikan oleh Nabi Isa sebagaimana disampaikan oleh nabi-nabi
dari kaum Israil dari kaum Nabi Musa. Setelah itu, ia bangkit meninggalkan anak
kecil itu dan menuju ke Abu Thalib ia bertanya tentang kedudukan anak kecil itu
di sisinya. Abu Thalib menjawab: "Ia adalah anakku." Buhaira berkata:
"Tidak mungkin ayahnya masih hidup." Abu Thalib berkata: "Benar.
Ia anak saudaraku. Ayahnya dan ibunya telah meninggal." Buhaira berkata:
"Engakau benar, kembalilah kamu ke negerimu dan hati-hatilah dari kaum
Yahudi." Abu Thalib bertanya tentang rahasia dari apa yang dikatakan oleh
pendeta itu. Pendeta itu mulai mengetahui bahwa ia telah berbicara lebih dari
yang semestinya. Lalu ia berkata: "Ia akan memiliki kedudukan
tertentu." Buhaira tidak menjelaskan lebih dari itu dan ia tidak
menentukan kedudukan yang dimaksud.
Lalu berlalulah peristiwa tersebut tanpa terlintas dari benak
seseorang atau tanpa menggugah kesadaran di antara mereka. Kisah tersebut tidak
membawa pengaruh berarti bagi kafilah atau kepada Nabi sendiri. Kafilah
menganggap bahwa penghormatan pendeta kepada Muhammad bin Abdillah dan
memberitahunya akan kedudukan yang akan disandangnya adalah semata-mata
basa-basi yang biasa diucapkan di atas meja makan ketika para tamu memuji
kedermawanan tuan rumah. Dan sebagai balasannya, orang yang mengundang akan
memuji akhlak para pemuda mereka. Alhasil, peristiwa tersebut tidak membawa
pengaruh apa pun, baik bagi Muhammad maupun bagi sahabat-sahabat yang ikut
dalam kafilah, sehingga mereka tidak mengetahui rahasia perkataan pendeta dan
mereka tidak menyebarkan pembicaraan yang mereka dengar darinya. Peristiwa itu
tersembunyi meskipun ia sungguh sangat membingungkan Muhammad.
Apa gerangan yang terjadi antara dirinya dan orang-orang Yahudi,
sehingga pendeta perlu mengingatkan pamannya dari ancaman mereka? Apa kedudukan
yang akan diembannya seperti yang diceritakan oleh pendeta itu? Dan apa
hubungan semua ini dengan kesedihan-kesedihannya yang dalam serta
kebingungannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sedikit demi sedikit berputar di
benaknya. Kemudian seperti biasanya kafilah tersebut kembali ke Mekah. Muhammad
kembali menuju keterasingannya. Ia memperhatikan keadaan alam di sekitarnya.
Kemudian ia melihat kembali penderitaannya; ia berusaha untuk mendapatkan
kehidupannya; ia mengabdi kepada manusia dan mengorbankan apa saja demi kemuliaan
mereka.
Hari demi hari berlalu. Muhammad saw tampil dengan pakaian
ketulusan kasih sayang, dan amanah serat cinta, sebagaimana pelita dipenuhi
oleh cahaya, sehingga kejujurannya terkenal di tengah-tengah kaumnya. Bahkan
kejujuran dan amanatnya tidak bakal diragukan oleh seseorang pun dari penduduk
Mekah. Dan ketika beliau datang dengan membawa risalahnya dan beliau ditentang
mayoritas masyarakatnya, namun tak seorang pun yang berani meragukan
kejujurannya. Mereka hanya menuduh bahwa ia terkena sihir atau kesadarannya
telah hilang.
Pada tahun ketiga belas dari masa kenabian, ketika semua kabilah
sepakat untuk membunuhnya dan mengucurkan darahnya di antara para kabilah dan
mereka mengepung rumahnya, maka di saat situasi yang sulit ini beliau menetapkan
untuk berhijrah. Tetapi sebelumnya beliau mewasiatkan kepada Ali bin Abi
Thalib, anak pamannya untuk tetap tinggal di rumahnya agar ia dapat
mengembalikan amanat yang dititipkan oleh semua musuhnya dan para sahabatnya.
Ini beliau maksudkan agar Ali dapat menyerahkan amanat tersebut di waktu pagi
kepada para pemiliknya. Anda dapat melihat betapa para musuhnya merasa aman
terhadap harta mereka ketika dijaga oleh Muhammad saw.
Hari demi hari berlalu dan tahun demi tahun pun lewat. Sementara
itu, kesucian dan kejujuran Muhammad saw semakin meningkat. Dan di tengah
lautan keheningan yang mencekam, ketika Muhammad bin Abdillah menyebarkan layar
perahunya yang putih, maka ia harus menemui hakikat azali yang bertemu
dengan-nya semua nabi dan rasul. Muhammad bin Abdillah mengetahui bahwa alam
yang besar ini mempunyai Tuhan Pengatur dan Pencipta; Tuhan yang Maha Satu dan
yang tiada tuhan selain-Nya.
Muhammad dijauhkan dari suasana kenikmatan dan foya-foya yang
biasa dilakukan oleh para pemuda seusianya. Dan ketika pemuda Mekah
berbangga-bangga dengan banyaknya minuman keras yang mereka minum dan banyaknya
bait-bait syair yang mereka katakan tentang wanita, maka Muhammad bin Abdillah
telah menemukan jati dirinya di suatu gua yang tenang di gunung yang besar. Ia
memilih untuk menghabiskan waktunya di dalam keheningan gua tersebut. Ia
merenung dengan hatinya tentang keadaan alam; ia memikirkan keagungan
rahasia-rahasianya dan rahmat Penciptanya serta kebesaran-Nya.
Pada tahun yang kedua puluh lima, beliau mengenal Ummul Mu'minin,
isterinya yang pertama, yaitu Khadijah binti Khuwailid yang saat itu berusia
empat puluh tahun. Khadijah adalah wanita yang mulia dan mempunyai cukup harta.
Ia berdagang dan suaminya telah meninggal. Banyak orang yang mendekatinya
dengan alasan untuk mendapatkan kekayaannya. Khadijah mencari seseorang
laki-laki yang dapat membawa harta dagangannya menuju Syam, lalu Khadijah
mendengar berita yang cukup banyak berkenaan dengan kejujuran dan amanat serta
kesucian Muhammad bin Abdilah. Akhirnya, Khadijah mengutus Muhammad saw untuk
membawa barang dagangannya. Muhammad saw pergi dalam perjalanannya yang kedua
ke Syam saat beliau berusia dua puluh lima tahun. Allah SWT memberkati
perjalannya di mana beliau kembali dengan membawa keuntungan yang berlipat ganda
yang diserahkannya kepada Khadijah. Muhammad saw tidak peduli dengan harta
Khadijah dan tidak peduli kepada kecantikannya; Muhammad saw hanya memandang
kemuliaan yang dipegangnya. Kemudian Khadijah merasakan getaran cinta terhadap
Muhammad saw. Dan Akhirnya, ia mengutarakan keinginan untuk menikah dengannya,
hingga Muhammad saw pun setuju.
Paman Muhammad saw, Abu Thalib berdiri dan menyampaikan khotbah
pada saat perayaan perkawinannya: Muhammad saw tidak dapat dibandingkan dengan
seorang pun dari kaum Quraisy karena ia adalah seorang yang mulia, baik dari
sisi akal maupun ruhani. Meskipun ia seorang yang fakir namun harta adalah
naungan yang akan hilang dan benda yang bersifat sementara.
Setelah menikah, Muhammad saw justru mendapatkan kesempatan yang lebih
besar untuk merenung dan menyendiri serta beribadah. Kemudian kehidupan yang
dijalaninya justru meningkatkan kemuliaannya, sehingga keutamaannya tersebar di
sana sini. Beliau tidak pernah terlibat dalam pergulatan yang keras untuk
memperebutkan materi-materi dunia. Beliau selalu menggunakan akal sehatnya
daripada terlibat dalam kesesatan mereka dan kegelapan berhala yang menyelimuti
banyak orang pada saat itu. Kemudian usianya kini mendekati empat puluh tahun.
Setelah merasakan kesunyian di tengah-tengah masyarakat, beliau
lebih memilih untuk menjauh dari mereka. Beliau mencari-cari hakikat, sehingga
Allah SWT membimbingnya untuk menyendiri di gua Hira. Akhirnya, beliau dapat
keluar dari Mekah. Beliau berjalan beberapa mil. Kemudian beliau mulai mendaki
dan mendaki. Setiap kali ia mendaki gunung, maka tempat itu semakin luas. Udara
tampak lembut dan tersingkaplah hijab, dan pandangan semakin terbentang.
Kemudian beliau memasuki gua. Keheningan menyelimuti segala sesuatu, namun hati
tetap sadar dan tidak ada sesuatu yang dapat menghalang-halangi pandangan
internal yang dalam. Dalam suasana kesunyian terkadang lahirlah
pemikiran-pemikiran yang cemerlang yang kemudian menyebarkan sayap-sayapnya dan
membumbung, pertama-tama di atas angkasa gua lalu tersebar menuju ke tempat
yang lebih luas. Tidak ada sesuatu pun yang membatasinya atau mengekang
kebebasannya.
Kita tidak mengetahui pikiran-pikiran apa yang terlintas pada
manusia termulia dan terbesar di atas bumi itu saat beliau duduk di gua Hira
beberapa bulan. Apa yang beliau pikirkan dan apa gerangan yang beliau risaukan?
Mimpi apa yang ada di benaknya dan perasaan-perasaan apa yang lahir dalam
hatinya? Bagaimana keadaan batu-batu yang ada di sisinya? Apakah atom-atom batu
yang berputar di sekelilingnya menyahuti tasbihnya yang diam, seperti atom-atom
batu yang bersahut-sahutan bersama Daud saat ia membaca kitabnya Zabur.
Kami tidak mengetahui secara pasti bentuk kelahiran yang terjadi
dalam dirinya. Yang kita ketahui adalah bahwa beliau tidak berpikir tentang
kenabian dan beliau tidak berpikir untuk memberikan petunjuk kepada manusia;
beliau tidak melakukan praktek-praktek sufisme karena beliau sudah menjadi
seorang sufi sebelum diutus di tengah-tengah manusia. Kemudian Allah SWT
memilihnya sebagai Nabi lalu beliau meninggalkan uzlahnya dan turun ke medan
serta membawa senjata. Beliau mempertahankan kebenaran, sehingga beliau bertemu
dengan Tuhannya. Mula-mula lahirlah tasawuf dan setelahnya lahirlah jihad di
jalan Allah SWT. Tasawuf bukanlah puncak atau hasil sebagaimana diyakini oleh
manusia sekarang, tetapi ia adalah permulaan jalan yang panjang di mana pada
akhirnya yang bersangkutan menggunakan senjata sebagai bentuk usaha untuk
membela manusia dan kehormatannya.
Pada suatu hari beliau duduk di gua Hira dan tiba-tiba beliau
dikagetkan dengan kedatangan Jibril yang berdiri di depan pintu gua. Malaikat
tersebut memeluknya erat-erat lalu memerintahkannya untuk membaca sambil
berkata: "Bacalah!" Muhammad bin Abdillah menjawab: "Aku tidak
mampu membaca." Beliau ingin mengatakan bahwa beliau tidak mengenal bacaan
dan tulisan. Kalau begitu, apa yang harus beliau baca? Malaikat kembali
memeluknya dengan kuat sehingga Rasulullah saw menganggap bahwa ia meninggal.
Kemudian malaikat melepasnya dan memerintahkannya untuk membaca. Beliau kembali
menjawab: "Aku tidak bisa membaca." Malaikat yang mulia kembali
memeluknya dan kembali memerintahkan untuk membaca. Dan lagi-lagi Rasulullah
saw menjawab dengan gemetar: "Apa yang aku baca?" Kemudian Jibril
membaca permulaan ayat-ayat yang turun kepada beliau:
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang
Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. al-'Alaq: 1-5)
Setelah peristiwa itu, Jibril menghilang secara tiba-tiba
sebagaimana ia muncul secara tiba-tiba. Rasulullah saw merasakan dalam dirinya
kejadian yang luar biasa yang pernah dirasakan oleh Nabi Musa saat beliau
mendengar panggilan-panggilan suci di lembah Thuwa. Sebagaimana Nabi Musa lari
ketakutan, maka Muhammad bin Abdillah pun segera menuju ke rumahnya dalam
keadaan ketakutan. Ia turun ke gunung dan kembali ke rumahnya dan kembali ke
isterinya. Tubuhnya yang mulia bergetar denga keras dan beliau merasakan
ketakutan dan kegelisahan.
Apakah beliau kali ini berhubungan dengan jin atau alam
perdukunan? Apakah beliau telah mengigau sehingga beliau mendengar suara-suara
dan melihat wajah-wajah yang belum pernah dilihatnya? Rasulullah saw
mengkhawatirkan dirinya karena beliau sangat benci kepada perdukunan. Beliau
memasuki rumahnya dengan keadaan gemetar. Beliau berkata kepada isterinya:
"Selimutilah aku, selimutilah aku!" Kemudian isterinya segera
menyelimuti dengan selimut dari wol dan mengusap keringat yang berada di
keningnya. Isterinya dikagetkan dengan kepucatan wajah beliau yang mulia dan
kegemetaran tubuhnya.
Khadijah bertanya kepadanya: "Apa yang sedang terjadi?"
Kemudian Muhammad saw menceritakan secara detail apa yang dialaminya. Kemudian
ia berkata: "Sungguh aku khawatir terhadap diriku." Khadijah
mengetahui bahwa ia sekarang berhadapan dengan masalah yang serius, suatu
berita gembira yang ia tidak mengetahui hakikatnya, suatu berita gembira yang
seharusnya tidak dihadapi Muhammad saw dengan kekhawatirkan dan kegelisahan.
Khadijah berkata dengan maksud untuk meredakan ketakutannya:
"Tenanglah. Demi Allah, Allah SWT tidak akan menghinakanmu selama-lamanya.
Sungguh engkau adalah seorang yang baik, yang menyambung tali silaturahmi, yang
berbicara dengan jujur, dan yang menghormati tamu."
Meskipun kalimat-kalimat tersebut penuh dengan kedamaian dan
kesejukan, tetapi kegelisahan Rasul saw juga belum hilang. Kemudian Khadijah
pergi bcrsama beliau ke rumah Waraqah bin Nofel, yaitu anak dari paman
Khadijah. Waraqah adalah seorang Nasrani dan dia mampu menulis kitab dalam
bahasa Ibrani dan ia cukup mengetahui kitab-kitab Taurat dan Injil di mana
matanya telah buta karena masa tua.
Khadijah berkata kepadanya: "Wahai putra pamanku, dengarlah
dari anak saudaramu." Waraqah berkata: "Wahai anak saudaraku, apa
yang engkau lihat?" Rasulullah saw menceritakan apa yang dialaminya secara
sempurna. Waraqah berkata sambil mengangkat kepalanya yang tampak keheranan:
"Itu adalah Namus (Jibril) yang Allah SWT turunkan kepada Musa."
Sebagai seorang yang mengerti, Waraqah bin Nofel mengetahui bahwa ia berada di
hadapan seorang Nabi yang berita gembiranya disampaikan oleh Taurat dan Injil.
Setelah keheningan sesaat, Waraqah berkata: "Seandainya aku
masih hidup ketika kaummu mengeluarkanmu dan mengusirmu." Rasulullah saw
bertanya: "Mengapa aku harus diusir oleh mereka?'' Waraqah menjawab:
"Benar, tidak ada seorang pun yang akan datang seperti dirimu kecuali
engkau akan mengalami penderitaan dan pengusiran. Seandainya aku hadir di saat
itu niscaya aku akan menolongmu."
Demikianlah, akhirnya Islam pun dikembangkan. Kehendak Allah SWT
terlaksana dan Allah SWT telah memilih Nabi yang terakhir di muka bumi dan
orang Muslim yang pertama. Barangkali pembaca akan bertanya: Apa hakikat dari
Islam? Apabila Muhammad saw sebagai Nabi yang terakhir yang diutus oleh Allah
SWT di muka bumi dan kita mengetahui bahwa para nabi semuanya sebagai Muslim,
maka bagaimana beliau dapat dikatakan mendahului mereka dalam keislaman dan
menjadi orang Muslim yang pertama?
Islam yang dibawa oleh Muhammad saw tidak berbeda dalam esensinya
dengan Islam yang dibawa oleh Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Isa atau nabi yang
lain, tetapi yang berbeda adalah bentuknya, sedangkan esensinya tetap seperti
semula, yakni berdasarkan tauhid. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw
berbeda dalam bentuknya dengan Islam yang dibawa nabi-nabi sebelumnya karena
sebab yang penting, yakni bahwa Islam ini merupakan ajaran yang universal dan
berisi aspek kemanusiaan yang abadi. Islam tidak terbatas atas orang-orang Arab
tetapi ia berlaku atas semua golongan. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw
tidak terbatas untuk kabilah tertentu atau bangsa tertentu atau bumi tertentu
atau lingkungan tertentu atau zaman tertentu, tetapi ia untuk semua manusia.
Atau dengan kata lain, ia merupakan ajakan untuk membangkitkan akal manusia di
mana saja mereka berada tanpa ada batasan tempat atau waktu.
Universalitas ajaran Islam tidak dikenal pada risalah-risalah
Ilahi sebelumnya di mana setiap risalah itu diperuntukkan bagi bangsa tertentu
dan zaman tertentu. Oleh karena itu, mukjizat-mukjizat yang mengagumkan yang
bersifat temporal seringkali mendukung risalah-risalah yang dahulu. Ketika
Islam datang sebagai bentuk ajakan untuk menghidupkan akal manusia secara
bebas, maka di sana tidak ada alasan untuk membawa mukjizat yang mengagum-kan.
Hanya ada satu kata yang dapat dijadikan pembuka untuk berdakwah dan membuka akal
manusia, yaitu kata "iqra"' (bacalah). Dan hendaklah
bacaan ini berdasarkan nama Allah SWT. Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.
Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Coba Anda renungkan permulaan
pertumbuhan dan puncak pencapaian. Di sini tersembunyi mukjizat yang hakiki
jika Anda berusaha mencari mukjizat yang hakiki.
Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Mulia, yang memberikan nikmat
penciptaan dan rezeki serta rahmat dan kelembutan. Dia Maha Mulia yang
mengajarkan manusia apa saja yang tidak diketahuinya. Demikianlah esensi dari
Islam, yaitu ajakan untuk membaca. Ia adalah dakwah yang menunjukkan kedudukan
ilmu. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orangyang berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Takut kepada Allah SWT tidak akan muncul kecuali berdasarkan ilmu.
Mustahil kebodohan dengan bentuk apa pun akan melahirkan rasa takut. Oleh
karena itu, dalam pandangan Islam ilmu adalah hal yang pokok. Ia bukan
kemewahan dan bukan hanya perhiasan. Kaum Muslim telah mengalami masa kemuliaan
dan kejayaan dan mereka berhasil menguasai bumi ketika mereka memahami Islam
secara benar, tetapi ketika pemahaman ini jauh dari mereka, maka mereka kembali
dalam keadaan yang paling buruk, bahkan lebih buruk daripada masa jahiliah.
Jadi, ilmu dalam Islam merupakan tujuan yang mulia dan utama dalam
penciptaan alam wujud. Kisah Nabi Adam dan Hawa, sebagaimana diceritakan oleh
Al-Qur'an adalah bukan semata-mata kisah kesalahan memakan pohon tcrlarang,
tetapi ia juga kisah yang memiliki dimensi-dimensi yang dalam dan aspek-aspek
yang beraneka ragam. Ketika Anda menyclami kedalamannya, maka Anda akan dapat
menemukan simbol-simbol dari makna-makna yang lebih penting.
Dialog internal yang dialami oleh para malaikat tentang rahasia
pemilihan Nabi Adam untuk memakmurkan bumi dan menjadi khalifah di dalamnya
serta pengajaran yang diperoleh Nabi Adam tentang nama-nama semuanya dan
bagaimana beliau mengemukakan nama-nama tersebut kepada para malaikat, serta
ketidaktahuan mereka tentang nama-nama itu, kemudian usaha Nabi Adam untuk
memberitahu mereka tentang apa yang diketahuinya serta pengetahuan para
malaikat tentang rahasia pemilihan Nabi Adam dan para keturunannya untuk
memakmurkan bumi, semua ini menjadikan tujuan dari penciptaan manusia adalah
pencapaian ilmu atau ma'rifah secara umum. Pandangan tersebut dikuatkan oleh
firman Allah SWT:
"Dan Ahu tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk
menyembah-(Ku)." (QS. adz-Dzariat: 56)
Lalu bagaimana kita memahaminya saat ini dan bagaimana generasi
yang pertama dari kaum Muslim dan dari sahabat-sahabat Rasul saw dan para
pengikutnya dan para tentaranya memahaminya? Saat ini kita memahaminya dengan
pemahamam yang sederhana. Kita mengetahui bahwa kalimat "untuk
menyembah-Ku " berarti ritualitas dalam beribadah dan aspek-aspek
lahiriahnya, seperti mengucapkan kalimat syahadat, salat, puasa, haji, zakat
dan lain-lain. Sehingga orang-orang yang salat diperbolehkan untuk menyembah
Allah SWT di negeri mereka atau di rumah-rumah mereka, meskipun mereka hidup di
bawah pemikiran orang-orang Barat dan membeli produk-produk yang dibuat mereka
serta memanfaatkan ilmu dan kecanggihan tehnologi orang-orang Barat. Namun
mereka sendiri tidak menghasilkan apa-apa. Mereka tidak dapat memberikan
kontribusi kepada kehidupan; mereka tak ubah-nya seperti bulu yang dimainkan
oleh ombak. Sedangkan pemahaman yang dahulu berkaitan dengan kalimat tersebut
sebagai berikut:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk
menyembah-(Ku). " (QS. adz-Dzariat: 56)
Ibnu Abbas membacanya: "Illa liya'rifuun." (Agar
mereka mengetahui). Perhatikanlah bagaimana pentingnya perbedaan antara
praktek-praktek ibadah dengan bentuk-bentuknya dan kedalamannya yang jauh dalam
ma'rifah yang menyebabkan rasa takut kepada Allah SWT. Orang Muslim yang
pertama meyakini bahwa Allah SWT menciptakannya agar ia mengetahui Allah SWT
atau agar ia mengenal Allah SWT. Sehingga ambisi orang Muslim yang pertama
sangat mengagumkan. Mereka pergi untuk membebaskan dunia semuanya: satu tangan
berpegangan dengan Al-Qur'an dan tangan yang lain memegang pedang untuk
menghancurkan belenggu-belenggu yang menyeret manusia kepada kesesatan.
Kemudian jatuhlah dari Islam hakikat ilmu, sehingga umat Islam
tidak dapat memimpin kehidupan dan mereka justru men-dapatkan kehinaan. Allah
SWT berfirman:
"Allah menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia,
Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah
Islam." (QS. Ali 'Imran: 18)
Setelah kesaksian kepada Allah swt dan kesaksian kepada malaikat,
maka disebutlah secara langsung kesaksian kepada orang-orang yang berilmu.
Maka, adakah penghormatan terhadap ilmu yang lebih besar daripada penghormatan
ini? Ilmu dalam Islam berbeda dengan ilmu dalam peradaban Barat. Memang benar
bahwa Islam yang bertanggung jawab terhadap tumbuhnya pandangan ilmiah dan
metode eksperimental di mana berdasarkan metode ini tegaklah peradaban Barat
yang kemudian melahirkan berbagai produksi, pembuatan, dan penemuan. Dan metode
eksperimental adalah metode al-Istiqra, yaitu suatu metode
yang mengikuti bagian-bagian terkecil (parsial) melalui jalan eksperimen yang
dapat tunduk terhadap eksperimen dan melalui jalan memperhatikan hal-hal yang
tidak dapat tunduk terhadap suatu eksperimen, atau melalui jalan matematis
murni yang membutuhkan kepada matematis murni di mana hal itu bertujuan untuk
menyingkap hukum-hukum yang menguasai benda. Sistem ini bidangnya adalah alam
dan alatnya adalah panca indera dan akal. Sistem ini dimanfaatkan oleh seorang
Eropa yang bernama Roger Bikun. Ia mengakui bahwa ia sangat berhutang kepada
kaum Muslim dan peradaban Islam.
Seorang guru yang bernama Bruicll dalam bukunya Abna'
al-Insaniah menceritakan tentang dasar-dasar peradaban Barat di mana
ia berkata: "Roger Bikun mempclajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab di
sekolah Oxford kepada guru-gurunya yang berasal dari Arab di Andalus. Dan Roger
Bikun dan Fenessis Bikun tidak dapat menisbatan keutamaan yang mereka peroleh
dalam menciptakan sistem eksperimental kepada diri mereka sendiri. Roger Bikun
hanya seorang duta dari duta-duta ilmu. Oleh karena itu, ia tidak malu ketika
menyatakan bahwa mempelajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab adalah jalan
satu-satunya untuk mengetahui kebenaran."
Demikianlah pernyataan pakar-pakar Barat yang jujur. Yang demikian
ini bisa dijadikan sanggahan terhadap orang-orang Barat yang tidak jujur agar
mereka mengetahui bahwa mereka sebenarnya mengambil senjata yang sebenarnya
berasal dari Islam. Dan jika dikatakan bahwa rahasia kebangkitan Barat saat ini
dan keunggulannya atas Timur kembali kepada pengambilannya terhadap sebab-sebab
metode eksperimental, yaitu metode Islam, maka rahasia kehancuran Barat dan
kebingungannya serta kegelisahannya adalah karena mereka tidak menghubungkan
metode tersebut dengan kebesaran Allah SWT sebagaimana semestinya. Metode
eksperimen-tal—sebagaimana diambil orang-orang Barat—dimulai dari alam dan
berakhir kepadanya sebagai sesuatu tujuan. Jadi, ruang lingkup pembahasan
mereka adalah berkisar kepada materi, dan alat-alat pembahasan adalah
eksperimen dan pengamatan serta istiqra.
Tiada setelah alam kecuali kematian dan kematian adalah rahasia
yang misterius dan melawannya adalah hal yang mustahil. Kita tidak mengetahui
apa yang terjadi setelah kematian; kita tidak mengetahui sesuatu pun tentang
ruh. Tidak ada hubungan antara ilmu dan akhlak; tidak ada jawaban dari ilmu
tentang tujuan kehidupan ini. Kita hanya mempelajari aspek-aspek lahiriah dan
mencapai hukum-hukumnya saja. Demikianlah pandangan Barat tentang ilmu di mana
ia hanya sekadar alat dan sarana untuk mengatur alam dan berusaha menguasainya.
Sedangkan metode ilmiah dalam Islam menyatakan bahwa gerakan atom dengan
gerakan sistem tata surya di bawah kendali Zat Yang Maha Tahu dan Zat Yang Maha
Pencipta. Ilmu dalam Islam justru membimbing manusia untuk menuju Allah SWT:
"Dan bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala
sesua-tu). " (QS. an-Najm: 42)
Ilmu justru mengantarkan manusia untuk mencapai rasa takut kepada
Allah SWT sebagaimana membimbingnya beribadah kepadanya dan mencintai-Nya:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Islam datang dan mengajak manusia untuk membaca, mengetahui, dan
takut kepada Allah SWT serta hanya beribadah kepadanya. Jika ilmu merupakan
sayap pertama di dalam Islam, maka sayap yang kedua adalah kebebasan.
Rasulullah saw memberitahu dan menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
SWT dan tidak ada sembahan selain Allah SWT.
Seruan ini mengisyaratkan keruntuhan tuhan-tuhan yang mengusai
bumi semuanya, baik tuhan yang berupa kepentingan-kepentingan pribadi,
kekayaan, raja, penguasa, pemikiran-pemikiran yang mengusai manusia, warisan
para kakek dan nenek, berhala-berhala yang terbuat dari batu dan kayu, maupun
berbagai macam tuhan lain yang bohong. Adalah salah jika seseorang membayangkan
bahwa kalimat "tiada Tuhan selain Allah" hanya sekadar hiasan mulut
seorang Muslim di mana segala sesuatu yang ada di sekitarnya penuh dengan
kebohongan dan tidak membenarkan apa yang dikatakannya. Kalimat tersebut dalam
Islam merupakan per-gulatan besar bersama kegelapan yang ada pada diri manusia,
suatu pergulatan yang berakhir pada penyerahan diri; pergulatan yang akan
berpindah pada kehidupan yang lebih berat, sehingga kehi-dupan akan berserah
diri. Dan mustahil pergulatan itu akan terjadi kecuali jika terpenuhi suatu
kebebasan: kebebasan akal untuk meragukan dan menolak dan kebebasan yang
berakhir kepada pencapaian batas-batasnya dan kemampuannya serta kebebasan yang
meninggi untuk mencapai keimanan yang dalam dan kokoh. Itu adalah tanggung
jawab yang berarti bahwa ia harus memikul senjata untuk membebaskan orang lain
sebagaimana ia membebaskan dirinya sendiri. Demikianlah esensi dari Islam,
yaitu ilmu yang berdiri di atas kebebasan dan tanggung jawab yang tumbuh dari
kebebasan, dan buah terAkhirnya adalah tauhid dalam kedalamannya yangjauh.
Jika tauhid dipahami secara benar, maka manusia akan terbebas dari
penyembahan selain Allah SWT: manusia akan bebas terhadap rasa takut dari
kematian, kekhawatiran atas rezeki, manusia akan terbebas dari sikap bakhil dan
ketakutan terhadap hari-hari yang akan datang.
Muhammad bin Abdillah datang nntuk menyerukan bahwa hanya Allah
SWT yang patut disembah dan bahwa semua manusia adalah hamba-hamba-Nya. Dcngan
membebaskan manusia dari menyembah sesama mereka, maka kebcbasan yang hakiki
telah dimulai. Rasulullah saw memberitahu bahwa kematian adalah perpindahan
dari satu rumah ke rumah yang lain. Ia bukan akhiran yang misteri dari
kehidupan yang tidak dapat dipahami, tetapi ia hanya sekadar perpindahan. Takut
kepada kematian tidak akan menyelamatkan dari kematian itu sendiri, dan cinta
kepada kehidupan tidak akan memanjangkan ajal. Pada setiap ajal ada ketentuannya.
Maka keberanian merupakan unsur dari unsur-unsur pembentukan kepribadian Islam
dan bagian dari bagian-bagian sel yang ada dalam tubuh seorang Muslim.
Rasulullah saw juga menyatakan bahwa rezeki di dunia sudah dijamin
dan ditentukan oleh Allah SWT:
"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan
Allah-lah yang memberi rezekinya. " (QS. Hud: 6)
Jibril mewahyukan kepada Rasul saw bahwa suatu jiwa tidak akan
memenuhi ajalnya sehingga rezekinya disempurnakan. Jika demikian halnya, maka
tidak ada alasan bagi manusia untuk khawatir terhadap rasa lapar dan gelisah
terhadap hari esok. Semua ini terjadi dalam ruang lingkup mengambil atau
melalui jalanjalan menuju sebab. Yakni berusaha untuk mencapai rezeki yang
merupakan kewajiban bagi orang Muslim dan percaya terhadap kedermawan Allah SWT
yang juga merupakan suatu kewajiban bagi orang Muslim untuk mempercayainya.
Allah SWT berfirman:
"Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat
(pula) apa yang dijanjikan kepadamu. " (QS. adz-Dzariat: 22)
Allah SWT telah menjamin rezeki di dunia dan memerintahkan manusia
untuk berusaha mencapai rezeki di akhirat. Rezeki di dunia adalah sesuatu yang
sudah dijamin, sehingga manusia tidak perlu melakukan usaha yang terlalu sengit
untuk mencapainya. Cukup baginya untuk berusaha secara benar dan seimbang.
Sedangkan berkenaan dengan rezeki akhirat, Allah SWT memerin-tahkan manusia
untuk berusaha mencapainya karena ia adalah rezeki yang Allah SWT tidak
menjaminnya kecuali jika manusia berhasil melampaui dua jihad: jihad yang besar
dan jihad yang kecil. Jihad besar adalah jihad melawan hawa nafsu dan jihad
kecil adalah jihad melawan musuh di medan perang.
Dengan terbebasnya seorang Muslim dari kerisauan pada kematian,
rezeki, dan rasa takut, maka Islam memberi seorang Muslim senjatanya dan
alat-alatnya dan ia memerintahkannya untuk mulai memerangi kekuatan-kekuatan
kelaliman di muka bumi. Allah SWT berfirman tentang umat Islam:
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah." (QS. Ali 'Imran: 110)
Perhatikanlah, bagaimana Allah SWT menyebutkan amal makruf nahi
mungkar sebelum keimanan kepada Allah SWT. Ini dimaksudkan agar akal manusia
tergugah akan pentingnyajihad di jalan Allah SWT. Amal makruf dan nahi mungkar
tidak terwujud semata-mata dengan memegang tongkat dan mencambukannya kepada
punggung orang-orang Islam yang tidak salat; ia juga tidak berupa usaha untuk
menahan orang-orang Muslim yang tidak berpuasa. Masalah itu lebih penting dan
lebih besar dari sekadar memperhatikan hal-hal yang bersifat lahiriah,
sedangkan hal-hal yang bersifat batiniah tidak diperhatikan.
Ayat tersebut berarti, hendaklah seorang Muslim membawa senjata
dan berdakwah di jalan Allah SWT serta memerangi orang-orang lalim di muka
bumi. Abu Bakar berkata: "Wahai manusia, kalian membaca ayat berikut
ini:"
"Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu. Tiadalah orang
yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk," (QS. al-Maidah: 105)
Dan aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya
ketika masyarakat melihat orang yang lalim dan mereka tidak menghentikannya,
maka Allah SWT akan menimpakan azab kepada mereka semua."
Penafsiran Abu Bakar terhadap ayat tersebut sangat jelas artinya.
Yakni bahwa pelaksanaan ayat tersebut dapat diwujudkan dengan adanyajihad di
jalan Allah SWT dengan mengangkat senjata sebagai usaha untuk menghentikan
orang-orang yang lalim. Setelah itu, seorang Muslim dapat mengatakan: "Aku
telah melaksanakan tugasku dan tidak akan berdampak kepadaku orang yang sesat
setelah aku memberikan petunjuk."
Demikianlah pemahaman orang-orang Islam yang pertama. Maka
bandingkanlah pemahaman tersebut dengan pemahaman kita saat ini di mana kita
telah kchilangan keberanian, dan rasa takut telah menghinggapi tubuh
orang-orang Islam. Kaum Muslim lebih mengutamakan keselamatan diri mcrcka
daripada memerangi orang-orang yang lalim.
Muhammad bin Abdillah datang dengan membawa risalah Islam yang di
dalamnya terdapat perintah Ilahi untuk rnemerangi orang-orang yang lalim dan
mempertahankan kehormatan orang-orang yang tertindas di muka bumi. Allah SWT
berfirman:
"Karena itu, hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan
dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang
berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan, maka kelak
akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar. Mengapa kamu tidak mau berperang
dijalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki,
wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: 'Ya Tuhan kami,
keluarkanlah kami dari negeri ini yang lalim penduduknya dan berilah kami
pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu. " (QS. an-Nisa': 74-75)
Muhammad bin Abdillah membacakan kepada kaumnya tentang penafsiran
Allah SWT berkenaaan dengan makna kejayaan yang besar:
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin
diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di
jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang
benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih
menepati janjinya (selain) daripada Allah?, maka bergembiralah dengan jual beli
yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar." (QS. at-Taubah: 111)
Bacalah ayat tersebut dua kali dan renungkanlah tentang kedermawan
Allah SWT. Betapa tidak, Dia membeli jiwa orang-orang mukmin dan harta mereka,
padahal jiwa tersebut dan harta tersebut pada hakikatnya adalah milik-Nya
sendiri. Lihatlah bagaimana kemuliaan Allah SWT di mana Dia membeli harta
milik-Nya yang khusus dengan surga dan bagaimana Allah SWT menganjurkan
orang-orang Islam untuk berperang, dan Dia memberitahu mereka bahwa urusan
memerangi orang-orang lalim dan orang-orang yang tersesat bukanlah hal yang
baru atas orang-orang Islam. Allah SWT telah memerintahkan hal tersebut dalam
Injil dan Taurat. Sebagaimana Nabi Isa diutus dengan pedang, seperti yang
disebutkan dalam lembaran-lembaran atau buku-buku orang-orang Nasrani, maka
Nabi Musa pun diutus dengan membawa pedang. Dan ketika Bani Israil berkata
kepada Nabi Musa, "pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah, dan
kami hanya di sini duduk-duduk saja,", maka kehendak Ilahi menetapkan agar
mereka mendapatkan kesesatan selama empat puluh tahun sebagai akibat dari
perbuatan mereka itu, agar generasi yang lemah dan hina itu hancur yang mereka
justru tidak memenuhi panggilan Allah SWT dan mereka membiarkan Nabi Musa
bersama Tuhannya berperang, padahal peperangan itu merupakan tanggung jawab
mereka dan tugas mereka yang harus mereka emban sebagai pengikut Nabi Musa.
Demikianlah esensi dari ajaran Islam sebagaimana yang dibawa oleh
Muhammad bin Abdillah. Yakni ajakan untuk membaca dan menggali ilmu serta mendapatkan
kebebasan dan yang terpenting adalah usaha melawan kekuatan-kekuatan lalim.
Suatu ajakan yang universal yang tidak dikhususkan untuk kalangan tertentu atau
untuk waraa kulit tertentu atau untuk kaum tertentu atau untuk tempat tertentu;
suatu ajakan kemanusiaan yang komprehensif yang universal yang ingin mengikat
ilmu dan kebebasan dan jihad dengan tujuan yang lebih tinggi, yaitu mencapai
tauhid kepada Allah SWT dan menyucikan-Nya serta keimanan terhadap hari
kemudian dan kebangkitan manusia semuanya di hadapan Allah SWT.
Adalah salah jika ada orang yang menganggap bahwa Islam hanya
memperhatikan aspek akhirat dan melupakan aspek duniawi. Menurut Islam dunia
adalah lembar-lembar jawaban yang akan dikoreksi di hari akhir. Ia adalah ujian
dan tempat percobaan bagi manusia agar manusia mengetahui apakah ia layak untuk
menda-patkan kemuliaan dari Allah SWT yang telah diberikan kepada Adam. Atau
apakah iajustru layak untuk jadi bagian dari tanah neraka Jahim dan batunya,
sebagaimana firman Allah SWT:
"Yang bahan bakarnya manusia dan batu. " (QS.
al-Baqarah: 24)
Rasulullah saw telah menjelaskan hikmah dari penciptaan manusia,
penciptaan kehidupan dan kematian ketika beliau menyampaikan firman Allah SWT
dalam surah al-Mulk:
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa
di antara kamu yang lebih baik amabiya. " (QS. al-Mulk: 2)
Dunia adalah rumah pergulatan. Dan Allah SWT telah menciptakan
kehidupan dan kematian agar manusia menyadari siapa di antara mereka yang
terbai amalnya. Tentu pengetahuan ini tidak akan menambah kekuasaan Allah SWT.
Pengetahuan itu justru dibutuhkan oleh manusia. Allah SWT menciptakan manusia
agar menusia mengetahui, danpengetahuan yang paling penting adalah pengetahuan
atau pengenalan terhadap diri. Dan pada hari kiamat manusia akan mengenal dirinya
secara sempurna dan ia akan mengenal balasan yang akan diterimanya secara
sempurna.
Dan barangkali mukadimah yang kami sarikan dari hari akhir ini
mengharuskan kehidupan di atas bumi dipenuhi dengan kesucian dan kebersihan,
yaitu diliputi dengan kemanusiaan yang sempurna yang di dalamnya manusia layak
untuk hidup. Demikianlah Islam yang dibawa oleh Muhammad saw. Inilah asasnya
dan hakikatnya. Itu adalah pondasi dan hakikat yang tidak diciptakan oleh
Muhammad saw dan tak didahului oleh rasul-rasul sebelumnya. Hakikat
risalah-risalah yang dulu semuanya adalah tauhid dan mempertahankan
kebenaran serta keimanan terhadap hari akhir dan menyerahkan jiwa dan
anggota tubuh hanya kepada Allah SWT. Yang baru dalam Islam adalah ilmu,
kebebasan dan universalitas ajaran Islam serta warna keadilan yang sangat
kental, sehingga sangat tepat jika dikatakan bahwa karakter dari Islam adalah
keadilan. Barangkali bagian ini perlu diperhatikan.
Meskipun agama-agama samawi pada esensinya satu, tetapi kehendak
Allah menuntut turunnya lebih dari agama dan lebih dari satu nabi. Kehendak
tersebut menuntut agar pada setiap agama terdapat karakter yang khusus yang
menggambarkan bentuk yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan utama yang di
situ agama itu diturunkan dan sesuai dengan waktu saat itu. Orang-orang Yahudi
misalnya, mereka hidup di tengah-tengah suasana penyembahan berhala dikalangan
orang-orang Mesir kuno. Yahudisme diturunkan pada Bani Israil yang suka
membangkang dan karena itu, karakter utamanya adalah ketegasan (as-Sharamah)
agar mereka tidak terpengaruh dengan fenomena berhalaisme ala Mesir atau mereka
terkena pengaruh dari tindakan semena-mena Fir'aun. Dengan ketegasan inilah
agama Yahudi selamat dan dapat menjadi risalah penyelamatan dan pembebasan.
Namun Bani Israil yang memperbudak manusia dan mempunyai
hati yang keras pada saat yang sama mereka keluar dari Fir'aun untuk masuk ke
cengkraman orang-orang Romawi di mana orang-orang Romawi justru lebih
lalim dan lebih kuat dari orang-orang Mesir. Oleh karena itu, orang-orang
Masehi bertanggung jawab untuk melakukan pembebasan baru tetapi dengan cara
yang berbeda sesuai dengan perubahan keadaan. Cara tersebut adalah menjauhkan
penggunaan kekuatan bersenjata karena kekuatan orang-orang Romawi mengungguli
kekuatan saat itu dan menguasai bumi secara keseluruhan. Maka kemenangan yang
mungkin dapat diperoleh adalah dengan cara menghindari tindak kekerasan dan
lebih mengutamakan pendekatan cinta. Dan pada kali yang lain orang-orang Masehi
memperoleh kemenangan melalui cara kedamaian dan cinta yang disebarkannya atas
imperialisme Romawi dengan segala senjatanya dan kekuasaannya.
Adapun Islam datang sebagai agama yang terakhir dan menyeluruh
yang layak untuk diterapkan di muka bumi, sehingga Allah SWT mewariskan bumi
dan apa saja yang ada di dalamnya kepada orang-orang yang berhak mewarisinya.
Oleh karena itu, agama yang terakhir ini harus mempunyai karakter khusus dan
karakter itu adalah karakter keadilan.
Ketegasan hanya cocok untuk zaman tertentu dan kelompok tertentu
dan keadaan tertentu, sedangkan cinta adalah contoh yang tertinggi, tetapi ia
tidak dapat menjadi sesuatu tolok ukur untuk dibandingkan dengan
tindakan-tindakan tertentu atau untuk dijadikan alat untuk melakukan sesuatu.
Dan jika ia menjadi tolok ukur bagi orang-orang yang memilki perasaan yang
tinggi atau budaya yang tinggi, maka ia tidak dijadikan tolok ukur umum dan
universal. Adapun keadilan, maka ia menjadi karakter Islam yang berarti
keseimbangan dalam sifat-sifat keutamaan dan meletakkan segala sesuatu pada
tempatnya. Ini adalah tolok ukur yang menyeluruh dan barometer yang akhir. Dan
barangkali kebesaran keadilan dan pengaruhnya dalam pengaturan alam
bersandarkan kepada firman Allah SWT:
"Allah menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia.
Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu)." (QS. Ali 'Imran: 18)
Apabila Allah SWT dalam Islam merupakan cermin yang tertinggi,
maka keadilan yang disaksikan oleh Allah SWT terhadap diri-Nya sendiri harus
menjadi karakter Islam dan kaum Muslim. Keadilan dalam Islam bukan hanya
keadilan ekonomi atau keadilan hukum atau keadilan dalam balasan, tctapi ia
mencakup semuanya. Sebelum semua ini dan sesudahnya, kcadilan dalam Islam
merupakan suatu sistem dalam kehidupan dan metode utama dalam Islam.
Ketika Anda memalingkan pandangan Anda dalam Islam, maka Anda akan
menemukan keadilan menghiasi seluruh wajah Islam. Di sana terdapat keadilan
antara agama-agama yang dulu, keadilan antara individu dan masyarakat, keadilan
antara dunia dan agama, keadilan antara pria dan wanita, keadilan untuk
orang-orang yang fakir dan orang-orang yang kaya, keadilan antara para penguasa
dan rakyat, bahkan dengan keadilan itu sendiri bumi dan langit ditegakkan dan
Allah SWT menyebut diri-Nya sebagai al-'Adl (Yang MahaAdil).
Selanjutnya, Islam adalah agama yang sudah lama sebagaimana
lamanya kedatangan para nabi. Nabi Nuh as berkata dalam surah Yunus:
"Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta
upah sedikit pun darimu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka dan aku
disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri
(kepadanya)." (QS. Yunus: 72)
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail as berkata dalam surah al-Baqarah
saat keduanya membangun Ka'bah:
"Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami),
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan Kami,
jadikanlah kami berdua orang yang tunduh patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah
kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji hami, dan terimalah tobat
kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.
" (QS. al-Baqarah: 127-128)
Nabi Ibrahim tidak lupa untuk berwasiat kepada keturunannya dan di
antara mereka adalah Yakub agar mereka mati dalam keadaan Islam. Allah SWT
berfirman:
"Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anaknya,
Demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): 'Hai anak-anakku, Sesungguhnya Allah
telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah hamu mati kecuali dalam memeluk
agama Islam.'" (QS. al-Baqarah: 132)
Ketika kematian mendekati Yakub, beliau mengumpulkan anak-anaknya
di sekelilingnya dan bertanya kepada mereka:
"Apa yang kamu sembah sepeninggalku? Mereka menjawab: 'Kami
akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenak moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan hhaq,
(yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepadanya.'" (QS. al-Baqarah: 133)
Allah SWT memberitahu kita dalam surah Yunus tentang perkataan
Nabi Musa kepada kaumnya:
"Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka
bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri." (QS. Yunus:
84)
Sementara itu, Nabi Sulaiman adalah seorang Muslim sesuai dengan
nas ayat-ayat yang menceritakan tentang kisahnya bersama Ratu Saba' ketika Ratu
tersebut berkata:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat lalim terhadap
diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta
alam." (QS. an-Naml: 44)
Demikian juga Nabi Yusuf, beliau berdoa kepada Allah SWT dan
meminta kepadanya agar mematikannya sebagai orang Muslim dan memasukannya dalam
kelompok orang-orang yang saleh. Allah SWT berfirman dan bercerita tentang
Yusuf dalam surah Yusuf:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan
kepadaku sebagaian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta'bir
mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi, Engkaulah Pelindungku di dunia dan
di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan
orang-orang yang saleh." (QS.Yusuf: 101)
Sementara itu dalam surah al-Maidah, Allah SWT mewahyukan kepada
kaum Hawariyin agar mereka beriman kepadanya dan kepada rasul-Nya lalu mereka
berkata:
"Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa
Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)." (QS. al-Maidah: 111)
Jadi, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Yakub, Nabi Musa
Harun, Nabi Sulaiman, Nabi Yusuf, Nabi Isa adalah nabi-nabi yang Muslim sesuai
dengan nas ayat-ayat tersebut. Maka seluruh nabi adalah orang-orang Muslim,
lalu bagaimana Nabi Muhammad saw sebagai Nabi yang terakhir dikatakan sebagai
orang Muslim yang pertama?
Allah SWT berfirman dalam surah al-An'am yang ditujukan kepada
Nabi yang terakhir:
"Katakanlah: 'Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).'" (QS. al-An'am: 162-163)
Maka, bagaimana beliau menjadi orang Muslim yang pertama, padahal
penamaan umat beliau dengan sebutan al-Muslimin adalah
penamaan yang sebenarnya sudah dahulu dikenal di kalangan nabi-nabi yang
terdahulu dan kedatangannya ke alam wujud dan penamaan agamanya dengan
sebutan al-Islam sebenarnya berhutang kepada kakeknya yang
jauh, yaitu Nabi Ibrahim. Allah SWT berfirman dalam surah al-Hajj:
"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu
sekalian orang-orang Muslim dari dahulu. " (QS. al-Hajj: 78)
Tidak ada pertentangan dalam pendahuluan para nabi dengan
sebutan al-Muslimin daripada Rasulullah saw dan kedudukan
beliau sebagai orang Muslim yang pertama. Tentu kata al-Awwal(yang
pertama) di sini tidak dipahami dari sisi waktu atau masa kemunculan, tetapi
yang dimaksud dengan orang Muslim di sini adalah akmalul muslimin (orang
yang paling sempurna di antara orang-orang Muslim). Suatu kali Aisyah pernah
ditanya tentang akhlaknya Rasulullah saw lalu dia menjawab dengan kalimatnya
yang singkat: "Akhlak beliau adalah Al-Qur'an."
Kita mengetahui bahwa Al-Qur'an al-Karim menetapkan akhlak yang
mulia meskipun dalam batasannya yang sederhana dan rendah, dan menyebutkan
keutamaan akhlak dalam tingkatannya yang tinggi. Oleh karena itu, akhlak
seperti apa yang dimiliki oleh Rasulullah saw: apakah beliau memiliki akhlak
yang sifatnya tengah-tengah, atau apakah beliau mendahului dalam kebaikan, atau
apakah beliau termasuk ashabul yamin (orang-orang yang berasal
di sebelah kanan), atau apakah beliau termasuk al-Muqarrabin (orang-orang
yang dekat dengan Allah SWT)?
Rasulullah saw tidak hanya memiliki semua karakter tersebut dan
atribut tersebut, bahkan kedudukan beliau lebih dari itu semua. Beliau berada
di puncak dari segala puncak keutamaan akhlak, sehingga beliau berhak untuk
mendapatkan sebutan dari Allah SWT:
"Dan sungguh pada dirimu terdapat budi pekerti yang agung.
" (QS. al-Qalam: 4)
Para Mufasir berbeda pendapat tentang makna dari al-Huluqul
'adzim (budi pekerti yang agung). Sebagian mereka mengatakan bahwa
yang dimaksud adalah Al-Qur'an. Sebagian yang lain mengatakan itu adalah Islam.
Ada juga yang mengatakan bahwa beliau tidak memiliki sesuatu kecuali keinginan
untuk menuju jalan Allah SWT.
Dalam Al-Qur'an al-Karim terdapat penjelasan tentang derajat
beliau yang tinggi dalam dua ayat yang mulia. Ayat yang pertama adalah
firman-Nya:
"Katakanlah: 'Sesungguhnya Shalatku, ibadatku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).'" (QS. al-An'am:
162-163)
Beliau adalah orang yang paling utama di antara manusia semuanya;
beliau memiliki keutamaan yang melebihi semua manusia; beliau memiliki rahmat
dan kemuliaan yang tidak dapat ditandingi oleh seseorang pun. Meskipun beliau
datang sebagai Nabi yang terakhir namun justru karena posisi beliau sebagai
Nabi yang terakhir, maka beliau menjadi bata yang terakhir dalam pembangunan
rumah kenabian yang tinggi, sehingga bata yang terakhir itu harus menjadi
puncak pembangunan manusia. Sedangkan ayat yang kedua adalah firman-Nya:
"Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam
semesta." (QS. al-Anbiya': 107)
Beliau bukan hanya menjadi rahmat bagi orang-orang Arab saja; beliau
bukan hanya menjadi rahmat bagi orang-orang Quraisy dan beliau bukan menjadi
rahmat bagi zamannya saja, begitu juga beliau tidak menjadi rahmat bagi jazirah
Arab saja, tetapi beliau menjadi rahmat bagi alam semesta; beliau senantiasa
menjadi rahmat bagi alam semesta: dimulai dari diturunkannya wahyu kepadanya
dengan kalimat iqra hingga Allah SWT mewariskan bumi dan apa
saja yang ada di dalamnya kepada orang-orang yang berhak mewarisinya sampai
hari kiamat. Alhasil, beliau adalah rahmat yang dihadiahkan kepada manusia;
beliau adalah rahmat yang tidak menonjolkan mukjizat yang mengagumkan, tetapi
beliau adalah rahmat yang memulai dakwah dengan mengutamakan fungsi akal atau
pembacaan dua kitab: pertama, pembacaan kitab alam atau Al-Qur'an yang
diciptakan atau kalimat-kalimat Allah SWT yang terdiri dari jutaan bentuk dan
kedua pembacaan Al-Qur'an yang diturunkan melalui malaikat Jibril di mana ia
merupakan kalamullah yang abadi. Dan kitab alam dibaca dengan
ribuan cara: dibaca melalui penelusuran dunia:
"Katakanlah: 'Berjalanlah kamu di mnka bumi dan
amat-amatilah.'" (QS. an-Naml: 69)
Atau dibaca melalui usaha menyingkap misteri dan penggunaan akal:
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga
jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. " (QS. Fushilat: 53)
Atau dibaca melalui ilmu dan pengamatan:
"Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat
berdiam, dan yang telah menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang
menjadikan gunung-gunung untuk (mengokohkan)nya dan menjadikan suatu pemisah
antara dua laut 1 Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan
(sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui." (QS. an-Naml:
61)
Jika di sana terdapat ribuan jalan atau cara untuk membaca
kalimat-kalimat Allah SWT dan kitab alam, maka di sana terdapat satu jalan
untuk membaca kalamullah yang abadi, yaitu hendaklah Al-Qur'an
dibaca dengan mata hati dan kecermelangan basirah, sehingga Al-Qur'an menjadi
bagian akhlak dari yang membaca sesuai dengan kemampuannya.
Sebelum turunnya Al-Qur'an, dunia diliputi dengan kekurangan, baik
secara materi, ruhani, undang-undang maupun dari dimensi kehidupan yang biasa
melekat pada manusia saat itu. Dan sebelum diutusnya Rasul saw yang beliau
adalah manusia yang sempurna dan paling utama, alam belum mencapai puncak dari
penyerahan diri kepada Allah SWT atau puncak dari keutamaan akhlak. Ketika
Rasulullah saw diutus, maka manusia mengalami kesempurnaan dan mampu mencapai
tingkat kesempurnaannya. Dengan Kitab yang mulia ini dan Nabi yang pengasih,
Allah SWT yang menyempurnakan agama bagi manusia dan menyempurnakan nikmat-Nya
atas mereka, sebagaimana firman-Nya:
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itujadi agama
bagimu. " (QS. al-Maidah: 3)
Namun semua itu tidak terwujud begitu saja, Nabi yang mulia harus
berjuang secara serius dan sungguh-sungguh, sehingga beliau menjadi manusia
yang paling layak untuk mendapatkan pujian pendduduk bumi dan penduduk langit.
Dan Rasulullah saw telah melakukan semua itu. Kita tidak mengenal seorang nabi
yang perasaannya dihina dan dicaci maki lebih dari apa diterima oleh Muhammad
bin Abdillah; kita tidak mengenal seorang nabi yang memikul berbagai
penderitaan, dan memiliki kesabaran yang mengagumkan di jalan Allah SWT
sebagaimana yang ditunjukkan oleh Nabi kita.
Kemudian, seorang yang diutus oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi
alam semesta tidak akan mengajak manusia menuju kebenaran kecuali jika manusia
tersebut dari kalangan orang-orang yang kafir dan membangkang. Beliau berdakwah
bagi orang yang berhak mendapatkan dakwah; beliau siap memikul tanggung jawab
dakwah dengan berbagai tantangan dan cobaannya; beliau menunjukkan kesabaran
yang luar biasa. Setelah itu, beliau datang kepada Allah SWT dengan hati yang
puas dan air mata yang bercucuran dan dengan suara berbisik berkata: "Ya
Allah, jika tidak ada kemurkaan pada diri-Mu, maka aku tidak akan peduli dengan
manusia." Segala sesuatu akan menjadi mudah jika di sana terdapat ridha
Allah SWT.
Setelah turunnya wahyu kepada Rasul saw, beliau memulai tahapan
dakwah dan mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT. Dimulailah dakwah secara
rahasia yang berlangsung selama tiga tahun dalam persembunyian.
Mula-mula Ummul Mu'minin, Khadijah binti Khuwailid beriman
kepadanya, lalu beriman juga sahabatnya, Abu Bakar sebagaimana beriman
kepadanya anak pamannya, Ali bin Abi Thalib yang saat itu masih kecil dan hidup
di bawah asuhan Muhammad, dan juga beriman kepadanya Zaid bin Tsabit, seorang
pembantunya. Kemudian Abu Bakar juga ikut berdakwah, sehingga ia memasukkan
dalam dakwah teman-temannya, seperti Usman bin Affan, Thalha bin Ubaidilah, dan
Sa'ad bin Abi Waqas. Juga beriman seorang Masehi, yaitu Waraqah bin Nofel dan
Rasulullah saw melihatnya setelah kematiannya tanda kesenangan yang itu
menunjukkan ketinggian derajatnya di sisi Allah SWT. Setelah itu, Abu Dzar al-Ghifari
juga masuk Islam, lalu disusul oleh Zubair bin Awam dan Umar bin 'Anbasah serta
Sa'id bin 'Ash. Jadi, Islam mulai mengepakkan sayapnya secara rahasia di Mekah.
Kemudian berita tersebarnya akidah yang baru ini sampai kepada
pembesar-pembesar Quraisy, tetapi mereka tidak begitu peduli. Barangkali mereka
membayangkan bahwa Muhammad telah menjadi—karena uzlah yang dilakukannya di gua
Hira—salah seorang juru bicara tentang ketuhanan sebagaimana pernah dilakukan
oleh Umayah bin Shalt dan Qas bin Sa'adah.
Demikianlah dakwah secara rahasia berhasil mengembangkan misinya
dan dapat melindungi akidah yang baru. Dan selama perjalanan tiga tahun yang
dibutuhkan tahapan dakwah secara rahasia keimanan telah tertanam dalam hati
kaum Muslim yang pertama. Rasulullah saw telah mendidik mereka dan telah
menanamkan kepada diri mereka sifat-sifat kemuliaan dan telah menciptakan
mereka sebagai benih pertama dari pasukan Islam. Pada suatu hari Jibril turun
dengan membawa firman Allah SWT:
"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang
terdekat." (QS. asy-Syu'ara': 214)
Demikianlah, datanglah perintah Ilahi agar Rasulullah saw
berdakwah secara terang-terangan. Lalu berkumpullah di sekeliling Nabi
sekelompok tentara yang besar dan datanglah perintah Ilahi agar beliau
menyampaikan dakwah secara terang-terangan dan mengingatkan keluarga dekatnya.
Ketika Nabi melakukan hal tersebut, maka dakwah memasuki tahapan yang kedua.
Dan tahapan dakwah yang baru ini berakibat pada timbulnya penekanan terhadap
para dai di mana mereka mengalami penindasan, bahkan mereka didustakan oleh
masyarakat serta diboikot.
Orang-orang Quraisy mengetahui bahwa Muhammad berbahaya bagi
mereka. Beliau bukan hanya berbicara tentang ketuhanan, tetapi beliau mengajak
rnanusia untuk mengikuti agama baru, yaitu agama yang mencoba untuk
menyingkirkan berhala-berhala dan patung-patung mereka serta tuhan-tuhan mereka
yang mereka yakini; agama yang mencoba menyingkirkan kedudukan sosial mereka
dan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka; agama yang menyatakan bahwa tiada
tuhan lain selain Allah SWT, dan tiada hukum lain selain hukum-Nya, serta tiada
penguasa lain selain Dia. Kedatangan agama tersebut menyebabkan penduduk kota Mekah
membencinya dan orang-orang yang memegang kekuasaan di dalamnya merasa gelisah.
Setelah pengumuman dakwah secara terang-terangan, dimulailah dan
ditabuhlah gendrang peperangan. Kemudian peperangan yang dahsyat terjadi antara
para pembesar Quraisy dan para pengikut Rasulullah saw. Orang yang pertama kali
menyerang Islam adalah seorang tokoh Mekah yang bernama Abu Lahab.
Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw menaiki bukit Shafa dan
beliau mulai memanggil-manggil tokoh Quraisy dan para kabilah Mekah. Dan ketika
semua berkumpul, beliau bertanya kepada mereka: "Apakah kalian percaya
jika aku memberitahu kalian bahwa seekor kuda akan datang menyerang
kalian?" Mereka menjawab: "Tentu, kami belum pernah melihatmu
berbohong." Beliau berkata: "Aku seorang yang diutus sebagai pemberi
peringatan terhadap kalian. Di hadapanku terdapat siksaan yang berat jika
kalian menentang." Abu Lahab berkata: "Sungguh celaka engkau, apakah
karena ini engkau mengumpulkan kami."
Dengan penghinaan inilah, peperangan terhadap Islam dimulai.
Ketika kaum Muslim tidak mampu mempertahankan diri mereka, maka mula-mula Allah
SWT membantu mereka dan menolong mereka dengan menurunkan surah yang pendek
yang mengecam tindakan Abu Lahab:
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan
binasa. Tidaklah bermanfaat kepadanya harta bendanya dan apa yang dia usahahan.
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya,
pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut. " (QS. Allahab:
1-5)
Dengan ayat-ayat yang pendek dan tepat tersebut, Abu Lahab
memasuki kancah sejarah dari pintunya yang paling pendek. Gambaran tentang
kejahatan Abu Lahab tertulis selama-lamanya. Abu Lahab adalah seorang yang
menentang dakwah kebenaran karena ia mengkhawatirkan kedudukannya dan
kekayaannya, padahal harta yang dipertahankannya dan dijaganya tidak memiliki
arti sama sekali di sisi Allah SWT karena ia sekarang berada dan dijebloskan di
tengah-tengah neraka yang menyala-nyala, sedangkan isterinya membawa kayu
bakar, sehingga menambah nyala api itu sendiri. Dan di lehernya terdapat suatu
belenggu sebagai simbol keterikatannya dengan dunia binatang yang tidak
berakal. Sebagian besar orang-orang yang menentang dakwah adalah orang-orang
yang berhubungan dengan dunia binatang yang tidak sadar.
Allah SWT berfirman:
"Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu
mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).
" (QS. al-Furqan: 44)
Seandainya hari ini kita merenungkan reaksi orang-orang kafir dan
orang-orang musyrik, maka kita akan terheran-heran.
Allah SWT berfirman:
"Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi
peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: 'Ini
adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta. Mengapa ia menjadikan
tuhan-tuhan itu Tuhan yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal
yang sangat mengherankan'." (QS. Shad: 4-5)
Coba perhatikan bagaimana kebodohan kaum itu di mana mereka
menganggap bahwa pada hakikatnya terdapat multi tuhan dan mereka jutru merasa
heran ketika terdapat hanya satu tuhan atau tuhan yang esa. Mereka justru
merasa heran ketika berhadapan dengan masalah yang fitri dan jelas ini.
Allah SWT berfirman:
"Dan apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah
menjadikan kamu sebagai ejekan (dengan mengatakan): 'Inikah orangnya yang
diutus Allah sebagai rasul? Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari
sembahan-sembahan kita, seandainya kita tidak sabar (menyembah)nya.
" (QS. al-Furqan: 41-42)
Perhatikanlah betapa nekatnya kaum itu di mana mereka mulai
menghina dan mengejek Rasulullah saw, padahal beliau telah datang di
tengah-tengah mereka untuk menyelamatkan mereka dari api neraka, dan coba perhatikan
bagaimana pandangan mereka terhadap tuhan-tuhan mereka. Mereka membayangkan
bahwa mereka nyaris tersesat jika mereka tidak bersabar dalam membela
tuhan-tuhan tersebut. Demikianlah kesesatan mengejek kebenaran dan kebodohan
menghina ilmu. Mereka justru merasa heran terhadap kepandaiannya yang dapat
menyelamatkannya dari meninggalkan tuhan-tuhannya yang terbuat dari batu dan
kayu, bahkan terkadang mereka membuat tuhan dari adonan roti di mana mereka
menyembahnya kemudian memakannya. Mereka mengatakan bahwa tuhan-tuhan kami
menyelamatkan kami dari rasa lapar atau mereka mengatakan bahwa kami menyembah
mereka agar mereka dapat mendekatkan kami pada Allah sedekat-dekatnya.
Meskipun demikian, dakwah Nabi terus berlanjut dan tertanam di
muka bumi. Mereka orang-orang musyrik menuduh Nabi sebagai seorang dukun;
mereka menuduhnya juga sebagai seorang gila, bahkan mereka menuduhnya sebagai
seorang penyihir; mereka menuduh bahwa beliau berbohong atas nama kebenaran dan
beliau dibantu oleh kaum yang lain; mereka mengatakan ini adalah dongengan
orang-orang yang dahulu.
Mereka meminta kepada beliau untuk mendatangkan mukjizat dengan
bentuk tertentu; mereka memberitahu bahwa mereka tidak akan beriman kepadanya,
sehingga terdapat suatu mata air yang memancar dari bumi atau terwujud di depan
mereka suatu taman dari pohon kurma dan anggur yang memancar di
tengah-tengahnya sungai, atau langit akan runtuh sebagaimana yang beliau
sampaikan kepada mereka sebagai bentuk azab atau beliau datang dengan Allah SWT
dan para malaikat dan mereka semua menjamin kebenaran dakwah yang diserukannya,
atau beliau memiliki rumah dari emas atau beliau mampu mendaki langit dan
mereka masih belum beriman terhadap pendakian itu meskipun ia mendaki di
hadapan mata mereka dan kembali dengan selamat, kecuali jika ia menghadirkan
kitab kepada mereka yang dapat mereka baca dari langit.
Nabi tidak peduli dengan usaha mereka untuk menyakiti hati beliau;
Nabi tetap memberitahu mereka dengan penuh kelembutan bahwa apa saja yang
mereka minta itu tidak sesuai dengan Islam. Sebab, Islam hanya menyeru akal dan
berusaha menciptakan kebebasan. Beliau menyampaikan kepada mereka bahwa beliau
hanya sekadar manusia yang diutus oleh Tuhan; beliau datang kepada mereka untuk
mengingatkan mereka akan suatu hari di mana seorang tua tidak akan
menyelamatkan anaknya dan tidak bermanfaat di dalamnya harta dan anak-anak, dan
mereka tidak akan selamat di dalamnya dari siksaan. Orang-orang yang mempunyai
kedudukan atau para tokoh mereka adalah para tiran-tiran di muka bumi di mana
semua itu tidak akan bermanfaat bagi mereka pada hari kiamat. Siksaan yang
bakal mereka terima tidak dapat mereka hindari dan mereka pun tidak dapat
meringankannya.
Demikianlah Islam—sebagaimana agama-agama sebelumnya— mengumpulkan
di sekelilingnya orang-orang yang berakal dan orang-orang yang fakir serta
orang-orang yang menderita di muka bumi. Berimanlah sekelompok orang-orang
fakir di mana mereka menjadi kelompok sosial yang tertindas dan tersingkirkan
di Mekah. Mereka menjadi makanan empuk kelompok-kelompok yang lalim.
Islam bukan hanya memberikan solusi ekonomi terhadap tragedi
kehidupan atau masyarakat, tetapi Islam memberikan solusi Ilahi terhadap
keberadaan manusia secara umum; Islam meyakini bahwa manusia bukan hanya
sekadar perut yang harus dikenyangkan dan naluri seksual yang harus dipuaskan,
manusia bukan hanya dilihat dan dinilai dari sisi ini, namun Islam justru
meletakkan manusia pada tempatnya yang hakiki, tanpa membesar-besarkan atau
mengecilkannya. Dalam pandangan Islam, manusia terdiri dari bangunan fisik dan
ruhani, terdiri dari akal dan ambisi dan terdiri dari celupan dari Allah SWT
dalam ruhnya.
Islam tidak mementingkan fisik saja dan meninggalkan ruhani,
begitu juga sebaliknya. Terkadang fisik boleh jadi mendapatkan kebahagiaan dalam
kehidupan, tetapi ruhani justru mengalami penderitaan yang luar biasa. Karena
itu, pemuasan salah satu dimensi dari dimensi manusia tidak akan membawa
manusia kepada kesempurnaan atau kebahagiaan. Maka, Islam datang untuk membawa
suatu solusi yang dapat menyelamatkan manusia dari dalam dirinya sendiri dan
Islam membebankan tugas ini, yakni tugas perubahan ini kepada Al-Qur'an.
Al-Qur'an menjadi cermin dalam kehidupan di mana ayat-ayatnya
diturunkan kepada Rasul saw, lalu beliau mengajarkannya kepada kaum Muslim.
Kemudian Al-Qur'an berubah menjadi orang-orang yang berjalan di pasar-pasar dan
mengancam singgasana kebencian yang menguasai Mekah, sehingga orang-orang
musyrik justni meningkatkan usaha pengejekan dan penghinaan terhadap Rasul saw.
Oleh karena itu, beliau semakin sedih lalu Allah SWT menghiburnya. Allah SWT
memberitahu beliau bahwa mereka tidak mendustakannya, tetapi mereka justru
melalimi diri mereka sendiri. Mereka mulai menentang Nabi dan ayat-ayat Allah
SWT, padahal Nabi adalah salah satu dari ayat Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasannya apa yang mereka
katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah hamu bersedih hati), karena mereka
sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang lalim itu
mengingkari ayat-ayat Allah." (QS. al-An'am: 33)
Kemudian kaum musyrik meningkatkan penindasan kepada Rasul saw dan
para pengikutnya. Peperangan dimulai: dari peperangan urat saraf sampai
peperangan fisik. Mereka mulai menyiksa para pengikut Rasul saw, bahkan
membunuhnya. Pada saat itu, musuh-musuh Islam membayangkan bahwa dengan cara
menindas kaum Muslim dan menekan mereka dakwah Islam akan berhenti dan kaum
Muslin akan enggan untuk berdakwah. Mereka menganggap bahwa kaum Muslim justru
memilih untuk menyelamatkan diri mereka. Namun para tokoh-tokoh Quraisy dan
para tokoh-tokoh Mekah dikagetkan ketika melihat penekanan yang mereka lakukan
justru semakin membakar semangat kaum Muslim untuk berdakwah. Saat itu kaum
Muslim merasa yakin bahwa benih yang telah ditanam Rasulullah saw dalam diri
mereka menjadikan mereka tetap bersemangat untuk menyebarkan risalah Allah SWT
di muka bumi, yaitu suatu risalah yang mengembalikan bumi menuju kematangan
(kesempurnaan) yang telah hilang darinya dan kema-nusiaan yang telah
disia-siakan serta kehormatan yang telah ditumpahkan dan kebebasan yang telah
hilang.
Kaum Muslim yakin bahwa mereka bukan hanya membangun suatu negeri
yang kecil di Mekah, dan mereka bukan hanya memperbaiki masyarakat yang rusak,
yaitu masyarakat jazirah Arab, tetapi mereka mengetahui bahwa mereka akan membangun
suatu manusia yang baru. Mereka akan menciptakan manusia seutuhnya; mereka akan
menghadirkan dunia dalam bentuk yang baru dan dalam gambar yang baru yang
merupakan cermin dari gambar kebesaran sang Pencipta.
Sebelum kedatangan Islam, orang-orang Arab tidak dikenal.
Dibandingkan dengan peradaban yang dahulu dan modern, orang-orang Arab tidak
memiliki apa-apa. Mereka tidak memberikan kontribusi kepada dunia dalam bentuk
ilmu, seni, atau peninggalan apa pun yang dapat dijadikan sebagai kebanggaan. Namun
ketika Islam turun kepada mereka, mereka menjadi cermin kejayaan manusia di
mana mereka dapat memberikan sumbangan nyata pada umat manusia. Bahkan
orang-orang Barat banyak berhutang kepada mereka dalam kemajuan yang mereka
capai saat ini. Sebaliknya, ketika mereka berpaling dari Islam di mana Islam
hanya menjadi lembaran cerita-cerita dan kertas-kertas yang tidak berguna, maka
saat itulah orang-orang Barat dapat menguasai kaum Muslim karena mereka justru
mendapatkan ilmu dari Kaum Muslim itu sendiri. Mereka justru mencapai kemajuan
ketika kaum Muslim meninggalkan agama mereka. Jadi, ketika kaum Muslim memahami
Islam secara benar dan berusaha untuk memnghidupkan ajaran-ajarannya niscaya
mereka akan mencapai puncak keilmuan.
Pada awal-awal masa tersebarnya Islam, kaum Muslim menyadari bahwa
mereka menghadapi peperangan yang tidak akan berhenti. Selama kehidupan ada,
maka pertentangan pun tetap ada. Oleh karena itu, ketika mereka mendapatkan
penganiayaan dan siksaan, maka keimanan mereka justru semakin meningkat, dan
setiap penganiayaan yang dilakukan oleh kaum Quraisy, maka mereka tetap
bertahan untuk mempertahankan kebenaran. Sebagai contoh, Amar bin Yasir
mengalami penderitaan dan penganiayaan. Ia adalah salah seorang budak yang
menjadi korban dari sistem ekonomi yang berlaku saat itu, yaitu ekonomi yang
berdasarkan kepada sistem perbudakan. Seorang yang beriman tersebut disiksa di
Mekah di mana ia tidak memperoleh kebebasannya yang hakiki kecuali setelah ia
memeluk Islam. Mereka mengeluarkannya ke gurun dan menyiksanya beserta ibunya.
Bahkan siksaan semakin meningkat atas ibunya agar ia kembali menjadi musyrik.
Ketika ia tetap mempertahankan keimanannya dan dengan tegas menolak ajakan
untuk menentang Islam, maka Abu Jahal menikamnya dengan belati yang ada di dua
tangannya. Ia pun meninggal. Dan Islam mengorbankan syahidnya yang pertama.
Wanita mulia itu bernama Sumayah, ibu dari Amar bin Yasir.
Banyak kalangan orang-orang bodoh mengatakan tentang persetujuan
Islam terhadap sistem perbudakan, atau Islam mendiamkan sistem perbudakan.
Mereka lupa bahwa Islam dibangun berdasarkan suatu prinsip yang ingin
membebaskan perbudakan dengan segala bentuknya; Islam ingin mengeluarkan
manusia dari kepemilikan sesama manusia menuju kepemilikan kepada Allah SWT.
Jika Islam tidak turun dengan nas-nas yang terperinci yang
mengharamkan sistem perbudakan, maka dasar-dasarnya secara umum dan
prinsip-prinsip utamanya menghentikan—baik dalam tindakan maupun
ucapan—sumber-sumber sistem ini. Allah SWT sebagai pemilik syariat mengetahui
bahwa sistem perbudakan adalah sistem ekonomi yang sementara yang akan berubah
dengan perubahan waktu, dan karena Islam tidak turun pada waktu yang terdapat
perbudakan saja, tetapi ia turun secara umum dan menyeluruh untuk setiap zaman,
maka Islam sengaja melewati bentuk-bentuk yang temporal ini dari bentuk-bentuk
eksploitasi menuju unsur yang pertama atau dasar pertama yang menimbulkan
bentuk-bentuk eksploitasi tersebut, sehingga Islam mengharamkannya. Dengan cara
demikian, Islam mengharamkan sistem perbudakan secara bertahap, seperti proses
pengharaman khamer. Jadi, keseriusan Islam sangat menonjol dalam usaha
menghapus dan mengharamkan perbudakan.
Jika dikatakan kepada kita bahwa Islam membolehkan para tentaranya
untuk memperbudak para tawanan perang, maka kita akan mengatakan bahwa Islam
menerapkan sistem ini sebagai bentuk pembalasan terhadap perlakuan yang sama di
mana musuh-musuh Islam menjadikan kaum Muslim sebagai budak-budak mereka ketika
mereka menawannya. Oleh karena itu, secara alami orang-orang Islam pun menawan
mereka sebagai budak-budak. Jika Islam tidak melakukan yang demikian, maka
boleh jadi Islam akan dimain-mainkan dan ada kesempatan besar bagi orang-orang
musyrik untuk memperdaya Islam.
Demikianlah bahwa dakwah Islam mengalami berbagai macam hambatan
dan penindasan. Dan ketika orang-orang yang tersiksa mengadu kepada Rasulullah
saw atas penindasan yang mereka terima, maka Rasulullah saw memberitahu mereka
dengan pembicaraan yang jelas bahwa para dai di jalan Allah SWT harus
mengorbankan kesenangan mereka, kedamaian mereka, dan darah mereka sebagai
harga yang pantas untuk tersebarnya dakwah Islam. Kebebasan bukan diperoleh
dengan cuma-cuma. Sejarah kehidupan menceritakan kepada kita bahwa ia dipenuhi
dengan gumpalan darah yang harus dibayar oleh masyarakat untuk memerangi
musuh-musuhnya dari luar dan dari dalam. Jika ini dialami setiap orang yang
menuntut kebebasan pada zaman dan tempat tertentu, maka bagaimana dengan
orang-orang yang menuntut kebebasan manusia secara keseluruhan.
Seorang Muslim hendaklah sadar bahwa dengan mengumumkan dakwahnya,
maka ia pasti akan menerima pengusiran, penindasan, penjara, pengepungan dan
pembunuhan. Ini adalah harga yang pantas yang harus dibayar ketika berdakwah di
jalan Allah SWT; inilah harga kebebasan. Bahkan terkadang kaum yang batil pun
membayamya dengan senang hati, maka bagaimana mungkin orang-orang yang bersama
kebenaran ragu untuk melakukannya.
Pada hakikatnya, manusia cinta kepada keabadian. Secara naluri
manusia merasa takut pada azab dan kematian. Dan barangkali yang membedakan
orang-orang Islam yang hakiki dengan yang lainnya adalah bahwa mereka terbebas
dari rasa ketakutan dan cinta keabadian. Ini adalah tolok ukur yang pasti untuk
membedakan antara seorang Muslim yang hakiki dan seorang Muslim yang hanya
namanya atau Muslim warisan atau hanya klaim semata.
Seorang Muslim yang hakiki menyadari bahwa ajal di tangan Allah
SWT, rezeki adajuga di tangan-Nya, begitu juga keamanan semua ada di
tangan-Nya. Dengan keimanan seperti ini, ia memulai pergulatannya untuk
menyebarkan dakwah. Ia siap untuk menerima penyiksaan dan penderitaan di jalan
Allah SWT; ia pun siap meneteskan darahnya sebagai harga yang pantas yang
diberikannya dalam rangka memperoleh kebebasan. Ini semua dilakukanya dengan
begitu sederhana dan tidak ada rasa takut karena Islam membebaskannya dari rasa
ketakutan. Dahulu para pembangkang menggergaji orang-orang yang menyeru di
jalan Allah SWT dengan menggergaji saat mereka dalam keadaan hidup-hidup.
Khabab bin Irit pergi menemui Rasulullah saw dan meminta tolong
kepada beliau dari penyiksaan orang-orang Quraisy, sambil berkata:
"Tidakkah engkau menolong kami, wahai Rasulullah? Tidakkah engkau berdoa
kepada kami, ya Rasulullah?" Rasulullah saw menjawab: "Sungguh
sebelum kalian terdapat orang-orang yang berdakwah di jalan Allah SWT lalu
mereka dimasukkan dalam suatu galian tanah lalu mereka digergaji di mana tubuh
mereka dipisah menjadi dua, namun mereka tetap mempertahankan agamanya. Demi
Allah, sungguh Allah SWT akan menolong masalah ini tetapi kalian terlalu
tergesa-gesa."
Dengan kalimat-kalimat yang penuh kesabaran dan keberanian ini,
Rasulullah saw ingin memahamkan kepada orang tersebut bahwa termasuk dari
kesempurnaan iman adalah membayar harga kebebasan. Jelas sekali bahwa Islam
tidak memberikan keuntungan bagi orang yang memeluknya. Orang-orang Islam yang
pertama tidak bertanya dan mengatakan: "Apa yang kita peroleh dari agama
ini?" Sebaliknya, mereka bertanya: "Apa yang kita bayar untuk
Islam?" Jawabannya adalah: "Segala sesuatu dimulai dari suapan-suapan
roti sampai darah yang tertumpah." Jadi, kaum Muslim yang pertama telah
membayar ongkos kebebasan. Mereka merasakan kedamaian yang luar biasa untuk
mempertahankan agama Allah SWT; mereka mendapatkan kepercayaan yang tinggi tentang
kemenangan kebenaran yang datang kepada mereka; mereka justru memberitahu
orang-orang musyrik bahwa mereka akan dapat mengalahkan raja-raja Kisra dan
Kaisar. Dengan dakwah yang mereka lakukan, mereka akan menjadi
pemimpin-pemimpin di muka bumi. Kaum musyrik justru memanfaatkan kepercayaan
ini untuk mengejek mereka dan menertawakan mereka.
Ketika Aswad Ibnu Matlab dan orang-orang yang bersamanya melihat
sahabat-sahabat Nabi, maka mereka mengejek dan mengatakan: "Telah datang
kepada kalian pemimpin-pemimpin bumi yang esok akan mengalahkan raja-raja Kisra
dan Kaisar, kemudian mereka bersiul dan bertepuk tangan." Namun kaum
mukmin tidak peduli dengan ejekan tersebut. Demikianlah bahwa ejekan demi
ejekan terus menyertai dakwah kaum Muslim. Kemudian kaum Quraisy mengadakan
pertemuan yang bersejarah untuk menyatukan pandangan dalam rangka menyerang
Rasulullah saw. Kaum musyrik menuduhnya bahwa beliau adalah seorang ahli sihir,
dan pada kali yang lain mereka menuduhnya bahwa beliau adalah dukun, dan pada
kali yang lain lagi mereka menuduhnya bahwa beliau adalah penyair, bahkan pada
kali yang lain mereka menuduhnya bahwa beliau adalah seorang yang gila.
Kemudian mereka semua sepakat untuk menuduh bahwa beliau adalah seorang
penyihir.
Walid bin Mughirah yang terkenal sebagai orang yang terpandang di
kalangan mereka menuduh Rasulullah saw sebagai penyihir yang dapat memisahkan
antara sesama saudara dan antara seseorang dengan isterinya. Kemudian mereka
membikin kelompok-kelompok yang mengingatkan para pendatang di Mekah bahwa
Muhammad adalah seorang penyihir. Meskipun demikian, dakwah Islam tetap
berlangsung. Ia tetap tersebar dengan pelan namun pasti dan kalimat-kalimat
yang diutarakan Nabi justru mengingatkan perjanjian yang pernah dilakukan oleh
manusia, yaitu perjanjian saat Allah SWT menyaksikannya ketika mereka masih di
alam atom di punggung Adam:
"Bukankah aku Tuhan kalian? Mereka menjawab:
'Benar.'" (QS. al-A'raf: 172)
Bertambahlah jumlah kaum Muslim hingga kaum Quraisy merasakan
ketakutan. Mereka mulai melihat bahwa penggunaan cara-cara kekerasan tidak
selalu berhasil. Kemudian mereka memilih untuk menggunakan cara baru, yaitu
bagaimana seandainya mereka menggunakan perdamaian dan perundingan. Orang-orang
Quraisy mengutus 'Utbah bin Rabi'ah, seorang lelaki yang terkenal dengan
kecerdasan dan kebijaksanaan sebagai juru runding.
'Utbah berkata kepada Rasul saw: "Wahai anak saudaraku, kami
mengetahui kedudukanmu di sisi kami dari sisi nasab. Engkau datang kepada
kaummu dengan suatu hal yang besar di mana engkau memisahkan kelompok-kelompok
mereka. Maka dengarkanlah aku karena aku ingin berbicara tentang beberapa hal.
Barangkali engkau akan menerima sebagiannya." Rasul saw berkata:
"Silakan berbicara wahai 'Utbah." 'Utbah berkata: "Jika engkau
menginginkan harta niscaya kami akan mengumpulkan harta bagimu, sehingga engkau
akan menjadi orang yang paling kaya di antara kami, dan jika engkau
menginginkan kehormatan, maka kami akan memberi kehormatan itu bagimu dan jika
engkau menginginkan kekuasaan, maka kami akan menyerahkan kekuasaan padamu dan
jika engkau terkena penyakit yang engkau tidak mampu menolaknya dari dirimu,
maka kami akan mencarikan tabib bagimu dan kami akan mengeluarkan harta kami
sehingga engkau sembuh."
Demikianlah 'Utbah mengakhiri pembicarannya. Kemudian ia menunggu
reaksi Nabi. Lalu Rasulullah saw berkata:
"Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Haa miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyanyang. Kitab
yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang
mengetahui. Yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi
kebanyakan mereka berpaling (darinya);, maka mereka tidak (mau) mendengarkan.
Mereka berkata: 'Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu
seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu
ada dinding, maka bekerjalah kamu; Sesungguhnya kami bekerja (pula).'
Katakanlah: 'Bahwasannya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan
kepadaku bahwasannya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada
jalan yang lurus menuju kepadanya dan mohonlah ampun kepadanya. Dan kecelakaan
besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-(Nya), (yaitu) orang-orangyang
tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (hehidupan) akhirat.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh mereka
mendapat pahala yang tiada putus-putusnya.' Katakanlah: 'Sesungguhnya patutkah
kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan
sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam. Dan
dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia
memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya
dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang
bertanya. Kemudian dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih
merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: 'Datanglah kamu
keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.' Keduanya menjawab:
'Kami datang dengan suka hati.' Maha Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua
masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit
yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan
sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perhasa lagi Maha Mengetahui.
Jika mereka berpaling, maka katakanlah: 'Aku telah memperingatkan kamu dengan
petir, seperti petir yang menimpa kaum 'Ad dan kaum Tsamud." (QS. Fushilat: 1-13)
Rasulullah saw telah menjawab tawaran 'Utbah di mana beliau
memilih untuk menghadapi tawaran dan iming-iming tersebut dengan membaca
sebagian dari surah Fhusilat yang merupakan salah satu surah Al-Qur'an yang
diturunkan oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril. 'Utbah bangkit dari
tempatnya ketika Rasulullah saw sampai pada firman-Nya:
"Jika mereka berpaling, maka katakanlah: 'Aku telah
memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum "Ad dan
kaum Tsamud. " (QS. Fushilat: 13)
'Utbah berdiri dalam keadaan takut dan segera menuju kaum Quraisy.
Bayang-bayang azab dunia terngiang di telinganya. Dan ketika ia sampai ke orang
Quraisy, ia mengusulkan agar orang-orang Quraisy membiarkan apa saja yang
dilakukan Muhammad. Gagallah perundingan dengan seorang Muslim yang pertama,
yaitu Rasulullah saw. Gagalnya perundingan tersebut sebagai bentuk
pemberitahuan tentang kembalinya tindak kekerasan dan penyiksaan terhadap
sahabat-sahabat Rasul saw. Kemudian kaum musyrik semakin meningkatkan
penindasan terhadap kaum Muslim. Rasulullah saw sangat menderita melihat hal
yang dirasakan para sahabatnya. Ketika kaum Muslim membayar harga yang paling
mahal sebagai konsekuensi dari akidah yang mereka anut dan mereka dengan sabar
memikul penderitaan di jalan Allah SWT, maka Rasulullah saw mengisyaratkan mereka
untuk berhijrah. Beliau memberikan izin untuk berhijrah bagi orang yang ingin
hijrah.
Kemudian Dimulailah gelombang hijrah. Itu terjadi pada lima tahun
dari turunnya wahyu setelah dua tahun diumumkannya dakwah. Maka berhijrahlah ke
Habasyah enam belas orang Muslim. Mereka keluar secara rahasia dan mereka
menuju ke laut. Mereka berlayar meskipun orang-orang yang tinggal di gurun
sebenarnya tidak ingin berlayar karena mereka takut dari laut dan mereka yakin
bahwa manusia yang berlayar di laut akan menjadi ulat di atas kayu-kayu yang
berenang.
Selanjutnya, gelombang hijrah yang kedua pun dimulai. Kali ini
diikuti oleh delapan puluh tiga orang laki-laki dan sembilan belas perempuan.
Kemudian orang-orang Quraisy berusaha untuk mengirim beberapa orang dan tetap
berusaha menyiksa dan menyakiti orang-orang yang berhijrah. Mereka mengutus ke
Najasyi, Raja Habasyah, orang-orang yang dapat mempengaruhinya untuk menentang
orang-orang yang berhijrah. Mereka menuduh kaum Muslim meninggalkan agama nenek
moyang mereka di Mekah dan mereka juga tidak menganut agama Najasyi, yaitu
agama Kristen. Kemudian orang-orang Quraisy tidak lupa mengirim hadiah kepada
Najasyi sebagai bentuk suapan kepadanya. Tampaknya Najasyi seorang yang berakal
lalu ia mengutus seseorang kepada kaum muhajirin dan bertanya kepada mereka
tentang agama baru yang mereka anut. Kemudian kaum muhajirin menceritakan
kepadanya tentang Islam.
Najasyi bertanya tentang Isa lalu mereka menjawab: "Ia adalah
hamba Allah SWT dan rasul-Nya dan ruh-Nya serta kalimat-Nya yang diletakkan
kepada Maryam, wanita yang perawan yang suci." Kemudian Najasyi mengambil
satu kayu kecil dari bumi dan mengatakan: "Penjelasan tentang Isa yang
kalian katakan tidak lebih dari kayu kecil ini. Pergilah kalian dan kalian akan
aman." Najasyi mengembalikan hadiah kaum Quraisy dan mengatakan:
"Allah tidak mengambil suap dariku sehingga aku tidak mungkin mengambilnya
dari kalian."
Demikianlah kaum muhajirin tinggal di negeri yang damai, yaitu
Habasyah negeri yang dipimpin oleh seorang laki-laki yang diberi kematangan
berpikir di mana ia cenderung mengimani karakter al-Masih sebagai seorang
manusia. Dan salah satu keajaiban kekuasaan Ilahi adalah bahwa masyarakat Islam
yang berhijrah tersebut tidak mengalami kelemahan dalam akidahnya, namun mereka
justru merasakan kekuatan.
Allah SWT memperkuat dakwah Islam dengan masuknya dua lelaki besar
dalam Islam, yaitu Hamzah, paman Nabi dan Umar bin Khatab. Kedua orang itu
mempunyai kepribadian yang tangguh di Mekah di mana masing-masing dari mereka
terkenal di tengah-tengah kaumnya. Allah SWT berkehendak untuk memberi Islam
dua orang lelaki yang tangguh di Mekah dan Allah SWT telah meletakkan rahmat
yang terpancar dalam hati mereka. Hamzah masuk Islam karena dorongan emosi,
fanatisme, dan rahmat terhadaporang-orang yang tidak memberikan pembelaan
kepada Muhammad saw.
Salah seorang perempuan berkata kepada Hamzah: "Seandainya
engkau melihat apa yang diperoleh oleh anak dari saudaramu, Muhammad dari Abil
Hakam bin Hisyam (Abu Jahal). Sungguh Abu Jahal telah mencelanya dan
menyakitinya, sedangkan Muhammad hanya terdiam dan tidak mengatakan
apa-apa." Mendengar pengaduan itu, darah mendidih berkobar dalam urat-urat
Hamzah. Dengan kemarahan yang sangat, Hamzah mencari-cari Abu Jahal lalu ia
melihatnya sedang duduk-duduk di tengah-tengah kaumnya. Hamzah mengangkat tangannya
lalu memukulkannya ke kepala Abu Jahal sambil berteriak: "Apakah engkau
akan mengejek Muhammad, padahal aku berada di atas agamanya."
Demikianlah permulaan keislaman Hamzah. Hamzah adalah seorang yang
mulia di mana perasaannya berkobar ketika ia melihat anak saudaranya disiksa
dan dianiaya dan dia tidak mendapati seorang pun yang membelanya. Beginilah
sebab-sebab pertama dari keislaman Hamzah, namun sebab yang paling dalam dan
yang paling menentukan adalah rahmat Allah SWT yang telah dianugerahkan
kepadanya, meskipun Hamzah tidak mengetahuinya, yaitu rahmat yang mendorongnya
untuk tidak membiarkan seseorang pun menyakiti lelaki yang berdakwah di jalan
Allah SWT hanya karena ia seorang yang lemah dan tidak mempunyai penolong.
Jadi, Hamzah adalah penolongnya.
Sedangkan Umar bin Khatab terkenal dengan ketangguhan sikap dan
kekerasan perilaku. Seringkali kaum Muslim mendapat siksaan darinya ketika ia
masih menganut jahiliah. Dan salah seorang yang mendapatkan siksaan ciarinya
adalah Amir bin Rabi'ah dan isterinya. Amir beserta istcrinya menetapkan untuk
berhijrah ke Habasyah. Umar bin Khatab menemuinya lalu ia mendapati isteri Amir
dan tidak mencmukan suaminya. Umar melihat wanita itu sedang bersiap-siap untuk
berhijrah lalu Umar berkata (saat itu sumber rahmat telah memancar pada
dirinya): "Apakah engkau akan pergi wahai Ummu Abdillah?" Dengan nada
jengkel, wanita itu berkata: "Benar, demi Allah kami akan keluar dan
menuju tanah Allah SWT. Engkau telah menyiksa kami dan telah memaksa kami untuk
berhijrah. Kami akan pergi sehingga Allah SWT akan memberikan kelapangan kepada
kami." Umar berkata: "Mudah-mudahan Allah SWTmenemanimu."
Wanita itu melihat tanda-tanda kelembutan dan kesedihan pada wajah
Umar. Dan ketika suaminya kembali, ia menceritakan kepadanya bahwa ia sangat
berharap kepada keislaman Umar. Lalu suaminya menjawab: "Ia tidak mungkin
masuk Islam sampai keledai Umar masuk Islam." Ia mengatkan demikian karena
ia melihat betapa bengisnya dan kejamnya Umar. Namun perasaan lembut wanita itu
lebih kuat daripada pandangan pikiran lelaki itu dan keputusannya yang terlalu
cepat kepada Umar.
Belum lama mereka berhijrah sehingga Umar masuk Islam. Orang-orang
muhajirin mengeluarkan penutup sumur rahmat dalam dirinya. Dan barangkali Umar
merasa kebingungan lalu ia menetapkan untuk membunuh Rasul saw. Dengan
menghunuskan pedangnya, ia pergi menuju Rasul saw. Kemudian ia bertemu dengan
orang-orang yang memergokinya dalam keadaan kebingungan, lalu mereka bertanya
kepadanya, hendak kemana ia akan pergi? Umar menjawab: "Aku hendak ke
Muhammad aku akan membunuhnya sehingga orang-orang Arab merasa tenteram."
Dengan nada mengejek, seseorang berkata: "Tidakkah engkau memulai dari
keluargamu sebelum engkau membunuh Muhammad." Dengan nada jengkel, Umar
berkata: "Apa yang terjadi pada keluargaku?" Lelaki itu menjawab:
"Saudara perempuanmu dan suaminya telah masuk Islam, sedangkan engkau
tidak mengetahuinya." Umar segera mencari saudara perempuannya dan
suaminya di mana saat itu keduanya sedang membaca Al-Qur'an.
Ketika melihat Umar, mereka menyembunyikan Al-Qur'an. Umar
bertanya: "Sepertinya aku mendengar suara bisikan dari luar." Tetapi
saudara perempuannya mengatakan: "Tidak." Kemudian suaminya ikut
campur dan Umar pun tampak marah kepadanya. Wanita itu bangkit untuk membela
suaminya lalu Umar memukulnya sehingga darah segar mengucur darinya. Darah itu
justru membangkitkan sumber rahmat dari diri Umar. Akhirnya, Umar mengambil air
wudhu agar mereka mengizinkan untuk membaca Al-Qur'an. Umar pun membacanya.
Belum lama Umar membacanya sehingga ia pergi menemui Rasul saw.
Tanpa ragu, Umar memilih untuk masuk Islam. Dan pedang yang
dibawanya itu menjadi pedang yang paling kuat yang dengannya ia mempertahankan
agama Muhammad saw. Kemudian ia mengetuk pintu untuk menemui Rasul saw di mana
saat itu beliau bersama sahabatnya. Dari celah-celah pintu, sahabat Nabi
melihat Umar bin Khatab sedang menghunuskan pedang. Kemudian sahabat itu
kembali kepada Nabi dengan membawa berita yang sangat mengejutkan ini. Ia
menduga bahwa Umar datang dengan maksud jahat.
Rasulullah saw bangkit dan memerintahkan para sahabatnya agar
membiarkan Umar. Rasulullah saw membukakan pintu Kemudian ia menyambut Umar bin
Khatab dan bertanya kepadanya apa yang diinginkannya. Umar menjawab bahwa ia
datang untuk mengucapkan dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan-Nya.
Orang-orang Quraisy mulai merasa bahaya akan mereka temui setelah
keislaman Umar dan Hamzah. Para tokoh-tokoh Mekah dan orang-orang yang
dihormati telah masuk Islam. Sebelum Umar masuk Islam, kaum Muslim bertawaf di
Ka'bah secara rahasia dan dengan malu-malu, namun ketika Umar masuk Islam ia
menampakkan keislamannya dan ia menantang orang yang mencegahnya untuk
bertawaf, bahkan banyak orang-orang memberikan jalan padanya saat tawaf. Mekah
mengetahui bahwa ia menghadapi suatu dakwah yang akan dapat mengubah jazirah
Arab.
Rasa ketakutan mulai menghantui para pemuka Quraisy dan mereka
menetapkan metode baru untuk menghadapi kaum Muslim. Mereka yang sebelumnya
menggunakan metode penghinaan dan pengejekan kini mulai mencoba untuk
memblokade kaum Muslim secara ekonomi dan kemanusiaan. Kaum musyrik mengadakan
perkumpulan dan pertemuan untuk memboikot kaum Muslim. Mereka mengadakan
pertemuan itu di Ka'bah, sebagai penghormatan kepadanya. Orang-orang musyrik
menghormati Ka'bah meskipun mereka memenuhinya dengan berbagai macam patung
yang mereka sembah dalam rangka mendekatkan mereka kepada Allah. Pasal
kesepakatan itu menetapkan, hendaklah penduduk Mekah tidak menjual barang
apapun kepada kaum Muslim dan hendaklah mereka tidak menikah dengan kaum
Muslim. Dengan ketetapan yang kejam tersebut, mereka ingin menghancurkan kaum
Muslim dan membunuh perekonomian mereka. Rasulullah saw dan orang-orang yang
beriman kepadanya terpaksa berlindung di dusun Bani Hasyim. Mereka dilindungi
oleh keturunan Bani Muthalib, baik mereka orang-orang kafir maupun orang-orang
beriman kecuali musuh Allah SWT, Abu Jahal di rnana ia bersama orang-orang
Quraisy menentang kaummnya.
Kemudian Dimulailah blokade ekonomi terhadap kaum Muslim di mana
tidak ada makanan dan minuman yang datang kepada mereka, sehingga penderitaan
yang sulit kini dialami oleh sahabat-sahabat Nabi. Ketika kafllah perdagangan
datang ke Mekah dan salah seorang dari sahabat Nabi menemui mereka di pasar
untuk membeli makanan untuk keluarganya, maka Abu Lahab berdiri dan berkata
kepada para penjual, wahai para pedagang, mahalkanlah dagangan kalian terhadap
sahabat-sahabat Muhammad, sehingga mereka tidak mampu membelinya dan aku
menjamin kerugian yang kalian alami, bahkan aku akan membeli apa saja yang
ingin mereka beli dari kalian.
Mendengar hal tersebut, para pedagang pun menjual barang
dagangannya dengan harga yang tidak wajar, sehingga seorang Muslim kembali ke
rumah keluarganya tanpa membawa sedikit pun makanan. Kemudian padagang itu
pergi ke Abu Lahab dan memin-ta kepadanya agar membeli barang yang ingin dibeli
orang Muslim. Demikianlah peperangan tersebut terus terjadi sehingga kaum
Muslim merasakan penderitaan yang sangat luar biasa di mana mereka dalam keadaan
kelaparan dan kekurangan pakaian yang layak. Peperangan ekonomi ini terjadi
selama tiga tahun penuh. Saking menderitanya para sahabat sampai-sampai Sa'ad
bin Abi Waqas pernah keluar pada suatu hari untuk memenuhi hajatnya, lalu ia
mendengar suara gemerincing di bawah air kencing. Tiba-tiba ia menemukan
sepotong kulit unta yang kering lalu ia mengambilnya dan membasuhnya. Kemudian
ia membakarnya dan mencucinya dengan air sampai bersih lalu ia menjadikannya
makanan selama tiga hari.
Selama tiga tahun tersebut wahyu tetap turun kepada Rasul saw dan
seakan-akan ia melupakan bencana yang keras ini. Allah SWT ingin mendidik para
pengikut agama-Nya agar mereka mampu memikul segala penderitaan.
Meskipun kaum Muslim mendapatkan berbagai ujian selama tiga tahun
tersebut, tetapi aktifitas dakwah Islam tidak pernah padam dan tidak pernah
surut. Kaum Muslim bertemu orang-orang selain mereka pada musim haji lalu
mereka berbicara kepada orang-orang tersebut tentang keberadaan Allah SWT dan
mereka meminta kepada para pengujung itu untuk mencari rahmat Allah SWT dan
ampunan-Nya. Keteguhan kaum Muslim dan keberanian mereka telah memikat banyak
orang sehingga mereka masuk Islam. Bahkan orang-orang musyrik mulai bertanya
kepada diri mereka dan mempertanyakan kebenaran apa tindakan mereka. Lalu
kecemburuan kepada kebenaran mulai menyerang hati.
Kemudian Selesailah peperangan ekonomi terhadap kaum Muslim di
mana kaum musyrik melihat itu tidak berdampak terlalu besar bagi kaum Muslim.
Meskipun kaum Muslim menerima penderitaan dan kerugian namun jumlah mereka
tetap bertambah dan keimanan mereka semakin kuat serta kepercaayaan kepada
Allah SWT pun semakin meningkat. Lalu datanglah tahun kesedihan kepada Nabi.
Belum lama Rasulullah saw merasakan dan menghirup udara segar setelah tiga tahun
masa blokade dan beliau ingin memulai kehidupan barunya dan dakwahnya, sehingga
beliau dikagetkan dengan kematian isteri tercintanya Ummul Mukminin Khadijah
dan kematian pamannya yang tercita Abu Thalib.
Abu Thalib adalah seorang yang besar yang memiliki kewibawaan di
tengah-tengah kaum Quraisy, sehingga usaha kaum Quraisy untuk menyakiti Nabi
menjadi terbatas ketika mereka berhadapan dengan "tembok
perlindungan" Abu Thalib kepada kemenakannya. Sedangkan Khadijah merupakan
tempat perlindungan dan kedamaian bagi Nabi. Ia adalah hati yang sangat
penyayang yang banyak menghibur Nabi saat beliau berdakwah. Khadiijah adalah
sebaik-baik teman dan sebaik-baik isteri. Begitu juga, bagi Khadijah Rasulullah
saw adalah sebaik-baik teman, sebaik-baik suami, sebaik-baik pembantu, dan
sebaik-baik sahabat.
Rasulullah saw sangat sedih ketika kehilangan dua orang yang
sangat berpengaruh dalam kehidupannya itu, bahkan para sejarawan menamakan
tahun tersebut dengan tahun kesedihan. Sebaliknya, orangorang musyrik justru bergembira
dengan kesedihan Rasul saw itu. Mereka menganggap bahwa Rasul saw tidak lagi
memiliki seorang tua yang mampu melindunginya dan tidak lagi memiliki seorang
isteri yang dapat meringankan beban penderitaannya.
Setelah kematian dua orang tcrscbut, penindasan dan penganiayaan
kaum Quraisy kepada Nabi semakin meningkat dan orang-orang musyrik memilih
waktu yang tepat untuk menyembelih binatang di Mekah lalu mereka membawa
usus-usus atau jeroan dari unta dan mereka melemparkannya dan meletakkannya di
atas punggung Nabi saat beliau sujud. Kemudian berita memilukan itu sampai
kepada putri tercintanya, Fatimah az-Zahrah, sehingga ia segera datang dan
berusaha membela ayahnya dan membersihkan kotoran yang ada di pundak ayahnya
itu. Demikianlah kemuliaan Siti Fatimah az-Zahra yang senantiasa melindungi
ayahnya.
Betapa sedihnya Nabi saw ketika beliau melihat bahwa keadaan
beliau sampai pada batas di mana anak perempuan beliau pun turut membelanya.
Namun beliau tetap bersabar dalam berdakwah di jalan Allah SWT. Pada suatu hari
beliau berpikir untuk pergi ke Tha'if di mana di sana dihuni oleh kaum Tha'if.
Barangkali beliau berkata dalam dirinya: jika di sini aku mendapati hati-hati
yang telah membeku dan telah berhubungan mesra dengan kebatilan ialu mengapa
aku tidak pergi ke Tsaqif. Barangkali Allah SWT akan membukakan pintu dakwah di
sana. Mungkin di sana masih terdapat hati yang akan terbuka guna menerima
kebenaran.
Saat itu kaum musyrik memberlakukan blokade umum atas dakwah yang
dipimpin oleh Rasulullah saw sehingga tekanan kepada beliau semakin meningkat
sampai pada batas di mana pergerakan dakwah tidak dapat bergerak satu langkah
pun. Keadaan demikian ini sangat menggelisahkan Nabi. Beliau ingin untuk
melepaskan belenggu yang mengikatnya. Lalu beliau memutuskan untuk pergi ke
Tha'if. Jarak antara Mekah dan Tha'if lebih dari tujuh puluh kilo meter. Nabi
menempuh perjalanan itu dengan jalan kaki, pergi dan pulang.
Kita tidak mengetahui pemikiran-pemikiran apa yang terlintas dalam
benak Rasulullah saw saat beliau pergi dan menemui kabilah yang kafir kepada
Allah SWT ini. Yang kita ketahui adalah bahwa beliau pergi ke sana dengan
membawa rahmat dunia dan akhirat. Tetapi mereka justru membalas sikap baik
Rasulullah saw itu dengan tindakan jahiliyah. Mereka bersikap buruk kepada
beliau dan mendustakannya. Rasulullah saw tinggal di sana selama sepuluh hari.
Beliau mondar-mandir dari satu rumah ke rumah yang lain dan dari pasar ke pasar
yang lain dan dari satu jalan ke jalan yang lain. Tak seorang pun yang
mendengar kedatangan beliau di sana; tak seorang pun yang mau mendengar dakwah
beliau dan tak seorang pun yang mau beriman kepada ajakannya. Bahkan masyarakat
di situ semakin menjadijadi dalam menyerang Rasulullah saw dan mengejeknya.
Pada hari yang terakhir yang mana beliau telah menetapkan untuk
kembali ke Mekah. Rasulullah saw berdiri di Tha'if dan mengharap kepada
masyarakat di sana agar merahasiakan kunjungannya kepada mereka sehingga
pencelaan yang beliau terima di Mekah terhadap agama yang dibawanya tidak
semakin menjadi-jadi. Tetapi penduduk Tha'if menolak permohonan yang terakhir
ini. Mereka tidak cukup melakukan hal itu tetapi mereka melakukan perbuatan
terburuk yang dilakukan manusia terhadap sesama manusia. Mereka menahan
keluarga orang-orang yang bodoh dan orang-orang biasa untuk membentuk dua
barisan dan memerintahkan mereka untuk melempari Rasulullah saw dengan batu dan
mengejeknya. Nabi keluar dari Tha'if dan beliau mendapatkan lemparan
bertubi-tubi dari keluarga Tha'if bahkan beliau merasakan kepedihan saat
kakinya terkena lemparan batu itu sehingga darah suci mengucur dari kaki
beliau.
Kemudian Rasulullah saw diusir sehingga beliau sampai di suatu
kebun yang dimiliki oleh dua orang dari orang-orang kaya Tha'if. Di sana beliau
duduk di bawah naungan pohon anggur. Dua orang pemilik kebun itu merasa kasihan
melihat keadaan orang yang terusir dan terluka itu. Mereka membawa kepadanya
setangkai anggur dengan seorang pembantu. Pembantu mereka adalah seorang
Nasrani yang bernama Adas. Si pembantu meletakkan setangkai anggur itu depan
Rasul saw lalu beliau mengulurkan tangannya kepadanya sambil berkata:
"Bismillahirahmanirrahim (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang). Adas berkata kepada Nabi, perkataan ini tidak begitu dikenal oleh
penduduk negeri ini. Nabi berkata: "Anda dari daerah mana?" Adas
menjawab: "Aku adalah seorang Nasrani dari Nainawa." Nabi berkata:
"Apakah engkau dari desa lelaki saleh Yunus bin Mata?"
"Bagaimana engkau tahu tentang Yunus?, sambung lelaki itu. Nabi berkata:
"Itu adalah saudaraku. Ia adalah seorang Nabi aku pun seorang Nabi."
Mendengar jawaban Rasul saw, Adas segera merobohkan tubuhnya di
depan kedua kaki Rasul saw lalu ia menciuminya sambil menangis. Akhirnya,
pembantu Nasrani itu masuk Islam sehingga ia menambah barisan kaum Muslim. Ia
adalah seorang yang menjadi Muslim ketika Rasulullah saw berhijrah ke Tha'if.
Inilah harga yang harus dibayar Rasulullah saw sclania dua minggu saat beliau
berada di Tha'if, dan kemudian bcliau terkena cobaan dengan mengucurnya darah
dari kaki beliau akibat lemparan batu penghuni Tha'if.
Kemudian Rasulullah saw kcmbali ke Mekah beliau kembali dalam
keadaan ditolak oleh pcnduduk Tha'if dan kini beliau kembali menerima penolakan
itu di Mekah. Meskipun demikian, beliau merasakan kesedihan yang mendalam
melihat sikap kaumnya. Namun ketika kebencian semakin deras mengalir kepada
beliau, hati beliau justru semakin bersemangat dan semakin dipenuhi dengan
rahmat kemudian datanglah kepada Nabi masa di mana tampak di dalamnya Islam
asing, dan tampak di dalamnya Nabi seorang diri, tanpa penolong.
Pada saat demikian ini ketika manusia mulai meninggalkan
Rasulullah saw lalu langit turut campur dan terjadilah peristiwa besar dan
mukjizat terbesar pada diri Nabi, yaitu Isra' dan Mi'raj. Ia adalah mukjizat yang
tidak berhubungan dengan dakwah Islam; ia tidak datang untuk memperkuat dakwah
ini atau menetapkannya tetapi ia datang semata-mata untuk memperkuat keteguhan
Nabi dan sebagai penghormatan kepadanya. Seakan-akan Allah SWT ingin berkata
kepada Nabi, jika saja penduduk bumi tidak memujimu, maka penduduk langit
mengenal kedudukanmu dan memberikan pujian yang layak kepadamu dan jika manusia
menolak dakwahmu dan menolak keberadaanmu, maka sesungguhnya Allah SWT
memilihmu dan memuliakanmu.
Untuk melihat tanda-tanda kebesaran-Nya, munculnya mukjizat Isra'
dan Mi'raj dalam sejarah para nabi sebagai mukjizat satu-satunya yang tiada
tandingannya dibandingkan dengan kisah nabi yang lain. Kita mengetahui bahwa di
deretan para nabi ada nabi-nabi yang dinamakan oleh Allah SWT sebagai para
kekasih-Nya dan sebagai para pendamping-Nya, seperti Nabi Ibrahim. Kita juga
melihat bahwa di antara para nabi ada seseorang yang diajak bicara oleh Allah
SWT tanpa perantara, seperti Nabi Musa. Kita juga melihat di antara para nabi ada
yang didukung oleh Allah SWT dengan ruhul kudus, seperti Nabi
Isa. Tetapi untuk pertama kalinya kita berada di hadapan seorang nabi yang
diajak dan dipanggil oleh Allah SWT untuk menuju ke sisi-Nya.
Beliau naik bersama Jibril dengan
jasadnya dan ruhaninya sehingga Jibril berdiri di suatu tempat dan Nabi maju
sendirian. Itu adalah tingkat dari tingkat kehormatan di mana pena terasa keluh
untuk mengungkapkannya dan sejarawan tidak dapat menulis apa yang terjadi saat
itu. Kita telah melihat dalam kisah para nabi seorang nabi yang meminta kepada
Tuhannya agar memperlihatkan kepadanya bagaimana Dia menghidupkan orang-orang
yang mati. Allah SWT bertanya kepadanya, apakah ia belum beriman akan hal itu?
Ibrahim menjawab: Bahwa ia beriman tetapi ia ingin menenangkan hatinya.
Kita juga melihat dalam kisah para nabi seorang nabi yang cintanya
kepada Allah SWT memancar dalam kalbunya sehingga ia meminta:
"Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku
dapat melihat kepada Engkau". (QS. al-A'raf: 143)
Namun Allah SWT menjawab kepada Musa tentang kemustahilan melihat
Allah SWT atas manusia. Nabi Musa memahami bahwa makhluk manapun tidak akan
mampu menahan beban penampakan dari Zat sang Pencipta.
Adapun Muhammad bin Abdillah ia tidak bertanya kepada Tuhannya dan
meminta kepadanya untuk diberi mukjizat atau kejadian yang luar biasa; ia tidak
meminta kepada Tuhannya agar dapat melihat Zat-Nya dan ia tidak berusaha
mencari ketenangan dalam hatinya. Cintanya kepada Allah SWT termasuk bentuk
cinta yang sulit untuk dipahami atau diselami kedalamannya oleh para tokoh
pecinta dan cintanya tersebut bukan termasuk bentuk yang menimbulkan berbagai
pertanyaan. Cinta beliau melampaui tingkat permintaan menuju ketingkat
penyerahan dan kepuasan atau ridha. Segala sesuatu yang menggelisahkan Nabi
adalah ridha Allah SWT.
Rasulullah saw berkata saat beliau dalam keadaan ditolak dan
diusir dan terluka akibat perbuatan kaum Tha'if: "Jika Engkau tidak murka
kepadaku, maka aku tidak peduli dengan mereka."
Lihatlah tingkat cinta yang tinggi itu: bagaimana tingkat tersebut
menyebabkan beliau merasa rendah diri sehingga beliau berkata, "jika
Engkau tidak murka kepadaku ..." Seakan-akan beliau tidak menginginkan
selain ridha Allah SWT dan yang beliau khawatirkan adalah kemarahan Allah SWT.
Sungguh adab yang diterapkan Rasulullah saw kepada Tuhannya adalah
adab yang paling layak dan paling tinggi yang sesuai dengan kedudukan beliau
sebagai orang Muslim yang paling sempurna.
Demikianlah mukjizat Isra' dan Mi'raj. Mukjizatyang tujuannya adalah
menghormati kepribadian Rasulullah saw; mukjizat yang membangkitkan peranan
akal dan hati secara bersama. Para nabi tanpa terkecuali didukung oleh bcrbagai
macam mukjizat yang terjadi di muka bumi bahkan para nabi yang diangkat ke
langit seperti Nabi Idris dan Nabi Isa, maka pengangkatan mereka sebagai bentuk
menyelamatkan mereka dari usaha pembunuhan atau penyaliban. Mukjizat mereka
saat mereka diangkat ke langit adalah bentuk akhir dari aktifitas mereka di
muka bumi.
Ini adalah kali pertama ketika kita mendapati suatu mukjizat yang
tempat utamanya di langit; suatu mukjizat yang terwujud bersama seorang Nabi
yang diangkat ke langit dengan jasadnya dan ruhaninya saat beliau masih hidup.
Di sana Allah SWT memperlihatkan kepadanya tanda-tanda kekuasaan-Nya. Kemudian
beliau kembali ke bumi di mana beliau akan mendapatkan berbagai macam tantangan
dan cobaan yang biasa diterima oleh penduduk bumi. Muhammad bin Abdillah adalah
manusia yang pertama melewati planet bumi dan beliau menembus bulan dan
matahari dan bintang-bintang. Kita menyaksikan di zaman kita manusia pertama
atau astronot pertama yang mampu menembus ruang angkasa. Ruang angkasa itu baru
dapat ditembus oleh manusia setelah empat belas abad dari turunnya risalah
Muhammad saw, namun sejak empat belas abad yang lalu Nabi Islam telah dapat
menembus ruang angkasa itu, bahkan beliau mencapai Sidratul Muntaha dan puncak
al-Muntaha.
Beliau sampai pada batas yang di situlah alam makhluk diakhiri dan
beliau menembus alam gaib. Bukankah surga bagian dari alam gaib? Beliau sampai
di surga. Allah SWT menamakannya dengan Jannatul Ma'wah. Beliau sampai pada
batas terputusnya ilmu manusia dan tiada yang mengetahui hakikat ilmu tersebut
kecuali Allah SWT. Mukjizat Isra' bukanlah mukjizat Mi'raj, meskipun kedua-duanya
terjadi di satu malam. Peristiwa Isra' dan Mi'raj dikutip oleh dua surah yang
berbeda dalam Al-Qur'an al-Karim. Allah SWT berfirman tentang mukjizat Isra':
"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada
suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. al-Isra':
1)
Sedangkan berkaitan dengan mukjizat Mi'raj, Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam
rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di
dekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil
Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak
berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauiya. Sesungguhnya
dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling
besar." (QS. an-Najm: 13-18)
Pada malam Isra' dan Mi'raj, Nabi Muhammad berkeliling di sekitar
Ka'bah dan berdoa kepada Allah SWT. Beliau dalam keadaan pucat wajahnya dan
kedua air matanya mengucur; beliau tidak bertawaf bersama seseorang pun; beliau
tawaf sendirian lalu orang-orang kafir dan orang-orang musyrik memandang beliau
dengan pandangan kebencian saat beliau bertawaf dan berdoa. Allah SWT melihat
hamba-Nya yang khusuk itu lalu Allah SWT menurunkan perintah-Nya kepada Ruhul
Amin yaitu malaikat Jibril agar menemani hamba-Nya dari Masjidil Haram
menuju Masjidil Aqsha Kemudian membawanya naik ke langit agar dia dapat melihat
tanda-tanda kebesaran Tuhannya.
Di suatu rumah yang mulia dan sederhana dari rumah-rumah yang ada
di Mekah, Nabi saw sedang tidur dan datanglah waktu pertengahan malam. Jibril
turun dan memasuki rumah sang Rasul saw. Jibril as berdiri di sisi kepala sang
Nabi dan ia melihat kepadanya dengan pandangan cinta. Pandangan Jibril itu
membangunkan Rasul saw kemudian beliau membuka kedua matanya dan bangkit dari
tempat tidurnya.
Jibril berkata kepada Nabi saw, salam kepadamu wahai Nabi yang
mulia. Allah SWT ingin agar engkau melihat sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya
di alam. Kemudian Jibril berjalan bersama Nabi saw. Mereka keluar dari rumah
dan beliau menyaksikan Buraq yaitu makhluk yang menyerupai burung dan mempunyai
sayap seperti burung garuda; makhluk yang terbuat dari kilat. Karena itu, ia
dinamakan dengan Buraq. Kilat adalah listrik dan listrik adalah cahaya. Cahaya
adalah makhluk yang tercepat yang kita kenal di bumi. Kilauan cahaya pada satu
detik saja mencapai 186 ribu mil. Kita tidak akan terlibat terlalu jauh tentang
kendaraan luar angkasa yang digunakan dalam perjalanan itu; kita tidak akan
bertanya bagaimana Nabi saw menembus alam ruang angkasa tanpa ada latihan
sebelumnya dan berapa lama waktu yang beliau gunakan untuk pulang pergi; kami
juga tidak akan bertanya tentang kecepatan Buraq; kami tidak heran dengan usaha
penembusan luar angkasa ini; kita tidak akan bertanya tentang semua itu karena
kita mempunyai satu jawaban dari semuanya: Allah SWT berkehendak agar hal itu
terjadi dan untuk itu Allah SWT mengatakan kun jadilah, maka
jadilah.
Para ulama beselisih pendapat tentang apakah Isra' dan Mi'raj
terjadi dengan ruh saja atau dengan ruhani dan jasad sekaligus. Ahli hakikat
mengatakan bahwa itu terjadi dengan ruh dan jasad. Tentu perselisihan itu
berakibat pada perselisihan akal dan terjerumus dalam perangkap kaifa (bagaimana)
dan bertanya tentang kekuasaan Allah SWT dan usaha untuk menundukkan masalah
ini terhadap sebab-sebab yang biasa atau hukum-hukum kita yang alami atau
logika kemanusiaan. Allah Maha Suci dan Maha Tinggi dari semua itu. Apakah
seseorang akan bertanya, bagaimana Rasulullah saw naik berserta ruh dan
fisiknya ke puncak segala puncak di langit kemudian beliau kembali sebelum
tempat tidurnya dingin? Mukjizat apa yang terjadi di sini yang melebihi
mukjizat berubahnya air mani menjadi manusia dan berubahnya benih menjadi pohon
atau mukjizat air yang menghidupkan tanah, atau ia mampu memuaskan kehausan si
dahaga atau mukjizat cinta yang mengikat dua hati yang belum pernah mengenal?
Sementara itu, Buraq menundukkan badannya kepada Nabi saw kemudian
Nabi saw menungganginya bersama Jibril dan Buraq pergi bagaikan anak panah dari
cahaya di atas gunung Mekah dan pasir-pasir menuju ke utara. Jibril
mengisyaratkan agar menuju arah gunung Saina' lalu Buraq itu berhenti. Jibril
berkata di tempat yang diberkati ini, Allah SWT berdialog dengan Musa as.
Kemudian Buraq kembali pergi ke Baitul Maqdis, Nabi saw turun dari pesawat ini
yang berjalan lebih cepat dari cahaya dan jutaan kali lebih cepat darinya dan
ia tidak berubah dari cahaya.
Nabi berjalan bersama Jibril dan memasuki Baitul Maqdis. Beliau
memasuki masjid dan beliau mendapati semua nabi sedang menunggunya di sana.
Allah SWT membangkitkan gambar para nabi-Nya dari kematian dan mengumpulkan
mereka di Mesjid Aqsha. Para malaikat memberinya suatu bejana yang di dalamnya
terdapat susu dan bejana yang lain yang di dalamnya terdapat khamer. Lalu
beliau memilih susu dan meminumnya. Dikatakan pada beliau, sesungguhnya engkau
telah memilih fltrah dan umatmu akan memilih fitrah.
Para nabi mengitari Rasul saw dan datanglah waktu salat. Para nabi
bertanya di antara sesama mereka, siapa di antara mereka yang menjadi imam
salat, apakah itu Adam, Nuh, Ibrahim, Musa atau Isa? Jibril berkata kepada
Muhammad saw, sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu untuk salat bersama para
nabi. Rasulullah saw berdiri dan salat bersama para nabi. Mereka semua adalah
orang-orang Muslim dan beliau adalah orang-orang Muslim yang pertama. Secara
logis bahwa beliau layak menjadi imam dari para nabi sebagaimana kitabnya
dijadikan kitab yang terbaik daripada kitab-kitab yang mendahuluinya. Beliau
membacakan Al-Qur'an kepada mereka dan beliau menangis saat membacanya. Kekhusukan
beliau saat membacanya membuat para nabi pun menangis. Dan ketika para nabi
sujud di belakang imam mereka, pohon-pohon dan bintang-bintang pun turut
bersujud.
Selesailah waktu salat dan para nabi membubarkan diri. Setiap nabi
kembali ke langit yang mereka tinggal di dalamnya. Nabi keluar dari masjid
bersama Jibril dan mereka kembali menunggang Buraq seperti panah dari cahaya.
Buraq semakin meninggi dan ia melewati langit pertama lalu beliau menyaksikan
Nabi Adam. Kemudian ada panggilan dari Allah SWT: "Hendaklah hamba-Ku
semakin meninggi dan menjauh." Kemudian hamba Allah SWT Muhammad bin
Abdillah semakin terbang menjauh ia melampaui langit demi langit. Beliau
melampaui tempat materi dan mulai menjangkau tempat ruhani dan melewatinya.
Beliau bersiap berdiri di haribaan Ilahi; beliau semakin tinggi dan jauh di
tingkat dan dipuncak ruhani dalam kecepatan yang tidak kurang dari kecepatan
kilat.
Beliau melampaui kedudukan Nabi Adam di langit pertama dan
melampaui kedudukan Nabi Yahya dan Nabi Isa di langit kedua. Lalu Tuhan pemilik
kemuliaan memanggil, "hendaklah hamba-Ku lebih tinggi lagi." Kemudian
hamba Allah SWT dan Nabi-Nya yang mulia mencapai tingkat yang lebih tinggi
lagi. Beliau melampaui langit yang ketiga, keempat, kelima, keenam, dan ketujuh.
Beliau melampaui alam materi semuanya dan melampaui alam ruhani. Akhirnya,
beliau sampai ke Sidratul Muntaha. Beliau sampai di tempat yang suci yang Allah
SWT menamakannya dengan sebutan Sidratul Muntaha dan di sana Nabi melihat dan
menyaksikan Jannatul Ma'wa. Beliau menyaksikan yang kita tidak mampu
mengetahuinya dan memahaminya bahkan membayangkannya:
"(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi
oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari
yang dilihatnya itu dan tidnk (pula) melampauinya." (QS. an-Najm:
16-17)
Sungguh terjadilah pada tempat itu apa yang terjadi dengannya.
Dengan kebesaran yang misteri ini, Allah SWT memberitahu kita bahwa terjadilah
hal penting di sana meskipun hakikat hal tersebut tersembunyi dari kita.
Sesuatu yang Allah SWT sembunyikan dari kita tersebut disaksikan oleh Rasul
saw. Itu adalah mukjizat yang khusus baginya; itu adalah tingkat cinta yang
tidak tersingkap tabirnya karena ketinggiannya yang tidak mampu ditangkap oleh
pengetahuan manusia biasa.
Kemudian Tuhan pemilik surga dan neraka memanggil, "hendaklah
hamba-Ku lebih tinggi lagi." Hamba Allah SWT Muhammad bin Abdillah menaik
ke tempat yang tinggi. Kali ini beliau melihat Jibril yang berada di
belakangnya lalu beliau mendapatinya dalam keadaan bertasbih kepada Allah SWT.
Jibril tidak berada dalam wujud manusia seperti yang Nabi saksikan ketika
berada di dunia. Jibril as kembali ke dalam wujud malaikatnya. Nabi melihat
Jibril dan ia merupakan tanda kebesaran Allah SWT yang Allah SWT janjikan untuk
diperlihatkan kepadanya:
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu
dan tidak (pula) melampauinya." (QS. an-Najm: 17)
Pemandangan itu terjadi dengan hati dan mata serta panca indera
yang dikenal dan yang tidak dikenal. Pemandangan itu benar-benar jelas. Di sana
bukan mimpi, bukan khayalan, dan bukan gambaran. Rasul saw melihat semua itu
dengan jasadnya dan ruhaninya:
"Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang
dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya." (QS. an-Najm: 17)
Kemudian Rasulullah saw menuju ke tempat yang tinggi dan lebih
tinggi lagi. Beliau semakin naik ke tingkat yang makin tinggi sampai beliau
berdiri di hadapan Tuhan Pencipta langit dan bumi dan Penebar kasih sayang di
dunia dan di akhirat. Orang Muslim yang paling sempurna itu bersujud di hadapan
Tuhan Sang Pencipta sambil berkata: "Sungguh penghormatan dan keberkatan
serta shalawat yang baik tertuju hanya kepada Allah SWT." Allah SWT
membalasnya: "Salam kepadamu wahai Nabi dan rahmat Allah SWT serta berkat-Nya
juga tercurah kepadamu." Para malaikat pun ketika mendengar ucapan itu
bertasbih dan mengatakan: "Salam kepada kita dan kepada hamba-hamba Allah
SWT yang saleh."
Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan permulaan tahiyat (penghormatan)
yang diucapkan orang-orang Muslim saat mereka melaksanakan salat pada setiap
hari. Salat telah diwajibkan atas kaum Muslim pada kesempatan yang besar ini.
Hal populer di kalangan umumnya kaum Muslim adalah, bahwa Allah SWT mewajibkan
atas Nabi mula-mula lima puluh salat sehari. Kemudian Nabi turun dari langit
lalu beliau menemui Nabi Musa. Selanjutnya Nabi Musa bertanya kepadanya tentang
jumlah salat yang diwajibkan Allah SWT kepada umatnya. Nabi menceritakan bahwa
Allah SWT telah menentukan lima puluh kali salat. Nabi Musa berkata sungguh
umatmu tidak akan kuat untuk melakukan salat itu, maka kembalilah kepada
Tuhanmu dan mohonlah kepadanya agar Dia meringankan bagi umatmu. Lalu Nabi
kembali kepada Tuhan-Nya sehingga Allah SWT meringankan salat hingga sepuluh
kali. Setelah itu, Nabi kembali bertemu dengan Nabi Musa. Lagi-lagi Nabi Musa
memperingatkannya. Kemudian Nabi kembali lagi kepada Allah SWT sehingga sampai
diturunkan salat dari lima puluh kali menjadi lima kali sehari. Namun salat
yang lima kali itu pahalanya sama dengan salat yang lima puluh kali.
Menurut hemat kami, kisah tersebut tidak memiliki sandaran dalam
kitab-kitab ulama yang benar-benar teliti. Kami kira, kisah itu tersebut
merupakan rekayasa orang-orang Yahudi di mana mereka masuk Islam dan mereka
memenuhi kitab-kitab dengan dongeng-dongeng khurafat dan mereka menisbatkannya
kepada Rasul. Prasangka tersebut didukung oleh pemilihan Musa sebagai seorang
Nabi yang mengusulkan kepada Rasul saw agar meminta keringanan atas umatnya
sehingga terkesan Nabi Musa menjadi seseorang yang lebih mengetahui sesuatu
yang tidak diketahui oleh Nabi Muhammad. Kami sendiri cenderung untuk menolak
kisah tersebut dengan keyakinan bahwa pertemuan Nabi dengan Allah SWT
menimbulkan rasa kebesaran dan kewibawaan yang luar biasa sehingga ketika Nabi
telah pergi, maka sangat berat baginya untuk kembali lagi.
Nabi menyaksikan dan melihat hal-hal yang tidak mampu diungkap
oleh lisan dan tidak mampu ditulis dengan pena. Beliau berada di suatu keadaan
yang tidak dapat dipahami oleh manusia biasa. Al-Qur'an al-Karim sengaja tidak
mcnyebutkan apa saja yang dilihat oleh Nabi karena itu mernpakan rahasia antara
Nabi dan Tuhannya dan mukjizat yang khusus yang diperuntukkan baginya sebagai
bentuk penghormatan kcpadanya. Jadi Al-Qur'an sengaja tidak menyebutkan itu
semua untuk menegaskan bahwa beliau melihat tanda dari tanda-tanda kebesaran
Tuhannya.
Kami tidak mengetahui apa yang dilihat oleh Nabi. Hal yang dapat
kami bayangkan adalah, bahwa Nabi bersujud dengan khusuk di hadapan Tuhannya
dan beliau menangis karena gembira. Kesedihan hatinya telah hilang selamanya.
Setelah Nabi melihat rahasia dan setelah penghormatan yang besar ini, beliau
kembali menemani Buraq dan pergi bersama Jibril untuk kembali ke bumi. Beliau
kembali dan mendapati tempat tidurnya masih dingin. Bagaimana beliau pergi dan
kembali sementara tempat tidumya belum dingin? Berapa lama waktu yang
diperlukannya saat melakukan perjalanan tersebut? Hanya Allah SWT semata yang
mengetahui. Yang kita ketahui adalah, bahwa Rasulullah saw kembali ke tempat
tidurnya setelah Isra' dan Mi'raj dan hatinya dipenuhi dengan kegembiraan serta
dadanya dipenuhi dengan ketenangan dan kepuasan serta kefanaan dalam cinta
kepada Allah SWT.
Kemudian datanglah waktu pagi. Nabi menceritakan perjalanan dan
pengalaman tersebut kepada sahabat-sahabatnya dan orang-orang Musyrik sehingga
berimanlah orang-orang yang beriman padanya dan mendustakan kepadanya
orang-orang yang mendustakannya. Namun beliau tidak peduli dengan semua itu.
Nabi terus melangsungkan perjuangannya dengan penuh kesabaran.
Akhirnya, datanglah suatu masa di mana Nabi saw mengetahui bahwa
dakwah Islam di Mekah telah mengalami penekanan yang luar biasa sehingga
keadaan sangat tidak mendukung bagi kaum Muslim. Rasulullah saw bergerak dengan
dakwahnya. Lalu Allah SWT mewahyukan kepadanya agar ia berhijrah. Kemudian
mulAllah Nabi berhijrah di jalan Allah SWT setelah tiga belas tahun beliau di
Mekah. Islam ingin membangun negaranya dan ingin menghilangkan pengepungan dan
serangan kaum musyrik. Mula-mula terjadilah perubahan sedikit dalam keadaan
kaum Muslim.
Rasulullah saw keluar dalam musim haji untuk menunjukkan dirinya
pada kabilah-kabilah Arab sebagaimana yang beliau lakukan pada setiap musim.
Beliau berada di tempat yang bernama 'Aqabah, lalu beliau bertemu dengan jamaah
dari Khazraj. Rasulullah saw berkata kepada mereka, "siapa kalian?"
Mereka menjawab: "Kami berasal dari kelompok Khazraj." Beliau
berkata. "apakah kalian termasuk pembantu kaum Yahudi?" Mereka
menjawab, "benar." Beliau berkata, "maukah kalian duduk bersama
aku karena aku ingin sedikit berbicara dengan kalian." Mereka menjawab:
"Boleh." Kemudian mereka duduk bersama Nabi lalu beliau mengajak
mereka untuk mengikuti agama Allah SWT.
Rasulullah saw sedikit menceritakan Islam kepada mereka dan membacakan
Al-Qur'an. Enam orang mendengarkan apa yang disampaikan oleh Nabi saw. Setelah
beliau selesai dari pembicaraannya, mereka membenarkannya dan beriman
kepadanya. Kemudian mereka menceritakan kepada Nabi saw bahwa mereka
meninggalkan kaumnya karena kaum mereka terlibat peperangan dan kebencian.
Mudah-mudahan Allah SWT mengumpulkan mereka dengan kedatangan Nabi saw yang
mulia ini. Mereka memberitahu Nabi saw bahwa mereka akan menceritakan kepada
kaumnya apa yang mereka dengar dari Nabi saw dan akan mengajak mereka untuk
memenuhi dakwah Nabi.
Keenam lelaki itu kembali ke kota Madinah yang berubah namanya
menjadi Madinah Munawarah yang sebelumnya ia bernama Yatsrib di zaman jahiliah.
Allah SWT berkehendak untuk meneranginya dengan Islam. Para lelaki itu kembali
ke Madinah dan mereka membawa Islam di hati mereka sehingga banyak orang yang
masuk Islam.
Kemudian datanglah musim haji dan keluarlah dari Madinah dua belas
orang lelaki dari orang-orang yang beriman yang di antara mereka terdapat enam
orang yang Rasulullah saw telah berdakwah kepada mereka pada musim yang dulu
dan Nabi saw menemui mereka di 'Aqabah. Kemudian Nabi melakukan baiat pada
mereka agar mereka mempertahankan keimanan dan membela dakwah kebenaran serta
kemanusiaan.
Kaum lelaki itu kembali ke Madinah disertai salah seorang yang
terpercaya dari tokoh Islam yaitu Mus'ab bin Umair di mana ia menjadi utusan
Rasulullah saw di Madinah dan ia mengajari manusia tentang agama mereka dan
membacakan kepada mereka Al-Qur'an dan menyerukan kebenaran kepada manusia
sehingga tersebarlah Islam di Madinah. Penduduk Madinah mulai bertanya-tanya,
mengapa saudara-saudara kita kaum Muslim Mekah ditindas? Mengapa Rasul saw
keluar untuk berdakwah dan menebarkan rahmat tetapi beliau justru mendapatkan
angin kebencian? Sampai kapan kita akan membiarkan Rasulullah saw teraniaya dan
terusir di Mekah?
Demikianlah, pergilah tujuh puluh orang ke Mekah, tujuh puluh
orang dari penduduk Madinah Munawarah. Mereka pergi ke 'Aqabah dalam keadaan
sendirian dan berkelompok-kelompok. Islam telah menghasilkan buah pertamanya
dalam hati mereka sehingga hati mereka dipenuhi cinta kepada Allah SWT dan
Rasul-Nya serta kaum Muslim. Penderitaan yang dialami kaum Muslim mempengaruhi
jiwa mereka dan mencegah mereka dari mendapatkan kenikmatan tidur dan nikmatnya
memakan dan nikmatnya kehidupan. Orang-orang yang baik itu datang dan berbaiat
kepada Rasul saw untuk membela beliau menolongnya dan melindunginya serta siap
untuk mati di jalannya. Mereka datang setelah hati mereka diliputi oleh Islam
dan mereka memberikan segala sesuatu untuk dakwah yang baru; mereka datang
sebagai pecinta-pecinta kebenaran.
Kitab-kitab hadis yang suci meriwayatkan apa yang terjadi pada
baiat 'Aqabah al-Kubra. Dalam kitab tersebut dikatakan bahwa Abbas Ibnu Abdul
Muthalib datang bersama Nabi dan saat itu ia masih berada dalam agama kaumnya.
Ia ingin menyelesaikan urusan anak pamannya. Ketika ia duduk dan berbicara, ia
mengatakan suatu pernyataan yang mengisyaratkan bahwa Muhammad saw mendapatkan
kemuliaan dari kaumnya dan kekuatan di negerinya tetapi ia enggan dan memilih
untuk bergabung bersama kalian wahai penduduk Madinah. Jika kalian memenuhi
janjinya dan melindunginya, maka ambillah ia, namun jika kalian khawatir jika
suatu saat nanti akan mengkhianatinya, maka mulai dari sekarang biarkanlah ia
di negerinya.
Kata-kata Abbas tersebut berasal dari fanatisme kesukuan dan
ikatan darah keluarga namun penduduk Madinah tidak begitu peduli dengan kalimat
Abbas itu karena ia bukan termasuk dari agama mereka dan ia tidak mengetahui
tingkat cinta kepada Rasul saw yang mereka capai. Abbas bin Abdul Muthalib
menunggu jawaban dari penduduk Madinah. Lalu mereka berkata kepadanya,
"Kami telah mendengar apa yang engkau katakan, maka berbicaralah ya
Rasulullah, ambilah untuk dirimu dan Tuhanmu apa saja yang engkau sukai."
Kita ingin mengamati jawaban sekelompok orang yang mukmin dari
penduduk Madinah ini sehingga Rasulullah saw berbicara. Jawaban yang dicari
oleh Abbas bin Abu Muthalib tersembunyi dalam pernyataan Nabi. Demikianlah setelah
Rasulullah saw mengucapkan kalimatnya, maka tidak keluar pemyataan apa pun.
Cukup hanya Nabi yang berbicara dan mereka hanya menaatinya. Mereka meminta
kepada beliau agar mengambil pada dirinya dan Tuhannya apa saja yang beliau
sukai; mereka merasa tidak memiliki apa-apa dan tidak memiliki keputusan. Nabi
berbicara lalu beliau membaca Al-Qur'an dan mengajak ke jalan Allah SWT.
Kemudian beliau bebicara tentang Islam dan beliau membaiat mereka agar membantu
beliau sehingga mereka pun membaiat kepadanya. Demikianlah terjadinya baiat
'Aqabah al-Kubra.
Orang-orang yang terpilih oleh Allah SWT itu mengetahui bahwa
sebentar lagi mereka akan diajak untuk mengangkat senjata: mereka diajak untuk
mendapatkan kematian di bawah naungan pedang. Mereka menenangkan Rasulullah saw
bahwa beliau akan mendapati orang-orang yang sudah terlatih dalam peperangan
karena mereka mewarisi dari kakek-kakek mereka.
Salah seorang dari tujuh puluh orang itu menyebutkan masalah yang
penting. Abul Haitsyam berkata: "sesungguhnya di antara orang-orang
Madinah dan Yahudi terdapat suatu tali ikatan, maka mereka boleh jadi akan
memutuskannya lalu, apakah sikap yang harus kita ambil jika mereka lakukan hal
itu dan memusuhi orang-orang Yahudi," kemudian Allah SWT menolong Nabi dan
memenangkan atas kaumnya, lalu ia kembali kepada mereka dan meninggalkan mereka
di bawah kasih sayang orang-orang Yahudi.
Perhatikanlah bahwa pertanyaan tersebut berkisar pada kecintaan
kepada Nabi dan keinginan agar Nabi tetap bersama mereka selama perjalanan hari
dan bulan. Masalah yang dituntut oleh Abbas bin Abdul Muthalib secara jelas
adalah masalah perlindungan mereka kepada Nabi, di mana hal tersebut tidak lagi
diperdebatkan oleh orang-orang yang terpilih dari penduduk Madinah. Namun
masalah yang mereka inginkan adalah masalah perlindungan Nabi dan keberadaan
Nabi bersama mereka di Madinah.
Nabi tersenyum dan beliau mengatakan kalimat-kalimat yang justru
menekankan bahwa ikatan akidah lebih kuat daripada ikatan darah. Beliau
berkata: "Tetapi darah adalah darah dan kehancuran adalah kehancuran. Aku
dari kalian dan kalian dariku aku akan memerangi orang-orang yang kalian
perangi dan aku akan berdamai dengan orang-orang yang kalian berdamai dengan
mereka."
Akhirnya, penduduk Madinah pergi dan kembali ke negeri mereka.
Kemudian berita tentang baiat ini sampai ketelinga orang-orang Mekah dan para
tokoh musyrik, lalu mereka justru menambah penekanan kepada Rasulullah saw dan
kaum Muslim.
Para preman Mekah berkumpul di Darul Nadwah. Mereka menetapkan
akan mengambil sesuatu keputusan penting berkaitan dengan Nabi. Salah seorang
dari mereka mengusulkan agar beliau dibelenggu dengan besi lalu dibuang di
penjara sehingga beliau mati kelaparan. Sebagian lagi mengusulkan agar beliau
dibuang dari Mekah dan diusir. Abu Jahal mengusulkan agar mereka mengambil dari
setiap keluarga dari keluarga-keluarga Quraisy seorang pemuda yang kuat,
kemudian setiap dari mereka diberi pedang yang terhunus dan hendaklah mereka
memukulkan pedang itu ke tubuh Nabi. Jika mereka berhasil membunuhnya niscaya
semua kabilah bertanggung jawab terhadap darah sang Nabi dan Bani Hasyim tidak
akan mampu menuntut dan memerangi orang Arab semuanya dan mereka akan menerima
diat sebagai tebusan dari pembunuhan itu. Demikianlah persekongkolan itu
digelar dan mereka sepakat untuk melaksanakan hal itu. Namun Al-Qur'an al-Karim
menyingkap persekongkolan yang dilakukan orang-orang kafir itu dalam
firman-Nya:
"Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir memikirkan tipu
daya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau
mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baih Pembalas
tipu daya." (QS. al-Anfal: 30)
Allah SWT mewahyukan kepada Nabi-Nya agar ia berhijrah. Lalu Nabi
mulai menyiapkan sarana-sarana untuk hijrahnya. Beliau menyembunyikan urusan
tersebut bahkan beliau tidak memberitahu sahabat yang akan menemaninya.
Rasulullah saw menyewa seorang penunjuk jalan yang pengalaman yang mengenal
padang gurun seperti mengenal garis-garis tangannya. Yang mengherankan penunjuk
jalan itu adalah seorang musyrik. Demikianlah Nabi memita bantuan kepada orang
yang ahli tanpa memperhatikan keyakinannya.
Kemudian datanglah malam pelaksanaan kejahatan itu. Rasulullah saw
memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempat tidumya di malam
tersebut. Datanglah pertengahan malam dan Rasulullah saw pun keluar dari
rumahnya. Para pemuda Mekah mengepung rumah. Mereka menghunuskan pedangnya.
Nabi menggenggam tanah lalu beliau melemparkannya ke arah kaum sehingga mereka
pun merasa kantuk sehingga Nabi saw dapat menembus kepungan mereka. Beliau
keluar dari Mekah dan berhijrah.
Dengan langkah yang diberkati ini, kaum Muslim menanggali
tahun-tahun mereka. Tahun dalam Islam adalah tahun Hijiriah, sedangkan kaum
Masehi menanggali tahun mereka dengan kelahiran Isa dan ini disebut dengan
tahun Masehi. Adapun tahun-tahun Islam, maka ia ditanggali pertama kalinya saat
Rasulullah saw keluar berhijrah di jalan Allah SWT. Hijrah Rasul bukan hanya
lari dari penindasan tetapi lari dari kebekuan; hijrah tersebut bukan keluar
dari keamanan tetapi keluar dari bahaya. Islam di Mekah hanya dapat
mempertahankan dirinya tetapi ketika ia keluar ke Madinah ia mempertahankan
dirinya ketika menyerang. Dan selama beberapa tahun masa yang dihabiskan di
Mekah, tak seorang dari kaum Muslim yang mengangkat senjata. Ketika mereka
keluar ke Madinah, mereka mulai membawa senjata dan mulai menyalakan obor
peperangan. Islam mulai membawa senjata sebagaimana luka akan sembuh dengan
syarat jika diobati. Nabi saw mengetahui bahwa Islam tidak akan menghabiskan
usianya hanya untuk melawan serangan pada dirinya; Islam ingin tersebar; Islam
ingin mendirikan negaranya yang pertama yaitu suatu negara yang belum pernah
dikenal di muka bumi negara seperti itu. Negara yang mencapai keadilan, kasih
sayang, dan idealisme yang begitu luar biasa di mana hukum Allah SWT ditegakkan
dan kehormatan manusia benar-benar dijaga.
Inilah kedalaman hijrah yang mengesankan yaitu pendirian negara
Islam setelah sebelumnya membangun individu masyarakat Muslim. Setelah Rasul saw
membangun masyarakat Muslim dan membangun masjid, maka beliau membangun suatu
negara Islam. Selanjutnya, sayap-sayap dakwah mengepak.
Kami kira pembaca tidak akan bertanya, apa gunanya pembangunan
masjid ditingkatkan sementara Islam masih mengalami penindasan di muka bumi.
Kami kira pembaca lebih pintar daripada orang yang tidak mengetahui bahwa
masjid yang dibangun Rasulullah saw di Madinah bukan tempat peristirahatan dari
keletihan, tetapi masjid merupakan pusat dari kepemimpinan pergerakan Islam dan
kepemimpinan menuju peperangan Islam.
Manusia mandi di masjid dengan cahaya Allah SWT setelah itu mereka
mandi di kancah peperangan dengan darah mereka. Pertanyaannya adalah, siapakah
di antara mereka yang akan terbunuh di jalan Allah SWT sebelum saudaranya?
Demikianlah perlombaan dalam perbaikan terjadi di antara mereka. Dengan cara
demikianlah Islam tersebar.
Sementara itu, Nabi berlindung di suatu gua; di gunung yang
bernama Tsur. Beliau masuk ke gua itu bersama sahabatnya Abu Bakar. Dan
orang-orang musyrik pergi menyusul beliau dengan membawa pedang mereka. Lalu
mereka sampai ke gunung itu. Abu Bakar berkata kepada Rasul saw dengan keadaan
gelisah, "seandainya salah seorang mereka melihat di bawah kakinya niscaya
mereka akan melihat kita."
Dengan tenang, Rasulullah saw menepis kegelisahan Abu Bakar dan
berkata: "Wahai Abu Bakar apa yang kamu kira dengan dua orang yang ada di
tempat yang sepi sementara Allah SWT menjadi ketiga di antara mereka?"
Sebelum Rasulullah saw mengakhiri kalimatnya, terdapat laba-laba yang selesai
dari menenun rumahnya di atas pintu gua. Kitab-kitab sejarah mengatakan bahwa
kaum musyrik mengikuti jejak sang Nabi sehingga mereka sampai di gunung Tsur
lalu di situlah mereka mengalami kebingungan. Mereka mendaki gunung dan mendaki
gua itu. Lalu mereka melihat di atas pintu gua itu terdapat tenunan laba-laba.
Mereka mengatakan, seandainya seseorang masuk di dalamnya niscaya tidak akan
terdapat tenunan laba-laba di atas pintunya. Beliau tinggal di gua itu selama
tiga malam.
Demikianlah keimanan tenunan laba-laba yang lembut dimenangkan
atas ketajaman pedang kaum musyrik sehingga Nabi bersama sahabatnya pun
selamat. Kini, kedua orang itu menuju Madinah. Dan Madinah pun menyambut
mereka. Ketika Rasulullah saw dan sahabatnya memasuki Madinah, mula-mula
masyarakat tidak mengenal siapa di antara mereka yang menjadi Rasul karena
saking baiknya sikap Rasul terhadap sahabatnya. Akhirnya, Nabi menerangi kota
Madinah. Beliau membangun masjid dan mendirikan negaranya serta memerangi
musuh-musuhnya dan tersebarlah Islam dan Mekah pun ditaklukkan dan Baitul Haram
disucikan.
Beliau menanamkan dalam akal dan hati suatu cahaya yang tidak akan
pernah padam. Kemudian berlangsunglah sepuluh tahun yang dilewatinya di Madinah
di mana beliau tidak menggunakannya untuk berleha-leha. Demikian juga selama
masa tiga belas tahun yang beliau lalui di Mekah, beliau pun tidak mendapatkan
istirahat yang cukup. Semua kehidupan beliau hanya untuk Allah SWT dan hanya
untuk Islam. Beban berat yang dipikul oleh punggung beliau yang mulia lebih
berat dari beban yang dipikul oleh gunung. Meskipun beliau seorang diri, tetapi
beliau mampu memikul amanat yang pernah Allah SWT tawarkan kepada langit dan
bumi serta gunung namun mereka pun enggan untuk memikulnya. karena mereka
menyadari bahwa mereka tidak akan mampu memikulnya. Lalu datanglah beliau dan
beliau pun mampu memikul amanat itu dan melaksanakannya secara sempurna. Yaitu
amanat untuk menyampaikan agama Allah SWT; amanat untuk menyucikan akal manusia
dari polusi khayalisme dan khurafatisme: amanat yang mewarnai kehidupan dengan
hanya sujud kepada Allah SWT.
Kemudian mengalirlah dalam memori Nabi saw suatu arus dari
gambar-gambar hidup: bagaimana saat beliau memasuki Madinah. Lewatlah di
hadapan akal beberapa memori dan nostalgia: bagaimana wahyu yang turun
kepadanya dengan membawa risalah di gua Hira, kemudian berubahlah pandangan dan
bertiuplah angin kebencian kepadanya, bahkan angin itu membawa pasir-pasir
tuduhan-tuduhan yang dilemparkan ke wajah suci beliau. Beliau berdiri sambil
tersenyum dan hatinya dipenuhi dengan kesedihan di hadapan gelombang gurun dan
kesendirian serta badai kesengsaraan. "Wahai manusia, tiada Tuhan selain
Allah SWT. Demikianlah kalimat yang beliau katakan. Meskipun kalimat itu tampak
sederhana namun ia mampu membangkitkan dunia. Dan bergeraklah patung-patung
yang begitu banyak yang memenuhi kehidupan dan mereka membekali dirinya dengan
kegelapan dan kebencian yang dialamatkan kepada sang Nabi. Para pembesar. para
penguasa, uang, emas, serta kebencian dan kedengkian setan yang klasik dan banyaknya
orang-orang munafik, semua ini menjadi musuh nyata sang Nabi pada saat beliau
mengatakan "tiada Tuhan selain Allah SWT." Nabi mengingat kembali
Waraqah bin Nofel ketika menceritakan kepadanya apa yang terjadi dan apa yang
dialami beliau di gua Hira. Tidakkah ia mengatakan kepadanya bahwa kaumnya akan
mengusirnya?
Hari-hari hijrah sangat panjang dan berat. Matahari sangat dekat
dengan kepala dan rasa panas sangat mencekik tenggorokan dan rasa pusing-pusing
pun semakin meningkat. Setelah hijrah, Nabi memasuki Madinah. Beliau disambut
oleh kaum Anshar dengan sambutan luar biasa. Beliau datang sendirian lalu
mereka menolongnya; beliau datang dalam keadaan takut lalu mereka
mengamankannya; beliau datang dalam keadaan lapar lalu mereka memberinya
makanan; beliau datang dalam keadaan terusir lalu mereka memberikan
perlindungan.
Bangunan Islam mulai ditancapkan di Madinah. Beliau mulai
membangun negaranya setelah beliau membangun sumber daya manusia Islam yang
tangguh. Yang pertama kali dibangunnya adalah sumber daya Islam, setelah itu
beliau baru membangun negara. Tidak ada nilai yang berarti dari satu sistem
yang hanya berdasarkan prinsip-prinsip besar yang tidak lebih dari sekadar
tinta di atas kertas. Penerapan prinsip-prinsip adalah tolok ukur final dari nilai
apa pun yang diberlakukan di dunia. Dan Islam telah berhasil menerapkan pada
masa-masa pertamanya suatu sistem yang belum pernah dikenal dalam kehidupan
manusia suatu sistem seperti itu. Yaitu sitem yang menunjukkan keadilan,
persaudaraan, dan kasih sayang yang mengagumkan. Hal yang pertama kali
dilakukan Rasulullah saw adalah membangun masjid di mana di situlah unta yang
ditungganinya berhenti. Mesjid itu tampak sederhana. Tikarnya terdiri dari
pasir-pasir dan batu-batu. Tiangnya terbuat dari batang-batang kurma.
Barangkali ketika turun hujan, maka tanahnya akan menjadi lumpur karena
mendapat siraman air hujan. Mungkin ketika angin bertiup dengan kecang, maka ia
akan mencabut sebagian dari atapnya.
Di bangunan yang sederhana ini, Rasulullah saw mendidik generasi
Islam yang tangguh yang dapat menghancurkan orang-orang yang lalim dan para
penguasa yang bejat dan mereka mampu mengembalikan kebenaran ke singgasananya
yang terusir dan terampas. Mereka mampu menyebarkan Islam di muka bumi. Mesjid
itu tampak kecil dan sederhana sekali tetapi ia dipenuhi dengan kebesaran;
masjid itu tidak menunjukkan kemewahan sama sekali. Di dalamnya Al-Qur'an
dibaca lalu orang-orang yang mendengarnya menganggap bahwa mereka benar dan
mendapatkan perintah harian untuk menerapkan dan melaksanakan apa-apa yang
mereka dengar.
Al-Qur'an dibaca di masjid bukan seperti nyanyian yang orang-orang
duduk akan merasa terpengaruh dengan keindahan nyanyian dan suara pembaca. Dan
masjid di dalam Islam bukanlah tempat satu-satunya untuk ibadah. Menurut kaum
Muslim semua burni adalah masjid namun masjid adalah simbol peradaban yang
beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, sebagaimana ia menyuarakan ilmu,
kebebasan dan persaudaraan.
Semua Nabi berbicara tentang persaudaraan dan mengajak kepadanya dengan
ribuan kata-kata. Sedangkan Rasulullah saw telah mewujudkan persaudaraan itu
secara praktis, yakni ketika karakter masyarakat saat itu mencerminkan
Al-Qur'an. Nabi mulai mempersaudarakan kaum muhajirin dan Anshar di mana
sahabat Anshar Sa'ad bin Rabi', seorang kaya dari Madinah dipersaudarakan
dengan Abdul Rahman bin 'Auf, seorang yang berhijrah dari Mekah. Sa'ad berkata
kepada Abdul Rahman: "Sesungguhnya, tanpa bermaksud sombong, aku memang
memiliki harta yang banyak daripada kamu. Aku telah membagi hartaku menjadi dua
bagian dan sebagiannya aku peruntukkan bagimu. Lalu aku mempunyai dua orang
wanita, maka lihatlah siapa di antara mereka yang mampu memikatmu sehingga aku
menceraikannya lalu engkau dapat menikahinya." Abdul Rahman bin 'Auf menjawab:
"Mudah-mudahan Allah SWT memberkatimu, keluargamu, dan hartamu. Di manakah
pasar yang engkau berdagang di dalamnya?"
Abdul Rahman bin 'Auf keluar menuju ke pasar untuk berkerja. Ia
kembali dan membawa sesuatu yang dapat dimakannya. Ia menolak dengan lembut sikap
baik Sa'ad dan kedermawanannya. Ia bersandar pada keimanan kepada Allah SWT dan
lebih memilih untuk bekerja dan membanting tulang. Tidak berlalu hari demi hari
kecuali ia tetap bekerja sehingga ia mampu untuk membekali dirinya dan
melaksanakan pernikahan.
Demikianlah masyarakat Islam terbentuk dan menampakkan
identitasnya berdasarkan cinta, kebebasan, musyawarah, dan jihad. Pekerjaan
menurut Islam bukan suatu penderitaan untuk mendapatkan roti atau potongan
daging sebagaimana dikatakan peradaban kita masa kini, tetapi pekerjaan dalam
Islam melebihi ruang lingkup materi ini dan menuju puncak yang lebih tinggi:
"Dan katakanlah: 'Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya
serta orang-orang muhmin akan melihat pekerjaanmu itu. " (QS.
at-Taubah: 105)
Kesadaran bahwa apa yang kita kerjakan akan dilihat oleh Allah SWT
menjadikan perkerjaan itu mendapat cita rasa yang lain. Yaitu suatu rasa yang
melampaui nikmatnya memakan roti dan daging. Setelah bekerja, datanglah cinta.
Cinta dalam Islam bukan hanya perasaan yang menetap dalam hati dan tidak
diwujudkan oleh suatu perbuatan; cinta dalam Islam merupakan langkah harian
yang akan mengubah bentuk kehidupan di sekitar manusia menuju yang lebih tinggi
dan mulia.
Seorang Muslim mencintai Tuhannya Pencipta alam semesta dan
mencintai Rasulullah saw dan mencintai kaum Muslim dan orang-orang yang
berdamai dengan orang-orang Muslim, meskipun keyakinan mereka berbeda
dengannya. Bahkan seorang Muslim mencintai makhluk secara keseluruhan: ia
mencintai anak-anak, hewan, bunga, pasir dan gunung bahkan benda-benda mati pun
mendapat cinta dari seorang Muslim. Seorang Muslim jika dia benar-benar seorang
Muslim akan merasakan dnta yang dialami oleh Nabi Daud terhadap alam dan
lingkungan di sekitarnya. Ini adalah perasaan sufi yang tinggi. Seorang Muslim
akan mewarisi cinta yang sebenarnya seperti yang diwarisi Nabi Isa terhadap
lingkungan yang baik yang ada di sekitarnya di mana ketika Nabi Isa melihat
tubuh anjing yang mati, maka Nabi Isa tidak melihat selain keputihan giginya.
Demikianlah cinta yang tersebar dalam kehidupan kaum Muslim di
mana cinta itu pun tertuju kepada binatang dan benda-benda mati. Cinta demikian
ini tidak akan terwujud dengan suatu keputusan dan tidak ditetapkan dengan
suatu undang-undang, tetapi cinta itu datang biasanya akibat dari kepuasaan
akal dan hati dengan adanya kepemimpinan besar yang hati cenderung kepadanya
dan akal mengambil darinya. Dan yang dimaksud dengan kepemimpinan besar
tersebut adalah keberadaan sang Nabi. Beliau adalah cermin terbesar dari tingkat
cinta yang tertinggi. Beliau adalah seorang yang paling banyak berbuat demi
Islam dan paling banyak sedikit mengharapkan balasan darinya. Meskipun beliau
seorang pemimpin namun beliau hidup dalam kesederhanaan. Beliau adalah seorang
tentara yang paling sederhana. Tempat tidurnya bersih tetapi kasar, dan
rumahnya tidak menampakkan kesibukan yang di dalamnya memasak berbagai macam
hidangan. Beliau justru menyiapkan hidangan yang sangat sederhana. Makanan
utama beliau adalah roti kering yang dicampur dengan minyak. Keinginan besar
beliau adalah tersebarnya dakwah Islam.
Kaum Muslim menyadari bahwa kesempurnaan Islam tidak akan terwujud
kecuali ketika cinta Allah SWT dan Rasul- Nya lebih didahulukan daripada cinta
diri sendiri, cinta kepada wanita, cinta kepada anak, kepentingan, kekuasaan,
kehidupan, dan apa saja yang tidak ada hubungannya dengan Allah SWT dan
Rasul-Nya. Demikianlah kaum Muslim sangat mencintai pemimpin mereka lebih dari
kehidupan pribadi mereka. Di samping pekerjaan dan cinta tersebut, didirikanlah
pemerintahan Islam yang berdasarkan kaidah-kaidah kebebasan, musyawarah dan
jihad.
Kebebasan dalam Islam bukan sekadar perhiasan yang dilekatkan
kepada tubuh Islam tetapi ia merupakan tenunan dari sel-sel yang hidup itu.
Allah SWT telah membebaskan kaum Muslim dari penyembahan selain dari-Nya.
Dengan demikian, runtuhlah semua belenggu yang hinggap di atas akal, hati, dan
masyarakat. Seorang Muslim memiliki—dalam Islam—suatu kebebasan yang diberikan
kepadanya agar ia melihat sesuatu dengan akalnya dan mendebat segala sesuatu
dengan akalnya. Dan hendaklah ia merasa puas dengan sesuatu yang dapat
menenteramkan hatinya. Kebebasan dalam Islam bukan kebebasan mutlak yang
menjurus kepada anarkisme dan diskriminasi tetapi kebebasan dalam Islam adalah
kebebasan yang bertanggung jawab.
Dalam ruang lingkup nas-nas yang pasti yang terdapat dalam
Al-Qur'an atau sunah tidak ada kebebasan di hadapan orang Muslim selain
kebebasan untuk berlomba-lomba untuk menerapkan apa yang mereka pahami. Selain
itu, seorang bebas sampai tidak terbatas, dan pintu ijtihad tetap terbuka
sampai tidak ada batasnya, karena pintu ijtihad adalah akal dan menutup pintu
ijtihad yakni menutup akal dan itu berarti akan membawa kematian baginya. Islam
tidak menerima orang-orang yang mati akalnya atau menga-lami kemunduran; Islam
pada hakikatnya memperlakukan manusia dari sisi akal dan hati.
"Adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak
mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah meng-hendaki untuk
membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang
kafir." (QS. al-Anfal: 7)
Orang-orang Islam karena kekafiran mereka dan kebutuhan mereka
serta situasi ekonomi yang memburuk, mereka ingin bertemu dengan pasukan yang
tidak bersenjata; mereka ingin bertemu dengan kafilah yang kaya, bukan pasukan
yang bersenjata; mereka membutuhkan harta untuk menyebarkan dakwah. Namun Allah
SWT menginginkan mereka dengan keadaan seperti itu agar mereka berhadapan
dengan pasukan kafir dan agar mereka mampu memutus tali kekuatan orang-orang
kafir sehingga kebenaran akan menang.
Keluarlah orang-orang Muslim dalam peperangan Badar dengan
membayangkan bahwa mereka akan mendapatkan keuntungan dan kesenangan dengan
banyak mengambil ganimah. Namun Allah SWT menginginkan terjadinya peperangan
yang berat, di mana itu berakibat pada jatuhnya tokoh-tokoh kaum kafir Mekah
sebagai korban darinya dan agar Madinah dapat menahan penderitaan dan kefakiran
yang dialaminya. Seharusnya pengikut Islam tidak membayangkan untuk mengambil
keuntungan tetapi ia justru harus memberi kepadanya.
Nabi mengetahui sebagai pemimpin pasukan ia harus mengingatkan
pasukannya bahwa mereka akan menemui kesulitan dan penderitaan, dan bukan
masalah sepele seperti yang mereka bayangkan. Nabi bermusyawarah dengan sahabat-sahabat.
Beliau berbincang-bincang dengan Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khattab, dan Miqdad
bin Amr. Lalu mereka semua sepakat untuk terus melakukan peperangan apa pun
hasilnya dan apa pun pengorbanan yang harus dilakukan.
Kemudian Rasulullah saw berkata: "Wahai para sahabat,
tunjukkanlah diri kalian." Rasulullah saw mengisyaratkan kepada kaum
Anshar. Rasulullah saw khawatir jika mereka memahami bahwa baiat yang terjadi
di antara mereka yang berisi agar mereka melindungi beliau jika beliau diserang
di Madinah saja, dan memang pasal-pasal dari baiat itu mendukung hal itu.
Tidakkah mereka mengatakan kepada beliau: "Ya Rasulullah, kami tidak akan
bertanggung jawab kepadamu sehingga engkau sampai di negeri kami. Jika engkau
sampai di negeri kami, maka kami akan bertanggung jawab untuk
melindungimu."
Mayoritas pasukan terdiri dari orang-prang Anshar, maka Rasulullah
saw ingin mengetahui keputusan mayoritas tentara sebelum dimulainya peperangan.
Kaum Anshar mengetahui bahwa Rasul saw ingin mengetahui pendapat kaum Anshar.
Oleh karena itu, Sa'ad bin 'Auf berkata: "Demi Allah, seakan-akan engkau
menginginkan kami ya Rasulullah." Nabi menjawab, "benar."
Kemudian kaum Anshar menyatakan apa yang mereka rasakan.
Mendengar pernyataan kaum Anshar itu hilanglah kekhawatiran dan
ketakutan Nabi, bahkan beliau bergembira dan wajahnya berseri-seri. Rasulullah
saw telah mendidik mereka berdasarkan Islam dan Islam tidak mengenal
pasal-pasal perjanjian namun ia justru tenggelam dalam esensinya dan
kedalamannya yang jauh. Kaum Anshar meyakinkan Nabi bahwa mereka benar-benar
beriman kepadanya, mencintainya dan akan mendengarkan apa saja yang beliau
katakan serta akan benar-benar menaati beliau.
Sa'ad bin Mu'ad berkata: "Ya Rasulullah, lakukanlah apa yang
engkau inginkan dan kami akan bersamamu. Demi Zat yang mengutusmu dengan
kebenaran, seandainya engkau membelah lautan lalu engkau menyelam di dalamnya
niscaya kami akan menyelam bersamamu dan tidak ada seseorang pun di antara kami
yang akan meninggalkanmu." Demikianlah keteguhan kaum Anshar. Kalimat
tersebut menetapkan peperangan paling penting dan paling berbahaya dalam
sejarah Islam.
Perasaan kaum Anshar dan Muhajirin dalam pasukan Rasul saw sangat
berbeda dengan perasaan Nabi Musa ketika mereka mengatakan kepadanya,
"pergilah engkau wahai Musa bersama Tuhanmu dan berperanglah, sesungguhnya
kami di sini hanya duduk-duduk saja." Namun kaum Muslim menyatakan bahwa
seandainya Rasul saw memerintahkan mereka untuk melalui lautan dengan berjalan
kaki di atas ombaknya niscaya mereka akan melakukan hal itu walaupun berakibat
pada tenggelamnya mereka dan kematian mereka dan tak seorang pun yang akan
menentang perintah Rasul saw tersebut.
Akhirnya, kaum Muslim bersiap-siap untuk memasuki kancah
peperangan lalu mereka membuat kemah-kemah yang di situ ditentukan tempat
peristirahatan dan pergerakan tentara Islam. Tempat itu ditentukan oleh Rasul
saw. Allah SWT membiarkan Rasul-Nya melakukan kesalahan dalam memilih tempat
sehingga itu akan dapat menjadi pelajaran bagi kaum Muslim dalam kaidah umum
dari kaidah-kaidah peperangan yaitu sikap pemimpin pasukan untuk mengambil
suatu kebijakan yang penting yang berdasarkan pengalaman. Kemudian datanglah
Habab bin Mundzir kepada Rasulullah saw dan bertanya kepadanya, "apakah
tempat yang kita jadikan sebagai pusat pergerakan tentara kita merupakan
pilihan dari Allah SWT dan Rasul-Nya hingga kita tidak dapat mendahuluinya dan
mengakhirinya yakni kita tidak dapat memberikan pendapat kita ataukah itu hanya
masalah yang bersifat tehnik yakni itu terserah pada pendapat kita dan sesuai
kebijakan saat perang dan ia merupakan tipu daya semata?"
Rasulullah saw berkata: "Tetapi itu adalah pendapat pribadi,
peperangan, dan tipu daya." Habab berkata: "Ya Rasulullah ini adalah
tempat yang tidak tepat." Sahabat yang sarat pengalaman ini memilih tempat
di mana pasukan Madinah dapat minum darinya sedangkan pasukan Mekah tidak dapat
mengambil darinya. Kemudian berpindahlah pasukan Muslim menuju tempat yang
telah ditentukan oleh pengalaman militer.
Sampailah pasukan Mekah di mana jumlah mereka mendekati seribu
tentara dan mereka akan berhadapan dengan tiga ratus tujuh belas pasukan
Muslim. Pasukan Quraisy berada di tempat yang jauh dari lembah.
Pasukan kafir terdiri dalam perang Badar dari pemuka-pemuka
Quraisy dan pahlawan-pahlawan mereka, sedangkan pasukan Muslim terdiri dari
keluarga-keluarga, ipar-ipar dan keluarga dekat dari pasukan kafir. Allah SWT
telah menentukan agar seorang anak bertemu dengan ayahnya, saudara bertemu
dengan sesama saudara dan sesama ipar bertemu di medan peperangan. Mereka semua
dipisahkan dengan suatu prinsip di mana mereka ditentukan oleh pedang. Akhirnya,
peperangan Badar pun terjadi dan kaidah utama adalah kaidah persaudaraan sesama
Muslim. Dan ketika pasukan Muslim berpegang teguh di atas dasar Islam, maka
pasukan kafir mulai terpecah belah namun keadaan tersebut mereka sembunyikan.
Lalu 'Utbah bin Rabi'ah berbicara di tengah-tengah pasukan Mekah
dan mengajak mereka untuk menarik kembali dari peperangan. 'Utbah memberikan
pernyataan sesuai dengan tuntutan akal sehat, "wahai orang-orang Quraisy
demi Allah, jika kalian harus memerangi Muhammad, maka kalian akan menyesal
karena kita berhadapan dengan saudara-saudara kita sendiri. Boleh jadi kita
akan membunuh anak paman kita, atau salah seorang dari kerabat kita. Mengapa
kalian tidak membiarkannya saja?"
Kalimat yang rasional tersebut cukup menggoncangkan pasukan Mekah.
Sebagian tentara merasa puas dengan pernyataan tersebut karena mereka melihat
bahwa tidak ada gunanya peperangan itu. Namun kebohohan justru memadamkan
kalimat yang rasional itu. Abu Jahal menuduh bahwa yang mengucapkan kata-kata
adalah orang yang penakut. Kemudian Abu Jahal lebih memilih pendapatnya untuk
menetapkan terus memerangi kaum Muslim.
Pemimpin pasukan kafir yaitu Abu Jahal mengetahui bahwa Muhammad
tidak pernah berbohong. Kitab-kitab sejarah menceritakan bahwa Akhnas bin
Syuraif menyendiri dalam perang Badar bersama Abu Jahal sebelum terjadinya
peperangan tersebut dan bertanya kepadanya, "wahai Abul Hakam, tidakkah
engkau melihat bahwa Muhammad pernah berbohong? Abul Hakam menjawab:
"Bagaimana mungkin ia berbohong atas Allah, sedangkan kami telah
menamainya al-Amin (orang yang dapat dipercaya)." Peperangan tersebut
bukan sebagai usaha untuk mendustakan Rasul saw tetapi itu hanya semata-mata
untuk menjaga kepentingan-kepentingan sesaat dan keadaan ekonomi. Demikianlah
orang-orang kafir mempertahankan nilai yang paling rendah yang ada di muka bumi
yang juga dipertahankan oleh binatang, sementara kaum Muslim justru
mempertahankan nilai yang paling tinggi di bumi dan di langit yang ikut serta
di dalamnya para malaikat.
Kemudian datanglah waktu malam menyelimuti dua kubu. Tiga ratus
tentara yang mukmin sudah bersiap-siap dan mendekati seribu tentara musyrik.
Orang-orang musyrik datang dengan menunggangi tunggangan mereka dan tampak
mereka memiliki persenjataan yang lengkap, sedangkan setiap orang Muslim datang
di atas satu kendaraan. Pakaian yang dipakai orang-orang musyrik tampak masih
baru dan pedang-pedang mereka tampak mengkilat serta baju besi yang mereka
gunakan sangat unggul dan kuat. Alhasil, mereka memiliki persiapan yang sangat
mengagumkan sedangkan pakaian yang dipakai orang-orang Muslim tampak sudah
usang dan pedang-pedang kuno pun mereka gunakan dan baju besi yang mereka
gunakan tampak tidak sempurna. Nabi melihat keadaan pasukannya lalu hati beliau
tampak sedih melihat pasukan tersebut. Beliau berdoa kepada Tuhannya: "Ya
Allah, Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang lapar, maka kenyangkanlah
mereka. Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tanpa alas kaki,
maka tolonglah mereka. Ya Allah, Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang
tidak berpakaian, maka berilah mereka pakaian."
Kemudian rasa kantuk menghinggapi mata kedua pasukan lalu mereka
beristirahat di tengah-tengah malam. Jatuhlah hujan kecil yang membuat tempat
itu basah sehingga kelembaban mengitari kaum Muslim. Hujan tersebut membasuh
tanah perjalanan dan menghilangkan debu-debu kepayahan serta menyucikan hati
dan membangkitkan kepercayaan atas kemenangan dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai
suatu penenteram dari-Nya, dan Allah menurunkan hujan dari langit untuk
menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan
setan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak
kaki(mu)." (QS. al-Anfal: 11)
Datanglah waktu pagi di Badar lalu kaum Quraisy mulai menyerang,
lalu Nabi memerintahkan pasukan Muslim untuk bertahan. Rasulullah saw bersabda:
"Jika musuh mengepung kalian, maka usirlah mereka dengan panah dan
janganlah kalian menyerang mereka sehingga kalian diperintahkan."
Demikianlah ketetapan militer yang sangat jitu yang berarti
hendaklah kaum Muslim membentengi mereka di tempat-tempat mereka agar
orang-orang musyrik mendapatkan kerugian dari serangan yang mereka lakukan.
Kita mengetahui dari ilmu militer saat ini bahwa seorang yang menyerang
memerlukan tiga atau tiga kali lipat dari jumlah yang biasa dilakukan sehingga
serangannya betul-betul efektif; kita mengetahui bahwa jumlah pasukan musyrik
tiga kali lipat dibandingkan dengan tentara Muslim. Kaum musyrik dilihat dari
segi jumlah sangat memadai untuk memenangkan peperangan, dan persenjataan
mereka lebih lengkap dari persenjataan kaum Muslim. Jumlah hewan yang mereka
miliki pun sama dengan jumlah mereka, sedangkan tiap tiga orang Muslim
berperang di atas satu tunggangan.
Keadaan saat itu sangat menguntungkan kaum musyrik. Tanda-tanda
kemenangan tampak menyertai bendera kaum musyrik, tetapi kemenangan peperangan
bukan karena kebesaran jumlah pasukan dan persenjataan yang lengkap. Terkadang
peperangan justru dimenangkan oleh unsur spiritual yang tidak kelihatan.
Spiritualitas tentara dan keimanannya tentang persoalan yang dipertahankannya
serta keinginannya untuk mendapatkan dua kebaikan: kemenangan atau kematian dan
hasratnya yang tinggi untuk meneguk madu syahadah, semua itu dapat mengubah
seorang tentara menjadi makhluk yang tidak terkalahkan. Boleh jadi ia akan
merasakan kematian tetapi jauh dari kekalahan. Demikianlah keadaan pasukan
Muslim.
Sementara itu debu-debu berterbangan di atas kepala pasukan yang
bertempur dan kaum Muslim mencurahkan tenaga yang keras dalam peperangan itu.
Ketika dua pasukan saling bertemu dan bertempur, Nabi saw melihat mereka, lalu
Nabi saw menyaksikan pasukannya terjepit. Pasukan yang berjumlah sedikit dengan
persenjataan yang tidak lengkap itu kini ditekan oleh orang kafir. Dalam
keadaan demikian, Nabi saw meminta pertolongan kepada Tuhannya: 'Ya Allah,
kirimkanlah bantuan dan pertolongan-Mu. Ya Allah, wujudkanlah janji-Mu
kepadaku. Ya Allah, jika kelompok ini dihancurkan, maka Engkau tidak akan
disembah setelahnya di muka bumi." Renungkanlah, bagaimana kesedihan Nabi
saat terjadi peperangan itu. Oleh karena itu, kita dapat memahami mengapa Nabi
saw meminta agar pasukannya dimenangkan.
Pemimpin pasukan tertinggi Muhammad bin Abdillah keluar berperang
di jalan Allah SWT dan saat ini kematian sedang mengitari kaum Muslim, lalu apa
yang dipikirkan oleh Nabi saw pada keadaan yang sulit tersebut? Pemikiran Nabi
saw melebihi hal yang sekarang dan menuju pada hal yang akan datang, dan yang menjadi
fokus Nabi adalah penyembahan Allah SWT di muka bumi: "Ya Allah, jika
kelompok ini dihancurkan, maka Engkau tidak akan disembah setelahnya di muka
bumi."
Nabi tidak terlalu mengkhawatirkan kehancuran kaum Muslim karena
Nabi justru mengkhawatirkan sesuatu yang lebih besar dari itu. Yang beliau
khawatirkan adalah penyembahan kepada Allah SWT akan berhenti di muka bumi.
Oleh karena itu, Nabi meminta tolong kepada Tuhannya dan mengingatkan kembali
kepada Tuhannya dan Allah SWT lebih tahu dari hal itu. Kemudian turunlah bala
tentara malaikat yang dipimpin oleh Jibril.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu,
lalu diperkenankankan-Nya bagimu: 'Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala
bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.' Dan
Allah tidak menjadikannya (mengirim bantuan itu), melainkan sebagai kabar
gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah
dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. al-Anfal: 9-10)
Setelah itu Nabi saw menghampiri sahabat Abu Bakar dan berkata:
"Sampaikan berita gembira wahai Abu Bakar, sesungguhnya telah datang
kepadamu bantuan dari Allah SWT."
Turunnya para malaikat merupakan cara untuk meneguhkan kaum Muslim
dan berita gembira kepada mereka. Mukjizat itu bukan terletak pada penyertaan
para malaikat dalam peperangan, namun melalui nas-nas ditegaskan bahwa peranan
malaikat tidak lebih dari sekadar membawa berita gembira dan memberikan
dukungan moril serta memenuhi hati dengan ketenangan. Kami kira bahwa Allah SWT
ingin agar para malaikat menyaksikan manusia-manusia malaikat yang
mempertahankan akidah tauhid.
Demikianlah Allah SWT mewahyukan kepada malaikat bahwa Dia bersama
mereka. Oleh karena itu, hendaklah orang-orang yang beriman merasa tenang dan
kebenaran akan tertancap pada hati mereka sedangkan orang-orang kafir pasti
akan merasakan ketakutan.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat:
'Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang
telah beriman.' Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati
orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung
jari mereka. (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka
menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya,
maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya. Itulah (hukum dunia yang
ditimpakan atasmu), maka rasakanlah hukuman itu. Sesungguhnya bagi orang-orang yang
kafir itu ada (lagi) azab neraka." (QS. al-Anfal: 12-14)
Lalu orang-orang kafir pun mengalami kekalahan. Setelah peperangan
itu, terbunuhlah tujuh puluh kafir dan tujuh puluh tawanan dari mereka dan
sebagian pasukan melarikan diri. Runtuhlah tokoh-tokoh kebencian dan kelaliman
di peperangan tersebut. Hancurlahlah Abu Jahal, pemimpin pasukan, dan
pahlawan-pahlawan Mekah kini terkapar.
Rasulullah saw berdiri di depan bangkai-bangkai orang-orang kafir
dan berkata: "Wahai Utbah bin Rabi'ah, wahai Syaibah bin Rabi'ah, wahai
Umayah bin Khalf, wahai Abu Jahal bin Hisam, apakah kalian menemukan apa yang
dijanjikan oleh tuhan kalian kepada kalian. Sungguh aku telah menemukan apa
yang dijanjikan Tuhanku." Orang-orang Muslim berkata: "Ya Rasulullah,
apakah engkau memanggil kaum yang sudah mati?" Rasulullah berkata:
"Kalian tidak mengetahui apa yang aku katakan kepada mereka, tetapi mereka
tidak mampu menjawab perkataanku." Rasulullah saw tinggal tiga malam di
Badar kemudian beliau kembali ke Madinah. Di depan beliau terdapat
tawanan-tawanan perang dan ganimah.
Kaum Muslim sangat menanggung beban berat dengan banyaknya tawanan
perang. Mula-mula Rasulullah saw bermusyawarah dengan sahabat Abu Bakar dan
Umar. Abu Bakar berkata: "Ya Rasulullah, mereka adalah keturunan dari
saudara-saudara dan keluarga, dan aku melihat lebih baik engkau mengambil
fidyah (tebusan) dari mereka sehingga apa yang engkau ambil tersebut merupakan
kekuatan bagi kita terhadap orang-orang kafir, dan mudah-mudahan Allah SWT
memberi petunjuk kepada mereka sehingga mereka menjadi tulang punggung
kita."
Kemudian Rasulullah saw menoleh kepada Umar bin Khattab sambil
berkata, "bagaimana pendapatmu wahai Ibnul Khattab?" Lelaki itu
berkata: "Demi Allah, aku tidak sependapat dengan apa yang dikatakan Abu
Bakar tetapi aku berpendapat, seandainya aku mampu untuk bertemu dengan salah
seorang kerabatku, maka aku akan memukul lehernya, dan seandainya Ali mampu
bertemu dengan keluarganya, maka ia pun akan memukul lehernya begitu Hamzah
sehingga Allah SWT mengetahui bahwa tidak ada di hati kita kelembutan kepada
kaum musyrik."
Pasukan Madinah dan pasukan Mekah terdiri dari keluarga-keluarga
yang terikat hubungan kekerabatan, namun kehendak Allah SWT menetapkan
terjadinya peperangan sesama keluarga: antara anak dan orang tuanya. Umar
menginginkan agar keadaan demikian terus berlanjut sehingga orang-orang musyrik
mengetahui bahwa Islam tidak ingin berdamai. Kemudian Selesailah urusan itu dan
terjadi peperangan di jalan Allah SWT dan mengangkat senjata dan berperang
adalah suatu kewajiban yang tiada keraguan di dalamnya. Nabi saw menoleh kepada
kaum Muslim dan mendapati sebagian besar mereka cenderung kepada pendapat Abu
Bakar. Nabi saw mengikuti pendapat mayoritas saat itu. Pendapat mayoritas salah
dan hanya Umar yang benar.
Ini adalah peperangan pertama yang dilalui oleh Islam. Hendaklah
kaum Muslim harus meninggalkan dorongan kemanusiaan mereka, yakni orang-orang
kafir harus dibunuh agar musuh-musuh Allah SWT mengetahui bahwa Islam telah
memilih darah. Allah SWT telah mendukung Umar bin Khattab dalam Al-Qur'an
sehingga Nabi saw dan Abu Bakar menangis ketika keduanya menyadari kesalahan
mereka pada hari berikutnya, lalu Umar memergoki mereka dalam keadaan menangis
dan ia bertanya, "apa yang menyebabkan Rasulullah saw dan temannya di gua
menangis?" Kemudian Rasulullah saw membaca Al-Qur'an:
"Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia
dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi
sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu
dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang hamu
ambil." (QS. al-Anfal: 67-68)
Kedua ayat itu mengatakan bahwa ini bukan saatnya melindungi para
tawanan dan berusaha untuk menebus mereka. Waktu Demikian belum saatnya. Nabi
tidak berhak memiliki tawanan kecuali jika ia telah melakukan banyak peperangan
dan banyak berjihad dan telah banyak membunuh dan dakwahnya telah mapan.
Kedua ayat tersebut menyingkap tujuan di balik penebusan
tawanan: "Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah
menghendaki (pahala) akhirat (untukmu)."
Demikianlah pemikiran yang mempertimbangkan keadaan-keadaan aktual
yang sulit. Itu adalah pemikiran yang bersifat taktik sebagaimana yang kita
ungkapkan dalam istilah modern dan bukan pemikiran yang bersifat strategis.
Kemudian para tawanan tersebut bukan tawanan biasa tetapi menurut istilah
modern mereka adalah penjahat-penjahat perang. Oleh karena itu, nyawa mereka
harus ditumpahkan saat mereka dapat ditangkap, meskipun mereka memiliki
kekayaan yang banyak atau kedudukan yang tinggi. Islam tidak mengakui kekayaan
atau kedudukan, yang diakuinya adalah keimanan, sedangkan
pertimbangan-pertimbangan duniawi lainnya tidak dihiraukan oleh Islam.
Nas Al-Qur'an memperingatkan orang-orang yang menang bahwa
kesalahan mereka bisa berakibat pada datangnya siksaan yang bakal mereka terima
tetapi Allah SWT mengampuni mereka dan menurunkan rahmat-Nya: "Kalau
sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu
ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil."
Siksaan tersebut memang lebih dekat daripada pohon yang dekat ini,
kemudian Allah SWT mengampuni mereka dan Allah SWT mengampuni sahabat-sahabat
yang terjun di perang Badar, baik dosa yang lalu maupun dosa mereka yang akan
datang. Demikianlah Al-Qur'an ingin mendidik kaum Muslim agar mereka tidak
banyak mempertimbangkan urusan manusiawi saat berperang. Jadi, Islam memulai
peperangannya yaitu peperangan yang hanya ditujukan kepada Allah SWT dan
hendaklah peperangan tersebut dihilangkan dari pertimbangan-pertimbangan yang
sulit sehingga sahabat-sahabat Nabi mengetahui bahwa kecenderungan kepada
kesenangan duniawi akan berakibat pada kekalahan mereka.
Dalam peperangan Uhud jumlah kaum musyrik tiga ribu sedangkan
jumlah kaum Muslim tiga ratus pasukan setelah pemimpin orang-orang munafik
Abdullah bin Saba' mengundurkan diri pasukan. Kaum Muslim diletakkan di gunung
dan Rasulullah saw membuat rencana yang jitu untuk memenangkan pertempuran di
mana beliau membagi pasukan pemanah di puncak gunung untuk melindungi punggung
kaum Muslim dan melinduingi mereka dari serangan dari arah belakang. Rasulullah
saw memberi pengertian kepada pasukan panah itu agar mereka tetap di tempatnya
baik kaum Muslim menang maupun kalah. Yakni bahwa pasukan pemanah tidak boleh
turun dari gunung dan meski berusaha untuk melindungi kaum Muslim. Rasulullah
saw berkata kepada mereka. "lindungilah punggung-punggung kami. Jika
kalian melihat kami sedang bertempur, maka kalian tidak usah turun darinya dan
tidak usah menolong kami, dan jika kalian melihat kami memperoleh kemenangan
dan mengambil ganimah, maka kalian tidak boleh ikut serta bersama kami."
Setelah membuat keputusan tersebut, Rasulullah saw kembali ke
pasukan yang lain, lalu beliau membikin suatu rencana untuk menyerang. Dan
Dimulailah peperangan kemudian pasukan Islam mendorong pasukan musyrik laksana
angin yang kencang yang memporak-porandakan ribuan kaum musyrik. Pada tahapan
pertama pasukan Islam tampak menguasai medan dan berhasil menyapu kaum musyrik
sehingga pasukan Mekah tampak berputus asa meskipun mereka unggul secara
bilangan dan meskipun mereka memiliki kuatan persenjataan yang lengkap, pasukan
Mekah justru dikagetkan dengan ketangguhan pasukan Muslim yang dapat memukul
mundur mereka hingga mereka membayangkan balwa mereka tidak dapat memenangkan
peperangan atau dapat bertahan di hadapan pasukan Muslim.
Debu-debu peperangan mulai berterbangan yang menyertai tanda-tanda
kekalahan pasukan Mekah. Sementara itu, para pemanah yang diletakkan Rasulullah
saw di suatu tempat yang strategis berpikir untuk memperoleh ganimah. Pasukan
Mekah telah kalah dan mereka telah melarikan diri dari pasukan Muslim, maka
bagaimana seandainya para pemanah turun dari tempat mereka untuk mengumpulkan
harta rampasan dan ganimah. Rasulullah saw telah mengingatkan mereka agar
jangan meninggalkan tempat mereka, apa pun yang terjadi tetapi pasukan pemanah
itu justru berkhianat dan menentang perintah Nabi saw setelah mereka membayangkan
bahwa peperangan telah selesai dan keuntungan akan diperoleh pasukan Madinah
yang beriman.
Pasukan pemanah mengira bahwa Allah SWT akan menutupi kesalahan
mereka dan akan melindungi mereka sehingga mereka berhasil mengambil harta
rampasan dan ganimah. Sungguh keikhlasan telah tercabut dari hati sebagian
pasukan. Belum lama hal tersebut berlangsung sehingga terjadilah perubahan yang
drastis pada peperangan. Pemimpin pasukan berkuda musyirik dalam peperangan
Uhud yaitu Khalid bin Walid yang kemudian ia menjadi tokoh Muslim adalah orang
yang sangat jenius dalam peperangan. Begitu ia melihat pasukan pemanah lari
dari tempat mereka, maka ia melihat celah yang terbuka di tengah-tengah kaum
Muslim, sehingga ia segera memutarkan kudanya dan disertai pasukan yang mengikutinya.
Kemudian ia menyerang kaum Muslim dari belakang. Serangan yang dilakukan Khalid
itu sangat cepat dan sangat mengejutkan. Orang-orang musyrik mengambil
kesempatan emas. Mereka yang tadinya lari, kini mereka menarik diri dan justru
menyerang kembali.
Pasukan Muslim dikepung dari dua arah oleh pasukan berkuda: satu
dari belakang dan yang lain dari depan. Kemudian berjatuhanlah korban-korban
dari pasukan Muhammad bin Abdillah. Banyak di antara mereka yang mati sebagai
syahid saat mempertahankan dan melindungi Rasulullah saw, bahkan sang Nabi pun
hidungnya terluka dan giginya pun runtuh dan kepala beliau yang mulia terluka
sehingga beliau mengucurkan darah.
Kemudian tersebarlah isu bahwa Muhammad saw telah meninggal.
Ketika mendengar itu, kaum Muslim sangat terpukul dan sangat sedih sehingga
kaum Muslim pun terpecah-pecah. Sebagian mereka kembali ke Mekah dan sekelompok
yang lain ke atas gunung dan mereka tetap menjaga Nabi saw yang mulia. Ketika
mendengar kematian Nabi, Anas bin Nadhir berkata kepada kaumnya:
"Bangkitlah kalian dan matilah seperti kematiannya. Apa yang kalian
lakukan setelah kalian hidup sesudahnya."
Pasukan Muslim tetap bertahan dan melakukan peperangan, lalu
tekanan kaum musyrik semakin berat kepada Nabi saw dan para sahabatnya. Kemudian
terjadilah kejadian yang paling sulit dalam sejarah umat Islam. Nabi saw
berteriak saat melihat kaum musyrik menekannya dan berusaha membunuhnya:
"Barangsiapa yang dapat mengusir mereka dariku, maka baginya surga."
Mendengar perkataan itu, kaum Muslim segera mengitari Nabi saw dan
melindungi beliau sehingga banyak dari mereka berguguran sebagai syahid. Bahkan
sahabat-sahabat Abu Juanah melindungi Nabi saw sampai-sampai punggungnya
dipenuhi dengan anak-anak panah. Ia bagaikan baju besi yang dipakai kepada Nabi
saw dan ia tetap kokoh melindungi sang Nabi saw. Kemudian berubahlah keadaan
karena keteguhan dan keberanian yang diperlihatkan oleh kaum Muslim. Pasukan
Mekah merasa puas dan mereka memilih untuk menarik diri. Saat itu orang-orang
Quraisy tidak lebih sedikit penderitaannya daripada orang-orang Muslim.
Setelah peperangan yang dahsyat itu, kaum musyrik menarik diri
setelah mereka berhasil membunuh beberapa orang Muslim, bahkan mereka berhasil
melukai pemimpin pasukan yaitu sang Nabi saw. Semua itu terjadi karena satu
kesalahan yaitu kesalahan terletak pada penentangan dan pembangkangan para
pemanah terhadap perintah sang Rasul saw dan usaha mereka untuk meninggalkan
tempat mereka.
Ketika sebagian kelompok dari sahabat kehilangan pengorbanan dan
kehilangan sikap ikhlas dalam hati mereka, maka kesalahan tersebut harus
dibayar oleh tentara yang paling berani dan mulia di antara mereka yaitu sang
Nabi saw. Langit tidak ikut campur untuk menyelamatkan pasukan Islam itu.
Kesalahan kaum Muslim itu harus dibayar oleh Rasul saw di mana wajah beliau pun
terluka bahkan keluar darah yang cukup deras dari luka beliau sehingga setiap
kali dituangkan air di atas luka itu, maka darah pun semakin deras mengucur.
Darah itu tidak berhenti kecuali setelah dibakarkan potongan tembikar lalu
dilekatkan di atasnya.
Luka beliau bukan hanya bersifat materi tetapi luka spiritual
beliau dan ruhani beliau pun semakin bertambah. Ini beliau rasakan ketika
mendengar bahwa pamannya Hamzah gugur sebagai syahid dan tidak cukup dengan itu,
bahkan istri Abu Sofyan yaitu Hindun membelah perutnya dan mengeluarkan
jantungnya serta mengunyahnya dengan mulutnya. Semua itu semakin menambah
kesedihan sang Nabi.
Kaum Quraisy menguasi pasukan Muslim dan mereka memberlakukan dan
menekan kaum Muslim secara aniaya. Seandainya bukan karena rahmat Allah SWT
niscaya kaum Muslim akan mengalami kekalahan yang telak. Kemudian turunlah
dalam Al-Qur'an al-Karim ayat-ayat yang mendidik kaum Muslim agar mereka
benar-benar ikhlas dan memahamkan mereka bahwa kekalahan mereka sebagai akibat
dari adanya pasukan di antara mereka yang menginginkan dunia meskipun di antara
mereka ada sebagian yang menginginkan akhirat. Jika terjadi demikian, maka
tidak adajalan untuk memperoleh kemenangan. Ini bukanlah hal yang diinginkan
oleh pasukan Muslim, yang diharapkan adalah hendaklah semua pasukan tertuju
untuk mencapai ridha Allah SWT dan hanya mengharapkan akhirat. Jika demikian
halnya, maka Allah SWT akan memberi mereka dunia dan akhirat.
Allah SWT berfirman dan menceritakan peperangan Uhud dalam surah
Ali 'Imran:
"Di antaramu ada orang yang menghendahi dunia dan di antara
kamu ada orangyang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari
mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan
Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang
beriman." (QS. Ali 'Imran:: 152)
Allah SWT memaafkan hal itu. Orang-orang Muslim kini menghitung
jumlah korban mereka dan mengobati orang-orang yang terluka. Rasulullah saw
bertanya tentang pamannya Hamzah, dan ketika beliau mendapatinya di
tengah-tengah sahabat yang gugur, dan orang-orang kafir telah merusak jasadnya,
maka beliau berkata dalam keadaan menangis: "Tidak akan ada orang yang
akan tertimpa sepertimu selama-lamanya."
Kemudian Nabi saw berdiri dan memuji Allah SWT lalu beliau
memerintahkan untuk mengembalikan orang-orang yang terbunuh dari kaum Muslim ke
tempat asal mereka di mana mereka terbunuh. Saat itu keluarga mereka telah
membawanya ke kuburan kemudian Nabi saw mengumpulkan kedua orang laki-laki dari
pahlawan-pahlawan Uhud dalam satu pakaian dan beliau bertanya siapa di antara
keduanya yang paling banyak mengambil manfaat dari Al-Qur'an. Jika diisyaratkan
kepada salah satunya, maka beliau akan mendahulukannya untuk dimasukan dalam liang
lahad.
Rasulullah saw juga memerintahkan agar mereka dikebumikan dengan
darah mereka dan beliau pun tidak mensalati mereka, serta tidak memandikan
mereka. Allah SWT ingin memperlihatkan bagaimana mereka dibangkitkan pada hari
kiamat lalu beliau bersabda: "Tiada seorang pun yang terluka di jalan
Allah SWT kecuali Allah SWT membangkitkannya di hari kiamat dalam keadaan di
mana Iukanya akan mengucur darah. Warna itu adalah warna darah dan baunya
seperti minyak misik."
Bukanlah penderitaan yang dalam yang merupakan pelajaran yang
harus dimengerti kaum Muslim dari peperangan Uhud sebagai akibat dari
pembangkangan mereka dari perintah Rasul saw dan ketidaktaatan mereka
kepadanya, tetapi wahyu juga menurunkan berbagai pelajaran yang lain yang dapat
dimanfaatkan. Pelajaran yang terpenting setelah pelajaran kesetiaan adalah
penjelasan tentang central utama yang di situ kaum Muslim berkumpul. Pribadi
Rasulullah saw bukanlah markas yang di situ kaum Muslim berkumpul yang ketika
pribadi Rasulullah saw yang mulia pergi karena satu dan lain hal, maka
orang-orang Muslim akan pergi dan meninggalkan beliau. Tidak seharusnya pribadi
Rasul saw menjadi markas atau central tetapi yang menjadi central dari semuanya
adalah pemikiran beliau. Itulah yang paling penting.
Demikianlah bahwa Al-Qur'an al-Karim mencela orang-orang yang
meletakkan senjatanya ketika tersebar isu terbunuhnya Nabi saw. Islam tidak
akan mencapai puncaknya ketika kaum Muslim berkumpul di sisi Rasulullah saw
saat beliau masih hidup namun ketika beliau terbunuh atau mati, maka mereka
murtad di mana mereka membuang senjatanya dan pergi mengurusi diri mereka
sendiri. Orang-orang Islam adalah orang-orang yang mengikuti prinsip bukan
mengikuti pribadi. Muhammad bin Abdillah memang seorang pemimpin manusia dan
Imam para rasul dan penutup para nabi, dan sebagai makhluk Allah SWT yang
paling mulia, namun ini semua tidak membenarkan bahwa seorang Muslim
diperbolehkan untuk meletakkan senjatanya ketika Rasul saw wahfat atau
terbunuh. Hendaklah seorang Muslim memanggul senjatanya dan tidak membuang dari
tangannya kecuali dalam dua keadaan: pertama ketika ia telah memperoleh
kemenangan dan kedua ketika ia telah mati.
Nas Al-Qur'an menjelaskan secara gamblang hubungan kaum Muslim
dengan akidah Islam, bukan dengan pribadi sang Rasul saw. Allah SWT berfirman:
"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh
telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakahjika dia wafat atau
dibunuh kamu berbalik ke belakang (tnurtad)? Barangsiapa yang berbalik ke
belakang, maha ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun;
dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orangyang bersyukur." (QS. Ali 'Imran: 144)
Demikianlah bahwa peperangan Uhud telah membawa dampak yang luar
biasa terhadap kaum Muslim, utamanya terhadap Nabi saw. Orang-orang yang
terbunuh di perang Uhud adalah sahabat-sahabat yang paling mulia dan paling
banyak imannya. Mereka adalah pilihan dari orang-orang Muslim yang pertama;
mereka memikul beban dakwah di saat-saat yang sulit bahkan mereka harus
berhadapan dan memusuhi kerabat mereka dan teman-teman mereka; mereka menjadi
terasing saat menyatakan keislaman mereka sebelum hijrah dan sesudahnya; mereka
telah menginfakkan harta; mereka berjuang di jalan Allah SWT; mereka telah
bersabar dalam menanggung berbagai macam penderitaan, dan ketika datang saat
yang paling berbahaya dan pasukan Islam telah terkepung di mana jiwa Rasul saw
telah terancam, mereka justru mencurahkan darah mereka bagaikan lautan yang
menenggelamkan orang-orang kafir dan mereka mampu melindungi sang Rasul saw dan
mengubah jalan peperangan serta menyelamatkan akidah tauhid.
Peperangan Uhud bukanlah pengorbanan pertama yang dilakukan oleh
kaum Muslim dan bukanlah merupakan peperangan yang terakhir. Ia adalah satu
peperangan di antara cukup banyak peperangan yang dilalui oleh Islam untuk
menyebarkan kalimat Allah SWT di muka bumi dan membimbing hamba-hamba-Nya.
Begitu juga pengorbanan Rasul saw, dan peperangan Uhud bukanlah pengorbanan
yang pertama terhadap Islam dan bukan juga yang terakhir. Rasulullah saw telah
hidup setelah diutusnya kepada manusia di mana beliau telah memberikan semuanya
untuk kehidupan dan untuk dakwah; beliau tidak memiliki dirinya sendiri; beliau
tidak memboroskan waktunya dengan sia-sia bahkan beliau beristirahat sedikit
saja. Semua kehidupan beliau diberikan kepada dakwah dan untuk Islam. Beliau
menjalani berbagai macam peperangan dan beliau memikul berbagai macam
penderitaan dan belum lama beliau lari dari suatu problem kecuali beliau
berhadapan dengan problem yang baru dan lain; belum lama beliau menyelesaikan
suatu krisis kecuali beliau menghadapi krisis yang lain. Demikianlah kehidupan
sang Nabi saw di mana beliau selalu memberikan kontribusi dan sumbangannya demi
kepentingan agama Allah SWT.
Silakan Anda mengamati kehidupan sang Rasul saw dari sudut manapun
yang Anda inginkan niscaya Anda tidak akan menemukan sudut dari sudut-suduut
kehidupan beliau kecuali dimulai dan dipenuhi dengan pergulatan yang hebat.
Rasulullah saw telah melalui pergulatan militer dalam berbagai
macam pertempuran yang silih berganti yang beliau lakukan. Beliau memulai
pergulatan politiknya yang terwujud dalam perundingan-perundingan dan
surat-surat yang beliau kirimkan kepada penguasa dan para raja di berbagai
negara agar mereka memeluk Islam, bahkan beliau melakukan pergulatannya dalam
masalah pribadi di rumah tangga. Rumah tangga beliau pun tidak kosong dari
pergulatan. Beliau adalah pejuang sejati dalam setiap waktu. Kalau kita
mengenal Nabi Ibrahim sebagai seorang musafir di jalan Allah SWT, maka Muhammad
bin Abdillah adalah seorang pejuang di jalan Allah SWT. Belum lama peperangan
Uhud berakhir sehingga pengaruh-pengaruh buruknya berbekas pada kaum Muslim.
Orang-orang Arab Badui mulai berani bersikap kurang ajar kepada mereka,
demikianjuga orang-orang Yahudi, apalagi orang-orang munafik dan tidak
ketinggalan orang-orang Quraisy pun mulai menyudutkan kaum Muslim.
Kemudian datanglah utusan dari kabilah Arab kepada Rasul saw dan
mereka mengatakan kepada beliau bahwa mereka mendengar tentang Islam dan mereka
ingin memeluknya, maka hendaklah beliau mengutus kepada mereka beberapa dai dan
mubalig untuk mengajari mereka tentang dasar-dasar agama. Nabi saw mengutus
bersama mereka sekelompok para dai yang dipimpin oleh 'Ashim bin Tsabit.
Temyata orang-orang itu berkhianat atas para sahabat-sahabat yang berdakwah itu
dan mereka pun dibunuh. Bahkan tiga di antara mereka ditawan dan dijual di Mekah.
Dijualnya mereka di Mekah berarti mereka diserahkan pada kelompok orang-orang
Quraisy yang telah lama menunggu untuk menangkap kaum Muslim. Kaum Quraisy
Mekah membunuh tiga tawanan kaum Muslim itu. Orang-orang Muslim sangat sedih
mendengar dai-dai Allah SWT itu terbunuh dengan cara yang begitu tragis.
Ketika datang kepada Nabi saw orang-orang yang minta pada beliau
agar dikirim utusan dari kalangan mubaligh untuk menyebarkan Islam untuk para
kabilah kaum Najd, maka Nabi kali ini betul-betul mempertimbangkan antara
kepentingan menyebarkan Islam dan perlindungan terhadap kehormatan manusia.
Lalu beliau memilih untuk kepentingan dakwah Islam. Beliau menyadari bahwa
beliau mengutus para sahabatnya dalam bahaya; beliau memberitahu mereka bahwa
mereka akan menghadapi suatu keadaan yang misterius yang tiada mengetahuinya
kecuali Allah SWT. Namun bahaya tersebut sudah menjadi bagian dari cita rasa
kehidupan yang selalu meliputi dakwah Islam.
Ketika Nabi saw mengutarakan kekhawatirannya terhadap para
sahabatnya yang bakal diutusnya di tengah kabilah itu, orang-orang yang meminta
beliau untuk mengutus para sahabatnya menyakinkan beliau bahwa mereka akan
melindungi sahabat beliau. Kemudian Nabi saw memerintahkan tujuh puluh orang
pilihan dari sahabatnya untuk pergi dan berjihad di jalan Allah SWT serta
mengajak manusia untuk mengikuti Islam. Lalu pergilah para sahabat yang
kemudian dikenal dengan sebutan al-Qurra' (yaitu orang-orang
yang pandai membaca Al-Qur'an dan menghapalnya). Mereka adalah para dai yang
terbaik yang diutus Nabi di mana pada siang hari mereka memikul kayu bakar dan
pada malam hari mereka sibuk dalam keadaan salat. Ketika datang perintah
Rasulullah saw kepada mereka untuk pergi dan berdakwah mereka pun pergi dalam
keadaan gembira karena mereka diajak untuk berjihad di jalan Allah SWT. Mereka
melangkahkan kaki dengan mantap di tanah orang-orang munafik dan para
penghianat sehingga mereka sampai di suatu sumur yang bemama sumur Ma'unah.
Kemudian mereka mengutus salah seorang di antara mereka untuk menemui pemimpin
orang-orang kafir di negeri itu. Mubalig dari sahabat Rasulullah saw itu
menyampaikan surat Nabi yang dibawanya di mana beliau mengharapkan agar
masyarakat di situ masuk Islam, tetapi ia dikagetkan dengan adanya pisau yang
menembus punggungnya. Mubaligh itu berteriak saat ia tersungkur: "sungguh
aku beruntung demi Tuhan pemelihara Ka'bah."
Kemudian pemimpin orang-orang kafir itu mengangkat senjata dan
mengumpulkan para kabilah untuk memerangi para mubaligh di jalan Allah SWT itu
sehingga sahabat-sahabat terbaik yang berdakwah di jalan Allah SWT itu pun
gugur di sumur Ma'unah. Jasad-jasad mereka menjadi makanan dari burung nasar
dan burung-burung yang lain. Dari tujuh puluh orang yang dikirim itu hanya
seorang yang selamat yang kembali kepada Nabi saw. Ia menceritakan apa yang
dialami oleh fuqaha-fuqaha Muslimin di mana mereka dikhianati. Ketika mendengar
berita tentang tragedi itu, Nabi sangat terpukul dan sedih. Kemudian beliau
mengangkat kepalanya dan berkata kepada sahabat-sahabatnya: "Sungguh
sahabat-sahabat kalian telah terbunuh dan mereka telah meminta kepada Tuhan
mereka. Mereka mengatakan, Tuhan kami, berikanlah kami ujian sesuai dengan
kehendak-Mu dan ridha-Mu. Apa saja yang menjadi kepuasan-Mu kami pun akan
merasakan kepuasan."
Sungguh penderitaan yang dialami oleh Islam sangat berat, terutama
yang menimpa para sahabat yang gugur sebagai syahid di sumur Ma'unah. Nabi saw
sangat sedih mendengar sikap orang-orang Arab dan orang-orang kafir terhadap
Islam. Mereka telah mengejek dan merendahkan kaum mukmin sampai pada batas ini.
Kemudian beliau menetapkan akan kembali mengangkat kewibawaan Islam dengan
tindak kekerasan.
Dalam keadaan seperti ini, bergeraklah orang-orang Yahudi untuk
membunuh Rasulullah saw. Pada suatu hari beliau pergi ke Bani Nadhir untuk
menyelesaikan suatu urusan. Kemudian mula-mula mereka menampakkan persetujuan
atas apa yang diucapkan beliau. Mereka mendudukkan Nabi di bawah naungan
benteng-benteng mereka, lalu mereka bersekongkol untuk melenyapkan beliau;
mereka menetapkan untuk melemparkan batu yang berat dari atas benteng itu saat
beliau duduk dan tidak membayangkan akan terjadinya kejahatan yang direncanakan
padanya. Namun Allah SWT mengilhami Rasul-Nya akan datangnya bahaya kepada
beliau, lalu beliau bangun sebelum pelaksanaan tipu daya itu. Lalu beliau
segera pergi menuju rumahnya. Beliau berpikir saat beliau kembali ke rumahnya
dengan membawa penderitaan yang baru. Pembangkangan dan pengkhianatan tersebut
tidak akan dapat berhenti kecuali setelah Islam menunjukkan taringnya. Islam
ingin mengembalikan kewibawaannya dengan cara mengangkat senjata.
Rasul saw mengutus utusan ke Bani Nadhir dan memerintahkan mereka
untuk keluar dari Madinah, bahkan Rasul saw memberi waktu kepada mereka hanya
sepuluh hari. Kemudian orang-orang munafik yang ada di Madinah bersatu bersama
orang-orang Yahudi dan mereka sepakat untuk memerangi Islam. Namun ketika
berhadapan dengan Islam, orang-orang Yahudi menelan kekalahan. Kemudian
turunlah surah al-Hasyr yang menyebutkan pengusiran orang-orang Yahudi dan
menyingkap kedok orang-orang munafik. Setelah kemenangan yang meyakinkan ini,
Rasul saw keluar bersama sahabatnya untuk membalas kejadian yang menimpa
sahabat-sahabatnya yang dikenal dengan al-Qurra' itu. Rasul
saw ingin mengembalikan kewibawaan Islam. Kemudian pasukan Rasul saw itu mampu
membuat para pengkhianat dari orang-orang Arab ketakutan. Hanya sekadar
mendengar nama pasukan Muslim, maka serigala-serigala gurun yang dulu bengis
itu pun ketakutan laksana tikus-tikus yang panik yang bersembunyi di bawah
lobang-lobang gunung. Orang-orang Quraisy mendengar kegiatan pasukan Islam.
Pasukan Quraisy menarik diri saat mereka mendekati Dahran, sementara pasukan
Muslim berada di Badar. Mereka menunggu pertemuan yang disepakati di Uhud.
Orang-orang Muslim menyala-kan api selama delapan hari sebagai bentuk tantangan
dan menunggu kedatangan kaum kafir sehingga ketika mereka (kaum kafir) telah
pergi, maka citra kaum Muslim pun terangkat setelah mereka menerima kepahitan
dalam peperangan Uhud.
Kaum Muslim menoleh ke arah utara jazirah Arab setelah menetapkan
kewibawaan mereka di selatan. Kabilah di sekitar Daumatul Jandal dekat dengan
Syam merampok di tengah jalan dan merampas kafilah yang berlalu di situ, bahkan
kenekatan mereka sampai pada batas di mana mereka berpikir untuk menyerbu
Madinah. Oleh karena itu, Rasulullah saw keluar bersama seribu orang Muslim
yang mereka bersembunyi di waktu siang dan berjalan di waktu malam, sehingga
setelah lima belas malam beliau sampai ke tempat yang dekat dengan tempat
tinggal musuh-musuh mereka lalu mereka menggerebek tempat itu. Pasukan kafir
itu dikagetkan dengan kedatangan kaum Muslim yang begitu cepat.
Kita akan mengetahui bahwa alat komunikasi yang dimiliki oleh
Rasulullah saw sangat unggul sebagaimana alat pertahanan beliau pun sangat
unggul. Serangan mendadak yang dilakukan oleh pasukan Rasulullah saw
menunjukkan bahwa mereka memiliki pertahanan yang luar biasa. Sistem pertahanan
yang luar biasa sebagaimana kedatangan pasukan yang secara tiba-tiba itu
menunjukkan kemampuan pasukan Islam untuk menyusup.
Demikianlah, terjadilah hari-hari pertempuran militer. Belum lama
Nabi saw meletakkan baju besinya, dan beliau kembali membangun pribadi kaum
Muslim sehingga beliau terpaksa kembali memakai baju besinya dan kembali berperang.
Ketika musuh-musuh Islam yang berada di sekelilingnya melihat bahwa kemampuan
militer mereka tidak dapat menandingi kemampuan kaum Muslim, maka mereka
sengaja melakukan cara-cara baru untuk memerangi Islam. Yaitu peperangan
psikologis atau peperangan urat syaraf dengan cara menyebarkan berbagai macam
isu atau apa yang dinamakan Al-Qur'an al-Karim dengan peristiwa al-Ifik (kebohongan).
Setelah peperangan Bani Musthaliq yaitu peperangan yang membawa kemenangan yang
cepat bagi kaum Muslim, terjadilah kesalahpahaman dan pertengkaran di antara
sahabat-sahabat yang biasa mengambil air di mana salah seorang mereka
berteriak: "wahai kaum Muhajirin," dan yang lain berteriak:
"Wahai kaum Anshar."
Peristiwa yang sangat sepele itu dimanfaatkan oleh pemimpin kaum
munafik yaitu Abdullah bin Ubai. Abdullah bin Ubai memprovokasi orang-orang
Anshar untuk menyerang kaum Muhajirin. Ia ingin membangkitkan luka-luka
jahiliah yang lama yang telah dibuang dan telah dikubur oleh Islam, Salah satu
yang dikatakan oleh Ibnu Ubai adalah, "sungguh mereka telah menyaingi kita
dan mengambil kebaikan dari dan seandainya kita telah kembali ke Madinah
niscaya orang-orang yang mulai akan dapat mengusir orang-orang yang hina di
dalamnya."
Zaid bin Arqam menyampaikan kalimat si munafik itu kepada Nabi
saw, di mana kalimat itu berisi provokasi terhadap orang-orang Anshar untuk
menyerang kaum Muhajirin. Ubai menginginkan agar mereka berpecah belah dan agar
kesatuan mereka runtuh. Si Munafik itu segera datang kepada Rasul saw dan
menafikan apa yang dikatakannya. Orang-orang Muslim secara lahiriah membenarkan
perkataan si munafik itu dan mereka justru menuduh Zaid bin Arqam salah
mendengar. Tetapi hakikat peristiwa itu tidak tersembunyi dari Nabi saw
sehingga peristiwa itu sangat menyedihkan beliau. Lalu beliau mengeluarkan
perintah agar para sahabat pergi ke suatu tempat yang tidak biasanya mereka
lalui. Kemudian beliau pergi bersama sahabat di hari itu sampai waktu malam
menyelimuti mereka. Dan kini, mereka memasuki waktu pagi. Kepergian yang
singkat dan tiba-tiba itu mampu menepis kebohongan yang dirancang oleh si
Munafik, Abdullah bin Ubai. Yaitu kebohongan yang bertujuan untuk membakar
persatuan kaum Muslim ketika ia berusaha untuk menyalakan api di tengah-tengah
rumah sang Nabi saw.
Ketika Nabi masih memiliki kekuatan yang menakutkan bagi yang
mencoba melawannya, maka mereka pun melakukan berbagai penipuan dan, makar. Dan
salah satu yang menjadi obyek tipu daya itu adalah istri beliau, yaitu Aisyah.
Alkisah, Aisyah pada suatu hari pergi untuk memenuhi hajatnya lalu dilehernya
terdapat anting-anting. Setelah ia memenuhi hajatnya, anting-anting itu
terjatuh dari lehernya dan ia tidak mengetahui. Ketika Aisyah kembali dari
kafilah yang telah siap-siap untuk pergi, ia kembali mencari kalungnya sampai
ia menemukannya. Sementara itu orang-orang yang membawanya dalam tandu (haudaj)
mengira Aisyah sudah berada di dalamnya. Mereka tidak ragu dalam hal itu karena
memang berat badan Aisyah sangat ringan.
Pasukan Nabi berjalan dan membawa tandu, sedangkan Aisyah tidak
ada di dalamnya. Aisyah kembali dan tidak mendapati pasukan di mana mereka
telah pergi. Aisyah merasa heran atas kepergian pasukan yang begitu cepat.
Aisyah merasa takut saat ia berdiri sendirian di padang gurun. Aisyah berusaha
bersikap baik, ia duduk di tempatnya di mana di situlah untanya duduk juga.
Aisyah melipat-lipat pakaiannya sambil berkata dalam dirinya: Mereka akan
mengetahui bahwa aku tidak ada dan karena itu mereka akan kembali mencariku dan
akan menemukan aku.
Sementara itu, Sofwan bin Mu'athal juga tertinggal karena ia
melakukan keperluannya. Ia berjalan dari arah yang jauh lalu ia melihat
bayangan orang yang tidak begitu jelas. Sofwan mendekat dan tiba-tiba ia
mengetahui bahwa ia sedang berdiri di hadapan Aisyah. Ia melihat Aisyah sebelum
diwajibkannya perintah memakai hijab (jilbab) atas istri-istri Nabi. Ketika
melihatnya, Sofwan berkata: "Sesungguhnya kita milik Allah SWT dan
kepadanya kita akan kembali,... istri Rasulullah Aisyah tidak menjawab.
Sofwan mundur dan mendekatkan untanya kepadanya sambil berkata:
"Silakan Anda menaikinya." Aisyah pun menaikinya. Kemudian Sofwan
membawanya pergi dan mencari pasukan yang telah meninggalkannya. Sementara itu,
pasukan Nabi sedang beristirahat. Para sahabat mengira bahwa Aisyah masih
berada dalam tandu. Tiba-tiba mereka terkejut ketika Aisyah datang kepada
mereka bersama Sofwan yang menuntun untanya.
Tokoh munafik Abdullah bin Ubai segera memanfaatkan kesempatan
emas ini. Ia membuat kisah bohong yang terkesan menuduh istri Nabi melakukan
pengkhianatan. Abdullah bin Ubai pandai memilih beberapa sahabat yang
dikenalinya sebagai orang-orang yang mudah percaya dan cenderung membenarkan
hal-hal yang bersifat lahiriah, atau ia mengetahui bahwa di antara mereka dan
Aisyah terdapat kedengkian sehingga mereka suka jika tersebar kebohongan yang
berkenaan dengan Aisyah.
Demikianlah pemimpin munafik itu berhasil menjerat beberapa
sahabat dalam tali kebohongannya, di antaranya Hasan bin Sabit. Musthah, dan
seorang wanita yang dipanggil Hamnah binti Jahasv. yaitu saudara perempuan
Zainab binti Jahasy istri Rasulullah saw. Ketiga orang itu tertipu dengan
kebohongan tersebut lalu mereka menyebarkannya sehingga orang-orang yang
terjerat dalam kebo hongan itu mengatakan apa saja yang mereka inginkan. Akhirnya.
pasukan pun berguncang dengan isu itu. Sementara itu, Aisvah tidak mengetahui
sedikit pun tentang hal tersebut. Isu tersebut bertujuan untuk menjatuhkan
Islam dan melukai perasaan RasuhiHah saw dan itu termasuk peperangan menentang
Rasulullah saw dan ajaran yang dibawanya. Begitu juga ia bertujuan menunjukkan
bahwa kaum Muslim tidak konsekuen dengan akidah yang mereka yakini dan secara
tidak langsung ia juga menyerang kesucian rumah tangga Aisyah.
Pasukan kembali ke Mekah dan Aisyah jatuh sakit, namun ia tidak
mengetahui isu-isu yang dikatakan tentang dirinya. Kemudian Rasulullah saw
mendengar hal itu sebagaimana ayahnya Abu Bakar dan ibunya pun mendengarnya,
namun tak seorang pun di antara. mereka yang memberitahu Aisyah. Begitu juga
Rasul saw tidak menceritakan peristiwa itu di hadapan Aisyah. Namun sikap
beliau berubah di mana beliau tidak lagi menunjukkan perhatiannya seperti
biasanya saat Aisyah sakit. Ketika beliau menemui Aisyah dan saat itu ibunya
ada di situ, beliau berkata: "Bagaimana keadaanmu?" Beliau tidak
lebih dari mengucapkan kata-kata itu. Ketika Aisyah melihat perubahan sikap
Rasul saw, ia mulai marah. Pada suatu hari ia berkata pada Nabi:
"Seandainya engkau mengizinkan aku, niscaya aku akan pindah ke tempat
ibuku." Beliau menjawab: "Itu tidak ada masalah."
Aisyah pun pindah ke tempat ibunya dan ia tidak mengetahui sama
sekali apa yang sebenarnya terjadi padanya. Setelah melalui lebih dari dua
puluh malam, Aisyah sembuh dari sakitnya dan ia pun belum mengetahui hal-hal
yang dikatakan tentang dirinya. Umul mu'minin Aisyah menceritakan bagaimana ia
mengetahui isu bohong tersebut dan bagaimana Allah SWT membebaskannya dari isu
itu, ia berkata:
"Kami adalah kaum Arab di mana kami tidak mengambil di rumah
kami tanggung jawab ini yang biasa di ambil oleh orang-orang Ajam. Kami
membencinya. Kami keluar untuk menikmati keluasan kota. Sementara itu para
wanita keluar pada setiap malam untuk memenuhi hajat mereka. Pada suatu malam,
aku keluar bersama Ummu Musthah untuk memenuhi sebagian keperluanku. Lalu ia
berkata: "Tidakkah kau sudah mendengar suatu berita wahai putri Abu
Bakar?" Aku bertanya, "berita apa itu?" Lalu ia memberitahukan
padaku apa-apa yang dikatakan oleh para penyebar kebohongan. Aku berkata:
"Apa ini memang benar?" Ia menjawab: "Demi Allah, ini
benar-benar terjadi." Aisyah berkata: "Demi Allah, aku tidak mampu
memenuhi hajatku." lalu aku pulang. Demi Allah, aku tetap menangis
sampai-sampai aku mengira bahwa tangisanku akan merusak jantungku dan aku
berkata kepada ibuku, mudah-mudahan Allah SWT mengampunimu, banyak orang
berbicara tentangku namun engkau tidak menceritakan sedikit pun kepadaku. Ia
berkata: "Wahai anakku, sabarlah demi Allah jarang sekali wanita yang baik
yang dicintai oleh seorang lelaki yang jika ia memiliki istri-istri yang lain
(madunya) kecuali wanita itu akan diterpa oleh berbagai isu."
Aisyah berkata: "Rasulullah saw berdiri dan menyampaikan
pembicaraannya pada mereka dan aku tidak mengetahui hal itu." Beliau
memuji Allah SWT kemudian berkata: "Wahai manusia, bagaimana keadaan kaum
lelaki yang menyakiti aku melalui keluar gaku dan mereka mengatakan sesuatu
yang tidak benar. Demi Allah, aku tidak mengenal mereka kecuali dalam kebaikan.
Lalu mereka mengatakan hal itu pada seorang lelaki yang aku tidak mengenalnya
kecuali dalam kebaikan di mana ia tidak memasuki suatu rumah dari rumah-rumahku
kecuali ia bersamaku."
Kemudian Rasulullah saw memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah
bin Zaid dan bermusyawarah dengan keduanya. Usamah hanya melontarkan pujian dan
berkata: "Ya Rasulullah aku tidak mengenal istrimu kecuali dalam kebaikan
dan berita ini hanya kebohongan dan kebatilan," sedangkan Ali berkata: 'Ya
Rasulullah masih banyak wanita yang lain yang dapat kau percaya." Kemudian
Rasulullah saw memanggil Burairah dan bertanya kepadanya, lalu Ali berdiri
kepadanya dan memukulnya dengan keras sambil berkata: "Jujurlah kepada
Rasulullah saw," lalu wanita itu berkata: "Demi Allah, aku tidak
mengetahui kecuali kebaikan. Aku tidak pemah mencela Aisyah kecuali pada suatu
waktu aku sedang membikin adonan roti lalu aku memerintahkannya untuk
menjaganya namun Aisyah tertidur dan datanglah kambing lalu adonan itu dimakan
olehnya."
Aisyah berkata: "Kemudian datanglah kepadaku Rasulullah saw
dan saat tu aku bersama kedua orang tuaku dan seorang wanita dari kaum Anshar.
Aku menangis dan wanita itu pun turut menangis. Rasulullah saw duduk lalu
memuji Allah SWT dan berkata: "Wahai Aisyah, sungguh kamu telah mendengar
sendiri apa yang dikatakan orang-orang tentang dirimu, maka bertakwalah kepada
Allah SWT dan jika engkau telah melakukan keburukan seperti yang diucapkan
orang-orang itu, maka bertaubatlah kepada Allah SWT karena sesungguhnya Allah
SWT menerima taubat dari hamba-hamba-Nya." Aisyah berkata, "demi
Allah, itu tidak lain hanya kebohongan yang dialamatkan kepadaku sehingga
membuat air mataku kering. Aku sama sekali tidak seperti yang mereka
katakan," lalu aku menunggu kedua orang tuaku untuk mengatakan tentang
diriku namun mereka justru terdiam. Aisyah berkata, "demi Allah aku merasa
sebagai seorang yang hina yang tidak layak diturunkan Al-Qur'an dari Allah SWT
berkenaan denganku, tetapi aku hanya berharap agar Nabi saw melihat kebohongan
yang dialamatkan kepadaku itu sehingga ia memastikan terbebasnya aku
darinya."
Aisyah berkata: "Ketika aku tidak melihat kedua orang tuaku
berbicara aku berkata kepada mereka tidakkah kalian menjawab apa yang dikatakan
Rasuullah saw?" Mereka berkata: "Demi Allah kami tidak mengetahui apa
yang harus kami jawab." Aku mengetahui bahwa aku bebas dari tuduhan itu.
Tiba-tiba Rasulullah saw mengusap keringat dari wajahnya sambil berkata: "Bergembiralah
wahai Aisyah karena sesungguhnya Allah SWT telah menurunkan ayat yang
membebaskan kamu dari tuduhan itu," lalu aku berkata: "Segala puji
bagi Allah SWT." Kemudian beliau keluar menemui para sahabat dan
membacakan kepada mereka ayat berikut ini:
"Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu
adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu
buruk bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa
yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang
terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, maka baginya azab yang besar.
" (QS. an-Nur: 11)
Jibril turun kepada Nabi saw untuk menyampaikan terbebasnya Aisyah
dari segala tuduhan yang ditujukan kepadanya. Dan gagallah peperangan
psikologis menentang kaum Muslim dan rumah tangga Rasulullah saw, dan
kelompok-kelompok kafir meyakini bahwa mereka harus menggunakan cara baru lagi
untuk menentang Islam. Kemudian Rasulullah saw kembali memasuki pergulatan
menentang peperangan fisik. Peperang Khandaq termasuk contoh peperangan fisik
yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Orang-orang Yahudi menyerahkan urasan
mereka kepada kaum musyrik, dan Dimulailah rangkaian persekongkolan dan sumpah
di antara tokoh-tokoh Yahudi dan pemimpin-pemimpin kaum musyrik, bahkan pendeta-pendeta
Yahudi berfatwa bahwa agama Quraisy yang disimbolkan dengan penyembahan berhala
lebih baik daripada agama Muhammad yang penyembahan hanya layak ditujukan
kepada Tuhan Yang Esa sebagaimana tradisi jahiliah lebih baik daripada ajaran
Al-Qur'an.
Politik kaum Yahudi berhasil menyatukan kelompok-kelompok orang
kafir dan mengerahkannya untuk menentang kaum Muslim. Kemudian mereka akan
menyerang Madinah dengan jumlah kekuatan sepuluh ribu tentara. Akhirnya, berita
itu sampai ke Nabi saw. Beliau tidak heran ketika mendengar orang-orang Yahudi
bersatu—padahal mereka mempunyai azas agama yang menyeru kepada tauhid—bersama
kaum musyrik menentang agama tauhid. Nabi saw mengetahui bahwa perjanjian telah
lama membelenggu orang-orang Yahudi sehingga hati mereka menjadi keras dan hari
telah menjauhkan antara mereka dan sumber yang jernih yang dipancarkan oleh
Musa. Akhirnya, mereka menjadi buah yang rusak yang kulitnya bergambar tauhid
namun isinya bergambar kepahitan syirik. Dan yang lebih penting dari itu adalah
kesamaan kepentingan kaum Yahudi dan kaum musyrik.
Nabi saw menyadari bahwa beliau sekarang menghadapi ancaman dan
pasukan yang besar. Pertempuran secara terbuka tidak memberi keuntungan bagi
Muslimin. Beliau mulai berpikir bagaimana cara mempertahankan Madinah tanpa
harus keluar darinya. Kali ini taktik militernya berubah di mana sebelum itu
beliau keluar dari Madinah dan menjauhinya serta menyerang kelompok-kelompok
yang berencana menyerbu Madinah. Kali ini bentuk ancaman berbeda dan tentu
pikiran Nabi pun berubah karena mengikuti perbedaan ancaman itu.
Kemudian beliau mengadakan pertemuan militer bersama para
tentaranya. Beliau ingin mendengar berbagai usulan tentang bagaimana cara
mempertahankan Madinah. Lalu Salman al-Farisi mengusulkan agar Nabi menggali
suatu parit yang dalam di sekeliling Madinah yaitu parit yang seperti bendungan
alami yang dapat menahan laju banjir yang ingin maju, suatu parit yang pasukan
berkuda tidak akan mampu melewatinya dan kaum Muslim dapat mempertahankan diri
dari belakangnya. Mula-mula usulan itu terkesan agak mustahil diwujudkan namun
pada akhirnya Nabi menyetujui usulan Salman itu. Melalui sensifitas militernya
yang mengagumkan, beliau mengetahui bahwa situasi cukup genting dan karenanya
ia menuntut usaha keras untuk dapat melaluinya. Nabi saw memerintahkan para
sahabat untuk menggali parit di sekitar Madinah. Pekerjaan itu sangat berat dan
saat itu musim dingin di mana udara sangat dingin. Di samping itu, kaum Muslim
sedang mengalami krisis ekonomi yang mengancam Madinah, meskipun demikian,
penggalian parti tetap dilaksanakan, bahkan Rasulullah saw terjun langsung
untuk membuat galian dan memikul tanah.
Kaum Muslim dengan semangat yang luar biasa dapat menyelesaikan
penggalian parit itu meskipun kehidupan sangat keras dan mereka merasakan
kelaparan karena kekurangan harta. Namun semangat pasukan Islam tetap meninggi.
Mereka percaya akan datangnya kemenangan dan pertolongan dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang
bersekutu itu, mereka berkata: 'lnilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya
kepada kita.' Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah
menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan." (QS. al-Ahzab: 22)
Pasukan Quraisy mulai mendekati Madinah dan tiba-tiba Madinah
berubah menjadi jazirah cinta di tengah-tengah lautan kebencian, lautan itu
mulai menghantam jazirah dan berusaha menenggelamkannya dari dalam. Kemudian
bertebaranlah panah-panah kaum Muslim untuk menghalau pasukan kafir yang cukup
banyak. Pasukankafir mulai berputar-putar di sekeliling parit dalam keadaan
bingung: apa gerangan yang telah dilakukan pasukan Islam, bagaimana mereka
dapat menggali parit ini?
Kuda-kuda musuh berusaha melalui parit itu namun pasukan Muslim
segera menyerangnya. Demikianlah peperangan Ahzab terus berlangsung. Pada
hakikatnya ia adalah peperangan urat syaraf. Pasukan musuh mengepung Madinah
selama tiga minggu di mana serangan demi serangan terus dilakukan sepanjang
siang dan mata mereka tetap terjaga sepanjang malam. Bahkan saking dahsyatnya
pertempuran itu sehingga kaum Muslim tidak mengetahui apakah pasukan musuh
berhasil menduduki Madinah atau tidak, dan apakah para musuh berhasil menembus
lubang yang mereka bangun? Allah SWT menggambarkan keadaan peperangan Ahzab
dalam firman-Nya:
"(Yaitu) ketiha mereka datang kepadamu dari atas dan dari
bawahmu, dan ketiha tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak
sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam
persangkaan. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan hatinya
dengan goncangan yang dahysat." (QS. al-Ahzab: 10-11)
Keadaan semakin buruk di mana orang-orang Yahudi membatalkan
perjanjian mereka dengan kaum Muslim dan mereka bergabung dengan al-Ahzab.
Demikianlah Bani Quraizhah membatalkan perjanjiannya dan mereka lupa terhadap
pengkhianatan bani Nadhir dan pembalasan Nabi saw terhadap mereka. Setiap hari
keadaan semakin buruk.
Kaum Muslim benar-benar mengalami ujian yang berat di mana pikiran
mereka benar-benar kacau. Ketika keadaan mencapai puncaknya kaum Muslim
bertanya kepada Rasul saw, "apa yang harus mereka katakan?"
Rasulullah saw memberitahu agar mereka mengatakan: "Ya Allah, kalahkanlah
mereka dan tolonglah kami untuk mengatasi mereka."
Doa tersebut keluar dari mulut-mulut kaum yang telah melaksanakan
kewajiban mereka dan telah membuat mukjizat mereka dalam menghalau serangan.
Jadi, mereka tidak memiliki apa-apa selain doa dan Allah SWT-lah Yang Maha
Mendengar permintaan hamba-Nya dan Dia yang mengabulkannya. Dia mengetahui
orang yang melaksanakan kewajibannya dan akan mengabulkan orang yang berdoa.
Akhirnya, kaum Muslim benar-benar mendapatkan rahmat Allah SWT.
Kemudian perjalanan pertempuran bergerak dengan cara yang tidak bisa dipahami.
Para penyerang menyadari bahwa mereka sebenamya telah kalah di mana mereka
telah menyerang selama tiga pekan namun serangan tersebut tidak memberikan
hasil apa pun. Mereka telah mencurahkan berbagai upaya namun tanpa memberikan
hasil yang diharapkan dan boleh jadi mereka akan tetap begini selama tiga
tahun.
Kemudian datanglah suatu malam di mana kaum Muslim belum pernah
melihat malam segelap itu dan angin sekencang itu, bahkan saking kerasnya angin
sampai-sampai suaranya laksana halilintar. Bahkan saking gelapnya malam itu
sehingga tak seorang pun di antara umat Islam yang mampu melihat jari-jari
tangannya atau berdiri dari tempatnya karena saking dinginnya cuaca. Kemudian
Nabi saw datang menemui Hudaifah bin Yaman. Beliau tidak mampu melihatnya
meskipun beliau berdiri di sebelahnya. Nabi saw bertanya: "Siapa
ini?" Hudaifah menjawab: "Aku adalah Hudaifah." Nabi saw
berkata: "Oh, kamu Hudaifah." Hudaifah tetap tinggal di tempatnya
karena ia khawatir jika ia berdiri ia akan tidak mampu karena saking dinginnya
dan akan menabrak Rasul saw. Rasul saw berkata kepada Hudaifah, "Aku
kehilangan berita penting tentang keadaan kaum yang menyerang kita."
Hudaifah sebagai mata-mata dari pasukan Islam merasakan ketakutan
di mana ia tidak mampu menahan cuaca yang begitu dingin, lalu bagaimana ia
dapat berdiri dan keluar dari Madinah menuju ke tempat pasukan musuh dan
menyusup di tengah barisan mereka lalu kembali kepada Nabi saw dengan membawa
berita tentang mereka. Hudaifah bangkit dari tempatnya ketika Nabi saw selesai
dari pembicaraannya. Nabi saw memberikan doa kebaikan kepadanya. Hudaifah pun
pergi dan kehangatan keimanannya mengalahkan kegelapan malam dan kedinginan
cuaca. Ia keluar dari Madinah dan menyusup di tengah-tengah pasukan musuh. Nabi
saw memerintahkannya untuk tidak melakukan tindakan apa pun selain mendapatkan
berita dan kembali. Inilah tugas utamanya. Hudaifah sampai di tengah-tengah
musuh. Mereka berusaha menyalakan api namun angin segera mematikannya sebelum
menyala dan di dekat api itu terdapat seorang lelaki yang berdiri sambil
mengulurkan tangannya ke arah api dengan maksud untuk menghangatkannya. Lelaki
itu adalah pemimpin kaum musyrik yaitu Abu Sofyan.
Melihat itu, Hudaifah segera memasang anak panah pada busur yang
dibawanya dan ia ingin memanahnya. Seandainya ia berhasil membunuhnya, maka
kaum Muslim dapat merasa tenang dengannya, namun ia ingat pesan Rasulullah saw
kepadanya agar ia tidak melakukan tindakan apa pun. Kemudian ia kembali
meletakkan anak panahnya dan menyembunyikannya.
Abu Sofyan berkata: "Wahai orang-orang Quraisy situasi saat
ini tidak menguntungkan bagi kalian, maka pergilah kalian karena aku pun akan
pergi." Abu Sofyan melompat ke atas untanya lalu mendudukinya dan
memukulnya sehingga unta itu bangkit.
Hudaifah kembali menemui Rasulullah saw dengan membawa berita
mundumya pasukan Ahzab dan gagalnya serangan mereka. Ketika mendengar peristiwa
penarikan mundur pasukan musuh, Rasulullah saw berkata: "Sekarang kita
akan menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang kita." Belum lama
pasukan Ahzab kembali ke negerinya dengan tangan hampa sehingga beliau keluar
dari Madinah bersama pasukannya menuju ke kaum Yahudi Bani Quraizhah.
Orang-orang Yahudi itu telah mengkhianati peijanjian mereka bersama Nabi saw.
Mereka menipu Islam di saat-saat genting. Oleh karena itu, mereka harus
membayar biaya pengkhianatan mereka sekarang.
Nabi saw memerintahkan agar para sahabat tidak melaksanakan salat
Ashar kecuali di Bani Quraizhah. Kaum Muslim memahami bahwa perintah tersebut
berarti mereka akan menerobos benteng kaum Yahudi sebelum matahari tenggelam.
Orang-orang Yahudi menelan kekalahan pahit lalu mereka datang
kepada Sa'ad bin Mu'ad agar ia memutuskan perkara mereka. Sa'ad adalah pemimpin
kaum Aus dan kaum Aus adalah sekutu orang-orang Yahudi Quraizhah di masa
jahiliah. Kaum Yahudi mengharap bahwa mereka dapat memanfaatkan hubungan yang
terjalin selama ini sebagaimana kaum Aus membayangkan bahwa tokoh mereka akan
memberikan keringanan terhadap sekutu-sekutu mereka. Sa'ad ketika itu terluka
dan ia sedang dirawat di kemahnya karena terkcna panah kauni Ahzab. Sebagian
kaunmya membujuknya agar ia bersikap baik terhadap orang-orang Yahudi,
sekutu-sekutu mereka, dan orang-orang Yahudi membujuknya agar ia bersikap
lembut terhadap mereka. Kemudian Sa'ad mengatakan pernyataannya yang terkenal:
"Telah tiba waktunya bagi Sa'ad untuk memutuskan hukum sesuai dengan
kehendak Allah tanpa peduli dengan celaan para pencela." Sa'ad memutuskan
agar kaum lelaki dibunuh dan keturunannya ditawan serta harta-harta mereka
dibagi-bagikan. Nabi pun menyetujui keputusan tegas Sa'ad itu. Beliau berkata
kepadanya: "Sungguh engkau telah memutuskan kepada mereka dengan keputusan
Allah SWT dari tujuh langit."
Sa'ad mengetahui bahwa perantaraan, permohonan, harapan, dan
menjaga berbagai pertimbangan lazim selayaknya berada di suatu genggaman, dan
masa depan Islam berada di genggaman yang lain. Yahudi Bani Quraizhah adalah
penyebab berkecamuknya peperangan Ahzab dan sumpah mereka dan berbagai tipu
daya mereka berusaha untuk memblokade Islam dan menghancurkannya. Oleh karena
itu, kini telah tiba saatnya untuk mencabut pohon-pohon beracun dari akarnya
tanpa memperdulikan kasih sayang.
Demikianlah kaum Yahudi dibersihkan dari Madinah. Nabi saw kembali
melanjutkan pergulatannya. Puncak dari perjuangan politiknya adalah perjanjian
yang beliau lakukan bersama orang-orang Quraisy. Nabi saw berjalan untuk
melaksanakan umrah dan mengunjungi Baitul Haram. Beliau keluar bersama seribu
empat ratus kaum lelaki yang bertujuan untuk berziarah ke Baitul Haram guna
melaksanakan umrah. Ketika mereka sampai di Hudaibiyah pinggiran kota Mekah,
tiba-tiba unta yang ditunggangi Nabi duduk dan ia tidak mau melangkah menuju
Mekah. Melihat itu para sahabat berkata: "Oh unta itu malas." Nabi
saw berkata: "Tidak Demikian namun ia ditahan oleh Zat yang menahan laju
gajah menuju Mekah. Sungguh jika hari ini orang Quraisy membuat suatu rencana
dan mereka meminta agar aku menyambung tali silaturahmi niscaya aku akan
menyetujuinya."
Nabi saw memerintahkan para sahabat agar tetap tinggal di
Hudaibiyah. Kaum Muslim beristirahat di sana dengan harapan mereka dapat
memasuki Mekah di waktu pagi. Peristiwa itu bertepatan dengan bulan Haram.
Mekah telah menetapkan agar tak seorang pun dari kaum Muslim dapat memasukinya.
Semua kaum Quraisy telah keluar untuk memerangi kaum Muslim. Mereka mengutus
utusan-utusan kepada Nabi saw lalu beliau memberitahu mereka bahwa beliau tidak
datang untuk berperang namun beliau ingin melakukan urnrah sebagai bentuk
pujian dan syukur kepada Allah SWT dan mengagumkan kemuliaan rumah-Nya yang
suci. Mekah menetapkan untuk melakukan perjanjian bersama kaum Muslim di mana
mereka menginginkan agar jangan sampai kaum Muslim memasuki Baitul Haram pada
tahun ini kecuali setelah mereka kembali pada tahun depan.
Datanglah juru runding kaum Quraisy lalu Rasul saw menyambutnya
dan mendengarkan ia menyampaikan syarat-syarat perjanjian yang intinya
pelaksanaan perdamaian dan penarikan mundur pasukan Muslim. Nabi saw menyetujui
semua syarat-syarat perjanjian meskipun tampak bahwa perjanjian tersebut tidak
menguntungkan kaum Muslim di mana itu dianggap sebagai titik kemunduran politik
dan militer kaum Muslim, dan yang menambah kebingungan kaum Muslim adalah bahwa
Rasul saw tidak melibatkan seseorang pun dari kalangan sahabatnya untuk
bermusyawarah dalam hal ini. Tidak biasanya beliau bersikap demikian. Para
sahabat menyaksikan beliau pergi menemui kaum musyrik dan bersikap sangat
lembut kepada mereka, dan beliau tidak kembali kecuali membawa berita
persetujuan dengan perjanjian yang di prakarsai orang-orang musyrik, dan beliau
pun membubuhkan tanda tangan di atasnya.
Para sahabat bergerak untuk menentang Rasulullah saw. Mereka
bertanya kepada beliau, "bukankah engkau utusan Allah SWT? Bukankah kita
kaum Muslim? Bukankah musuh-musuh kita kaum musyrik?" Nabi saw hanya
mengiyakan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Umar bin Khatab kembali bertanya:
"Mengapa kita harus menerima penghinaan dalam agama kita?" Umar ingin
mengungkapkan sesuai dengan bahasa kita saat ini, "mengapa kita harus
mundur kalau kita berada di atas kebenaran? Mengapa kita menerima syarat-syarat
perjanjian yang justru menguntungkan kaum musyrik? Apakah kita takut terhadap
mereka?"
Mendengar berbagai protes yang disampaikan para sahabatnya, Rasul
saw justru menyampaikan jawaban yang unik bagi mereka di mana beliau berkata:
"Aku adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya dan aku tidak mungkin menentang
perintah-Nya dan Dia tidak mungkin akan menyia-nyiakan aku." Makna dari
kalimat beliau adalah, "taatilah apa yang telah aku lakukan tanpa perlu
memperdebatkannya dan hendaklah kalian sedikit bersabar."
Perjalanan hari menetapkan bahwa perjanjian yang menimbulkan pro
dan kontra di tengah-tengah sahabat itu justru membawa kemenangan politik
paling gemilang yang pernah dicapai oleh umat Islam. Kemenangan tersebut
diperoleh sebagai hasil dari kebijaksanaan sang Nabi saw yang mengalahkan
kelihaian politik kaum Quraisy. Kaum Quraisy telah memfokuskan semua
kelihaian-nya agar kaum Muslim kembali ke tempat mereka tanpa memasuki Masjidil
Haram pada tahun ini, namun hikmah Nabi saw justru mampu mencapai pengelihatan
yang tidak dapat dijangkau oleh kaum itu yang berkenaan dengan masa depan. Jika
saat ini perjanjian tersebut tampak membawa kekalahan bagi kaum Muslim, maka
setelah berlangsung beberapa bulan ia justru mendatangkan kemenangan yang
spektakuler.
Suhail bin Amr adalah wakil dari delegasi kaum Quraisy dan Ali bin
Abi Thalib adalah juru tulis dalam perjanjian itu dari pihak Nabi saw.
Rasulullah saw berkata kepada Ali: "Tulislah dengan nama Allah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang." Utusan Quraisy berkata, aku tidak mengenal
ini. Tapi tulislah dengan nama-Mu, ya Allah. Rasulullah saw berkata kepada Ali:
"Dengan nama-Mu, ya Allah." Sikap keras kepala utusan Quraisy itu
tidak berarti sama sekali karena tidak ada perbedaan yang mencolok antara
dengan namamu Allah dan dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang selain niat si pembicara.
Nabi saw berkata kepada Ali: "Ini adalah perundingan antara
Muhammad saw utusan Allah dan Suhail bin Amr." Mendengar itu dengan nada
menentang Suhail bin Amr berkata: "Seandainya aku bersaksi bahwa engkau
adalah utusan Allah niscaya aku tidak akan memerangimu, tetapi tulislah namamu
dan nama ayahmu." Nabi berkata kepada Ali tulislah: "Inilah
kesepakatan antara Muhammad bin Abdillah dan Suhail bin Amr."
Tampaknya itu adalah kemunduran yang kedua dan dengan pandangan
yang sekilas tampak menjatuhkan kaum Muslim tetapi Nabi saw ingin mewujudkan
suatu tujuan yang penting yaitu tujuan yang belum terungkap saat itu. Alhasil,
semuanya terjadi dengan ilham dari Allah SWT. Ali kembali menulis bahwa
Muhammad bin Abdillah dan Suhail bin Amr sama-sama sepakat untuk menghentikan
peperangan selama sepuluh tahun di mana hendaklah masing-masing mereka memberikan
keamanan terhadap sesama mereka. Namun jika terdapat di antara orangorang
Quraisy seseorang yang masuk Islam lalu ia datang kepada Muhammad saw tanpa
izin walinya hendaklah kaum Muslim mengembalikannya kepada kaum Quraisy.
Sebaliknya, jika ada orang yang murtad dari sahabat Muhammad saw, maka tidak
ada keharusan bagi orang Quraisy untuk mengembalikannya kepada Nabi.
Syarat tersebut sangat menyakitkan kaum Muslim. Tampak bahwa
orang-orang Quraisy memaksakan kehendaknya dalam syarat-syarat perjanjian yang
tidak adil itu. Ali melanjutkan tulisannya, hendaklah Nabi saw pulang dari
Mekah pada tahun ini dan tidak memasukinya dan jika pada tahun depan
orang-orang Quraisy keluar darinya, maka beliau dapat memasukinya untuk
melaksanakan umrah selama tiga hari dan setelah itu beliau harus
meninggalkannya. Persyaratan tersebut sangat merugikan kaum Muslim dan terkesan
membingungkan.
Di tengah-tengah perjanjian tersebut terjadi suatu peristiwa yang
menambah penderitaan dan kebingungan Muslimin di mana anak dari juru runding
Quraisy meminta perlindungan kepada kaum Muslim. Ia masuk Islam dan ingin
bergabung dengan kelompok Islam namun ayahnya, Suhail segera bangkit
menyusulnya bahkan memukulnya dan mengembalikannya kepada kaumnya. Orang
Mukalaf itu segera berteriak dan meminta pertolongan kepada kaum Muslim agar
mereka menyelamatkannya dari kejahatan kaum Quraisy sehingga mereka tidak
mengubah agamanya. Rasulullah saw berbicara kepadanya dan meminta kepadanya
untuk bersabar dan tegar dalam menanggung penderitaan karena Allah SWT akan
menjadikannya dan orang-orang yang sepertinya suatu jalan keluar dan
kelapangan. Nabi memahamkannya bahwa beliau telah mengadakan suatu peijanjian
dengan kaum Quraisy dan bahwa kaum Muslim tidak mungkin melanggar perjanjian
mereka.
Akhirnya, anak Muslim itu dikembalikan ke Mekah dalam keadaan
tersiksa. Kemudian Selesailah penandatanganan perjanjian antara pihak kaum
Muslim dan pihak kaum musyrik. Setelah penandatanganan perjanjian itu,
Rasulullah saw memerintahkan para sahabatnya agar mereka memotong hewan kurban
dan mencukur rambut mereka (tahalul) dari umrah mereka dan kembali ke Madinah.
Namun tak seorang pun bangkit menyambut perintah tersebut, lalu beliau
mengulangi perintahnya ketiga kali. Di tengah-tengah kaum Muslim yang tampak
membisu karena ketegangan dan kesedihan, beliau menyembelih unta dan memanggil
tukang cukurnya untuk mencukur rambutnya dan beliau tidak berbicara dengan
seorang pun. Ketika para sahabat mengetahui bahwa Nabi saw tampak marah dan
telah mendahului mereka dengan tahalul dari umrahnya, maka mereka bangkit untuk
menyembelih kurban dan memotong rambut mereka.
Perjalanan hari menunjukkan bahwa perundingan tersebut tidak
seperti yang dibayangkan oleh kaum Muslim. Ia justru membawa kemenangan dan
bukan kekalahan. Persatuan kaum kafir di jazirah Arab mulai runtuh sejak mereka
menandatangani perjanjian itu. Kaum Quraisy di anggap sebagai pimpinan kaum
kafir dan pembawa bendera penentangan terhadap Islam, maka ketika tersebar
berita perjanjian mereka bersama kaum Muslim, maka padamlah fitnah-fitnah kaum
munafik yang bekerja untuk mereka dan bercerai-berAllah kabilah-kabilah
penyembah patung di penjuru jazirah.
Saat aktivitas kaum Quraisy terhenti, maka kaum Muslim mengalami
peningkatan aktivitas di mana mereka berhasil menarik orang-orang yang masih
memiliki kemampuan untuk melihat kebenaran. Sejak dua tahun dari masa
penandatanganan perjanjian itu jumlah penganut Islam semakin bertambah lebih
dari jumlah sebelumnya. Bukti dari itu adalah, bahwa saat Rasul saw keluar ke
Hudaibiyah beliau ditemani dengan seribu empat ratus Muslim namun ketika beliau
keluar pada tahun penaklukan kota Mekah beliau disertai dengan sepuluh ribu
Muslim. Penaklukan kota Mekah terjadi setelah dua tahun dari perundingan
tersebut. Penambahan jumlah kaum Muslim yang luar biasa ini adalah dikarenakan
hikmah sang Nabi saw dan kejauhan pandangannya. Nabi saw keluar sebagai
pemenang dalam pergulatan politiknya, dan syarat-syarat yang tadinya merugikan
kaum Muslim kini telah berubah menjadi syarat-syarat yang merugikan kaum
Quraisy. Barangsiapa murtad dari kaum Muslim dan pergi ke kaum Quraisy, maka
hendaklah mereka melindunginya karena Allah SWT telah memampukan Islam darinya,
dan barangsiapa yang masuk Islam dari kaum kafir dan pergi ke kaum Muslim, maka
hendaklah mereka mengembalikannya ke kaum Quraisy di mana ia tinggal di
dalamnya sebagai mata-mata dari pihak Islam atau ia dapat lari dari kaum
Quraisy untuk menyatukan kelompok yang bertikai dan ia dapat hidup laksana duri
di tengah-tengah kaum Quraisy.
Belum lama waktu berjalan sehingga kaum Quraisy mengutus utusannya
kepada Nabi saw dan mengharap kepada beliau agar melindungi orang Quraisy yang
masuk Islam daripada membiarkan mereka sebagai panah yang terbang menuju kaum
Quraisy. Demikianlah kaum Quraisy justru membatalkan syarat yang telah mereka
diktekan dan Nabi saw pun menerimanya dengan puas. Perundingan itu justru
menguatkan barisan Nabi savv.
Demikianlah Nabi saw terus menjalani mata rantai pergulatan yang
tiada henti-hentinya di mana kehidupan beliau yang pribadi sekali pun tidak
sunyi dari penderitaan. Nabi saw menikahi sembilan orang istri. Perkawinan
beliau dengan sembilan istri tersebut merupakan keistimewaan pribadi yang hanya
beliau miliki karena berhubungan dengan sebab-sebab dakwah Islam. Yaitu suatu
dakwah yang membolehkan para pengikutnya untuk menikahi empat orang istri
dengan syarat jika yang bersangkutan mampu menciptakan keadilan di antara
mereka, dan ia menganjurkan untuk hanya puas dengan satu istri jika seorang
Muslim khawatir tidak dapat berbuat adil.
Kaum orentalis dan musuh-musuh Islam mencoba untuk menghina Nabi
dan memojokkannya, dan salah satu cela yang mereka manfaatkan adalah perkawinan
beliau dengan sembilan wanita. Kita mengetahui bahwa pernikahan-pernikahan
beliau terlaksana dengan sebab-sebab politik atau kemanusiaan yang berhubungan
dengan dakwah Islam. Dan yang terkenal dari sejarah Nabi saw adalah bahwa
beliau menikah dengan Sayidah Khadijah saat beliau berusia dua puluh lima tahun
dan Khadijah berusia empat puluh tahun. Semasa hidup Khadijah beliau tidak
menikahi istri yang lain sampai Khadijah mencapai usia enam puluh lima tahun.
Saat Khadijah meninggal, Nabi berusia di atas lima puluh tahun. Beliau menikahi
Khadijah sebelum beliau diutus untuk menyebarkan Islam. Beliau tetap setia
bersama Khadijah sampai ia meninggal dan beliau diangkat menjadi Nabi. Namun
beban kenabian dan beratnya jihad, kasih sayangnya kepada manusia,
pengorbanannya terhadap Islam dan perintah Allah SWT semua itu memaksanya untuk
menikah lebih dari satu orang istri sampai mencapai sembilan orang istri.
Perkawinan beliau dengan Aisyah yang saat itu masih belia merupakan usaha untuk
menjalin ikatan dengan Abu Bakar, ayah dari Aisyah dan perkawinan beliau dengan
Hafshah meskipun ia sedikit kurang cantik merupakan usaha beliau untuk menjalin
ikatan dengan Umar, ayahnya. Beliau juga menikah dengan Ummu Salamah, janda
dari pemimpin pasukannya yang mati syahid di jalan Allah SWT dan wanita itu
merasakan penderitaan bersama beliau saat hijrah di Habasyah dan hijrah ke
Madinah. Ketika suaminya meninggal dan ia sendirian menghadapi berbagai
persoalan kehidupan, maka Nabi saw segera merangkulnya di rumah kenabian.
Perkavvinan beliau dengan Sawadah sebagai bentuk penghormatan terhadap
keislaman wanita itu dan kemuliannya dari kaum lelaki serta kesendiriannya
dalam menjalani kehidupan. Sementara itu, pernikahan beliau dengan Zainab bin
Jahasy merupakan ujian berat bagi beliau di mana perintah pernikahan itu datang
dari Allah SWT untuk mengharamkan suatu tradisi yang terkenal di kalangan
jahiliah yaitu tradisi adopsi. Zainab termasuk kerabat Rasul. Jadi ia termasuk
dari kalangan bani Hasyim. Ia merasa bangga dengan nasab yang dimilikinya yang
karenanya ia menolak ketika ditawari untuk menikah dengan Zaid bin Harisah, seorang
budak Nabi yang telah beliau bebaskan, bahkan nasabnya telah beliau nisbatkan
kepada dirinya dan beliau telah mengadopsinya sehingga ia dipanggil dengan
sebutan Zaid bin Muhammad. Namun Zainab akhirnya menyetujui pendapat Nabi dan
perintah Allah SWT sehingga ia menikah dengan Zaid:
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula
bagi perempuan yang mukimin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetaphan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhahai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat
dengan kesesatan yang nyata. " (QS. al-Ahzab: 36)
Sejak semula tampak jelas bahwa pernikahan tersebut akan segera
berakhir. Zainab tidak menyukai Zaid dan Zaid pun bukan tipe lelaki yang mampu
menahan kehidupan bersama seorang wanita yang hatinya jauh darinya. Zaid datang
kepada Nabi saw guna mengadu kepada beliau dan meminta izin untuk menceraikan
istrinya. Allah SWT mewahyukan kepada Rasul-Nya agar membiarkan Zaid
menceraikan istrinya, lalu hendaklah beliau menikahinya. Nabi saw merasakan
kesulitan yang luar biasa dan beliau berbicara kepada Zaid agar ia terus
melangsungkan kehidupannya dan bersabar. Nabi saw membayangkan apa yang
dikatakan manusia kepadanya bahwa ia menikahi istri dari anaknya tetapi apa
yang dikhawatirkan oleh Nabi saw justru merupakan sesuatu yang ingin dihapus
oleh Allah SWT. Zaid bukanlah anaknya dan dalam Islam tidak ada sistem adopsi.
Oleh karena itu, Zaid dapat mencerai istrinya lalu Nabi dapat menikahi Zainab
untuk menetapkan apa yang diinginkan oleh Islam. Rasulullah saw mampu bersabar
dan menahan diri saat mendengar berbagai ocehan yang akan dikatakan oleh
manusia kepadanya. Ini bukanlah pengorbanan pertama dan terakhir yang beliau
persembahkan untuk Islam. Berkenaan dengan itu, Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah
telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat
kepadanya: 'Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,' sedang kamu
menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu
takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berrhak kamu takuti. Maka
tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya),
Kami nikahkan kamu dengan dia supaya tidak ada heberatan bagi orang-orang mukmin
untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat
itu telah menyelesaikan keperluannya dari istrinya. Dan adalah ketetapan Allah
itu pasti terjadi. " (QS. al-Ahzab: 37)
Pemikahan beliau dipenuhi dengan unsur politik dan usaha untuk
menyebarkan kebaikan dan rahmat serta penghormatan nilai-nilai yang tinggi dan
menggabungkannya di rumah kenabian. Sementara itu, Ummu Habibah binti Abu
Sofyan bin Harb, pemimpin Quraisy dalam memerangi Islam, berhijrah bersama
suaminya ke Habasyah.
Ia berhadapan dengan keterasingan dan kekhawatiran dalam membela
agama Allah SWT. Kemudian suaminya mati meninggalkannya sendirian dalam
menjalani kehidupan. Sikapnya yang mulia demi menegakkan ajaran Islam dan hanya
menentang ayahnya merupakan nilai lebih yang menyebabkan Rasulullah saw
tertarik untuk menggabungkannya di rumah kenabian.
Pada suatu hari, Abu Sofyan menemuinya saat ia telah menjadi istri
Rasulullah saw. Abu Sofyan ingin duduk di atas tempat tidur Nabi lalu Ummu
Habibah berusaha menjauhkan tempt tidur itu dari ayahnya. Melihat sikap anaknya
itu, ayahnya bertanya kepadanya: "Apakah engkau mulai membenciku?"
Dengan penuh keberaniaan ia menjawab: "Ini adalah tempat tidur Rasulullah
saw dan engkau adalah seorang musyrik, maka engkau tidak boleh
menyentuhnya."
Adapun Shofiyah binti Huyay adalah anak seorang raja Yahudi.
Sedangkan Juwairiyah binti Haris, ayahnya seorang pemimpin kabilah Bani
Musthaliq. Bani Musthaliq menelan kekalahan saat berhadapan dengan kaum muslim
lalu kedua anak perempuan raja dan pemimpin kabilah itu jatuh menjadi tawanan.
Pemikahan Nabi dengan kedua wanita itu terkesan dipaksa oleh orang-orang yang
kalah itu dan sebagai ajakan agar kaum Muslim memperlakukan mereka dengan baik.
Mula-mula kaum Muslim menolak untuk bersikap lembut terhadap ipar-ipar Nabi,
namun Nabi dengan kelembutan sikapnya ingin menyingkap aspek kemanusiaan dalam
peperangannya dan beliau mengisyaratkan kepada kaum Muslim agar mereka
menunjukkan persaudaraan sesama manusia. Peperangan itu sendiri bukan sebagai
tujuan namun ia sebagai usaha mempertahankan Islam dan aspek tertinggi dari
Islam adalah rahmat dan cinta.
Jadi Nabi saw menikahi wanita-wanita dari orang-orang yang kalah
itu dengan maksud agar kebebasan dan kemuliaan kembali kepada keluarga mereka dan
mereka dapat masuk Islam secara puas dan sukarela. Kemudian beliau menikah
dengan Maryam al-Qibtiyah. Muqauqis telah memberikannya kepada Nabi sebagai
budak di mana itu merupakan simbol tali kasih yang diisyaratkan oleh Al-Qur'an
antara Islam dan Masehi dan sebagai bentuk hukum bagi kaum Muslim dengan
dihalalkannya pernikahan dengan wanita-wanita ahlul kitab.
Maryam memberikan anak kepada Nabi saw yang bernama Ibrahim, nama
dari kakeknya, bapak para nabi. Namun Ibrahim tidak hidup lama. Ia meninggal
saat masih menyusu. Kematiannya merupakan ujian bagi Nabi dan sebagai isyarat
dari Ilahi bahwa pewaris-pewaris Rasul dari kaum pria adalah para pengikut
Al-Qur'an dan para pembawa Islam, bukan anak-anak dari sulbinya.
Salah jika ada orang yang membayangkan bahwa Rasul saw mempunyai
banyak waktu untuk mencari kesenangan meskipun halal. Kesenangan diperbolehkan
bagi orang lain namun beliau lebih memilih untuk merasakan penderitaan
berjihad, menegakkan hukum, dan kesabaran. Salah jika ada orang yang
membayangkan bahwa Rasul saw hidup di rumahnya dengan keadaan ekonomi yang
lebih baik daripada orang yang termiskin dari kalangan Muslim di zamannya.
Kehidupan beliau di rumahnya penuh dengan kezuhudan yang luar
biasa sehingga sebagian istrinya mengeluhkan keadaan tersebut. Di antara mereka
ada yang berasal dari keluarga yang kaya seperti keluarga Abu Bakar atau
keluarga Umar bahkan sebagian istrinya bersatu untuk meminta kepada beliau agar
beliau menambah nafkah mereka sehingga Nabi meninggalkan istri-istrinya, lalu tersebarlah
isu yang menyatakan bahwa beliau telah menceraikan semua istrinya. Kemudian
turunlah ayat Takhyir (yaitu ayat yang memberikan pilihan
kepada istri-istri Nabi untuk tetap menjadi istri beliau atau diceraikannya).
Turunlah Al-Qur'an al-Karim memberikan pilihan pada istri-istri Nabi antara
menjalani kehidupan di rumah kenabian dengan penuh kesederhanaan atau menerima
perceraian. Allah SWT berfirman:
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: 'Jika kamu
sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya
kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika
kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di
negeri akhirat, maka Sesungguhnya Allah menyediakan siapa yang berbuat baik di
antaramu pahala yang besar. " (QS. al-Ahzab: 28-29)
Selesailah fitnah. Demikianlah pergulatan di rumah Rasul saw.
Akhirnya, istri-istri beliau memilih kehidupan zuhud dan bersabar serta akhirat
daripada kehidupan dunia. Permintaan istri-istri nabi tidak melebihi hal-hal
yang bersifat mubah, namun Rasul saw merupakan teladan bagi seluruh umat,
karena itu beliau harus menjadi teladan bagi umat sehingga beliau dapat menjadi
cermin tertinggi yang layak diemban oleh seorang yang memegang tampuk kepemimpinan
Muslimin. Allah SWT telah membalas pengorbanan istri-istri Nabi saw dalam
bentuk mengangkat kedudukan mereka dan menjadikan mereka sebagai ibu dari kaum
mukmin. Allah SWT berfirman:
"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin
dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka." (QS. al-Ahzab: 6)
Dan, sebagai penegasan terhadap keibuan spiritual ini, Islam
mewajibkan hijab yang teliti kepada mereka, yaitu suatu hijab yang tidak
diberlakukan seperti itu kepada Muslimah-Muslimah lain. Nabi saw melanjutkan
dakwahnya. Beliau mengirim surat ke raja-raja dan para penguasa di mana beliau
ingin menunjukkan universalitas ajaran Islam. Nabi saw mengajak Kaisar Romawi untuk
mengikuti Islam, lalu beliau mengirim utusan ke Amir Damaskus mengajaknya untuk
memeluk Islam, dan beliau mengutus utusan ke Amir Basrah bagian dari wilayah
Romawi dan mengajaknya untuk mengikuti Islam, dan beliau juga mengirim surat ke
penguasa Qibti dan mengajaknya untuk masuk Islam, dan beliau juga menulis surat
ke Kisra, Raja Persia dan mengajaknya untuk mengikuti Islam. Beliau juga
mengirim utusan ke Amir Bahrain dan mengajaknya untuk mengikuti Islam.
Lalu berbagai reaksi disampaikan berkenaan dengan surat-surat Nabi
itu. Di antara mereka ada yang berusaha menyampaikan kepada pembawa surat bahwa
ia masuk Islam dan mengembalikannya dengan hadiah, dan di antara mereka ada
yang merobek-robek surat itu dan di antara mereka ada yang membalas surat itu dengan
jawaban yang baik, dan di antara mereka ada yang menerima kebenaran.
Demikianlah hari berlalu dalam pergulatan yang tidak pernah padam, suatu
pergulatan yang dipimpin oleh Nabi sehingga beliau menaklukkan Mekah dan
menyucikan jazirah Arab. Akhirnya, manusia masuk dalam agama Allah SWT dalam
keadaan berbondong-bodong, dan Allah SWT menyempurnakan agama bagi kaum Muslim
dan Nabi saw melaksanakan haji wada' (haji yang terakhir) dan turunlah kepada
beliau wahyu di Arafah sebagaimana firman-Nya:
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itujadi agama
bagimu. " (QS. al-Maidah: 3)
Ayat tersebut dibacakan kepada Abu Bakar sehingga ia menangis.
Allah SWT merasa bahwa telah tiba waktunya untuk mengakhiri misi Rasul-Nya.
Aisyah berkata kepada anak-anak yang berteriak dan bermain-main di luar rumah:
"Diamlah kalian karena Rasulullah saw sedang sakit." Anak-anak itu
pun terdiam dan mereka merasakan ketakutan yang luar biasa. Pada hari-hari
terakhir, Rasulullah saw tidak lagi bercanda dengan mereka sebagaimana yang
biasa beliau lakukan.
Mereka memperhatikan bahwa kepucatan yang aneh menyelimuti Nabi
saw yang biasanya wajah beliau dipenuhi dengan senyuman hingga wajahnya laksana
lempengan emas. Nabi saw yang terakhir masuk dalam rumahnya dan hampir saja
beliau tidak kuat menahan langkah kedua kakinya. Beliau memasuki rumahnya dan
bersandar kepada tangan Fadl bin Abbas dan Ali bin Abu Thalib. Beliau merasakan
keletihan dan kesakitan. Kemudian Aisyah menidurkan beliau di atas ranjangnya
yang kasar dan Aisyah meletakkan tangannya di atas kening beliau. Kepala beliau
tampak panas karena saking hebatnya demam. Aisyah berkata dalam keadaan kedua
matanya mengucurkan air mata, "demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah apakah
engkau merasakan sakit?" Nabi saw tersenyum untuk menenangkan Aisyah lalu
beliau tertidur. Kemudian mengalirlah dalam memori Nabi saw berbagai gambar
hidup: Jibril turun kepada beliau dengan membawa wahyu di gua Hira. Beliau telah
melewati waktu yang diberkati selama dua puluh tiga tahun, yang sekarang tampak
seperti mimpi. Bahkan empat puluh tahun yang mendahuluinya tampak seperti
gambar yang hanya dilukis sesaat.
Segala sesuatu menjadi mudah bagi Allah SWT dan Rasulullah saw
telah berhasil melalui berbagai penderitaan dengan penuh kesabaran, bahkan
beliau tidak pernah mengeluh sekali pun. Beliau mengajarkan akidah kepada para
pengikutnya dengan penuh kemantapan. Akhirnya, Islam menjadi mulia dan
benderanya semakin berkibar. Kemudian beliau bangun karena melihat tangisan
yang tersembunyi dari Aisyah. Beliau membuka kedua matanya dan melihat wajah
Aisyah sambil beliau sendiri berusaha melawan rasa pusing, demam, dan sakit
yang dirasakannya. Beliau kembali tersenyum untuk menenangkan Aisyah dan beliau
kembali memejamkan matanya dan tidak sadarkan diri. Apa gerangan yang
menyebabkan Aisyah menangis? Tidakkah Allah SWT memahkotai jihad Nabi saw yang
berat dengan penaklukan Mekah dan penyucian Baitul Haram?
Berbagai gambar hidup dan aktual melayang-layang dalam memori Nabi
saw. Beliau mengingat bagaimana tindakan orang Quraisy ketika membantalkan
perjanjian Hudaibiyah dan mereka memerangi Khaza'ah yang saat itu bersekutu
dengan kaum Muslim dan akhirnya mereka membunuh semua sekutu kaum Muslim di
Baitul Haram. Kemudian beliau berjalan bersama pasukan yang berjumlah sepuluh
ribu di mana semua pasukan telah siap, dan tentara Muslim turun dari gunung
Mekah laksana air bah yang tidak berhenti sedikit pun. Telah lewatlah masa para
pembawa tombak, panah, dan pedang; telah lewatiah masa di mana Rasulullah saw
memimpim pasukan yang di dalamnya terdapat kaum Muhajirin dan Anshar. Di
tengah-tengah pasukan besar tersebut yang berhasil menaklukkan Mekah, Nabi saw
menunggangi untanya dan beliau menundukkan kepalanya dengan penuh rendah diri
di hadapan Allah SWT sampai-sampai kepalanya hampir menyentuh punggung unta
yang dinaiki. Pintu Mekah terbuka untuk pasukan ini.
Para pemimpin Mekah dan pengikut-pengikut mereka menyerahkan diri.
Kalimat Allah SWT semakin meninggi di dalamnya. Nabi saw memasuki Baitul Haram
lalu beliau berkeliling di sekitar Ka'bah. Beliau menghancurkan berbagai patung
yang berbaris di sekitarnya, lalu beliau memukulnya dengan kampaknya. Kemudian
patung-patung itu berjatuhan dan hancur. Setelah beliau membersihkan masjid
dari berbagai patung dan mengembalikannya sebagaimana yang diciptakan oleh
Allah SWT sebagai rumah tauhid yang mutlak, beliau menoleh kepada orang Quraisy
dan memaafkan mereka dan mengajak mereka untuk kembali ke jalan Allah SWT.
Kemudian tibalah waktu salat, lalu Bilal naik di atas punggung Ka'bah dan
mengumandangkan Azan. Penduduk Mekah mende-ngarkan panggilan baru ini di mana
gemanya berputar-putar di antara gunung:
"Allah Maha Besar. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah.
Aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah. Marilah melaksanakan salat. Marilah
menuju keberuntungan. Allah Maha Besar. Tiada Tuhan selain Allah."
Akhirnya, rumah itu dikembalikan kehormatannya dan kemuliannya.
Kemudian lagi-lagi arus berbagai gambar terlintas dalam memorinya: itulah
peperangan Hunain dengan kekalahannya, kemenangannya, dan ganimahnya; Itulah
Nabi saw yang memberikan ganimah terhadap orang-orang yang bergabung dengan
Islam hanya dua hari dari penduduk Mekah, dan mencegah untuk memberi ganimah
Hunaian kepada kaum Anshar yang telah memberikan segalanya untuk Islam. Salah
seorang di antara mereka berkata: "Demi Allah, Rasulullah saw telah
menemui kaumnya." Sa'ad bin 'Ubadah berjalan ke arah Rasulullah saw dan
memberitahunya bahwa kaum Anshar sedang marah. Rasul saw bertanya:
"Mengapa marah?" Sa'ad menjawab: "Mereka protes saat engkau
membagikan ganimah ini pada kaummu dan pada seluruh orang Arab namun mereka
tidak mendapatkan apa-apa." Rasulullah saw bertanya kepada Sa'ad bin
Ubadah: "Kamu sendiri bagaimana pendapatmu wahai Sa'ad?" Sa'ad
berkata: "Aku tidak lain kecuali seseorang dari kaumku." Rasulullah
saw berkata: "Kumpulkanlah kepadaku kaummu untuk masalah yang penting ini
dan jika kalian telah berkumpul, maka beritahulah aku."
Sa'ad mengumpulkan seluruh kaum Anshar lalu ia memberitahu Rasul
saw bahwa ia telah mengumpulkan mereka. Rasulullah saw keluar menemui mereka
dan berdiri di hadapan mereka sambil memuji Allah SWT dan kemudian berkata:
"Wahai orang-orang Anshar, tidakkah aku datang kepada kalian saat kalian
dalam keadaan sesat lalu Allah SWT memberikan petunjuk kepada kalian, dan
kalian menjadi orang-orang yang fakir lalu Allah SWT memampukan kalian, dan
kalian dalam keadaan bermusuhan lalu Allah SWT menyatukan hati kalian?" Mereka
menjawab: "Benar." Rasulullah saw berkata: "Mengapa kalian tidak
menjawab wahai kaum Anshar?" Mereka berkata: "Apa yang kita akan
katakan wahai Rasulullah dan dengan apa kita akan menjawabnya. Sungguh segala
karunia hanya milik Allah SWT dan Rasul-Nya."
Rasulullah saw berkata: "Demi Allah, seandainya kalian mau
niscaya kalian akan mengatakan dan benar apa yang kalian katakan: Engkau datang
kepada kami sebagai seorang yang terusir, maka kami melingdungimu dan engkau
datang dalam keadaan miskin lalu kami menghiburmu dan engkau datang dalam
keadaaan ketakutan lalu kami mengamankanmu dan engkau datang dalam keadaan
teraniaya lalu kami menolongmu." Mereka berkata: "Segala puji dan
karunia bagi Allah SWT dan Rasul-Nya." Rasulullah saw berkata: "Wahai
kaum Anshar, apakah kalian akan marah terhadap harta yang telah aku berikan
kepada suatu kaum dengan harapan agar keimanan meresap dalam hati mereka dan
kalian justru melupakan karunia yang telah Allah SWT berikan kepada kalian
dalam bentuk nikmat Islam. Tidakkah kalian wahai kaum Anshar merasa puas ketika
manusia pergi untuk melakukan perjalanan di musim dingin sedangkan kalian pergi
dengan Rasulullah saw. Maka demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya
manusia melalui suatu jalan dan kaum Anshar melalui jalan yang lain niscaya aku
akan melalui jalan kaum Anshar. Ya Allah, rahmatilah kaum Anshar dan anak-anak
kaum Anshar dan cucu kaum Anshar."
Mendengar doa itu, kaum tersebut menanggis sehingga jenggot mereka
terbasahi dengan air mata dan mereka berkata: "Kami rela dengan Allah SWT
sebagai Tuhan dan sangat puas dengan pembagian Rasulullah saw." Kemudian
Nabi saw pun meninggalkan mereka dan mereka pergi dalam keadaan puas.
Orang-orang Anshar memahami bahwa Muslim yang hakiki di dunia adalah seorang
yang datang di dunia untuk memberi, bukan untuk mengambil. Nabi saw terbangun
dan beliau mendapati dirinya sendirian di kamar. Suhu tubuh beliau meningkat
karena demam, lalu beliau memanggil Aisyah dan meminta kepadanya untuk membawa
air yang dapat digunakannya untuk mendinginkan tubuhnya. Aisyah mulai
menuangkan air kepada Rasulullah saw sampai demam beliau berangsur-angsur
sedikit menurun. Tampak bahwa waktu berlalu cukup lambat dan berat. Sakit
Rasulullah saw semakin meningkat.
Beliau mulai merasa bahwa tidak mampu lagi untuk salat bersama
para sahabat, lalu beliau memerintahkan Abu Bakar untuk salat bersama mereka.
Pada saat Nabi mengalami antara keadaan terjaga dan tidur, beliau selalu
berpikir apa gerangan yang belum disampaikannya kepada manusia. Beliau telah
menyampaikan segala sesuatu dan telah mengajari mereka segala sesuatu serta
telah meninggalkan sebuah Kitab yang siapa pun berpegangan dengannya ia tidak
akan sesat.
Rasul saw mulai mengantuk dan berbagai nostalgia terlintas di
kepalanya. Beliau melihat dirinya di haji Wada'. Selesailah perjanjian yang
diberikan kepada kaum musyrik dan mereka telah dilarang untuk memasuki Masjidil
Haram dan sekarang Nabi saw keluar sebagai pemimpin haji dan mengajari kaum
Muslim cara manasiknya. Rasulullah saw memperhatikan ribuan orang-orang yang
bertauhid saat mereka menuju Baitul Haram dalam keadaan memenuhi panggilan
Tuhan dan tunduk kepadanya. Mereka menghidupkan memori kakek mereka, Ibrahim
Khalilullah. Nabi saw berdiri dan berpidato di tengah-tengah keramaian itu.
Nabi saw mulai merasakan bahwa kehidupannya di dunia sebentar lagi akan
berakhir. Beliau mengetahui bahwa kafilah ini akan pergi sendirian dalam
menjalani kehidupan. Beliau kembali menanamkan nilai-nilai Islam dan wasiat
dakwah di jalan Allah SWT. Setelah berjuang selama dua puluh tiga tahun
menegakkan agama Allah SWT, beliau bertanya kepada mereka: "Apakah aku
telah menyampaikan amanat Tuhan?" Lalu manusia yang hadir saat itu
menyatakan bahwa beliau benar-benar telah menyampaikan dakwah. Beliau memanggil
Mu'ad bin Jabal dan mengajarinya bagaimana berdakwah kepada manusia di jalan
Allah SWT dan bagaimana mengenalkan agama kepada mereka.
Kemudian beliau berwasiat kepadaa Mu'ad saat ia menunggangi
kendaraannya sedangkan Rasulullah saw beijalan di sebelah untanya:
"Sesungguhnya orang yang paling utama di sisiku adalah orang-orang yang
bertakwa, siapa pun mereka dan di mana pun mereka." Nabi saw adalah rahmat
bagi semua manusia dan sebagal cermin yang tertinggi dari cermin persaudaraan
dan kepatuhan. Beliau menegakkan Al-Qur'an di tengah-tengah umat Islam namun
beliau menolak segala bentuk penampilan yang biasa melekat pada seorang
penguasa atau raja atau pemimpin apa pun. Beliau berkata kepada para
sahabatnya: "Aku hanya seorang hamba Allah SWT dan Rasul-Nya."
Beliau keluar menemui sekelompok sahabatnya lalu sebagai bentuk
penghormatan kepada beliau mereka berdiri. Kemudian beliau memerintahkan kepada
mereka agar tidak berdiri. Ketika beliau keluar untuk menemui
sahabat-sahabatnya dan murid-muridnya, maka beliau duduk bersama mereka di
tempat terakhir yang ditemukannya. Beliau sangat bersahabat dan ramah dengan
para sahabatnya, bahkan beliau bercanda dengan anak-anak mereka dan mendudukkan
mereka di ruangannya. Beliau memenuhi panggilan orang dewasa maupun anak-anak.
Beliau membesuk orang-orang yang sakit meskipun berada di tempat yang jauh.
Beliau menerima alasan orang yang mempunyai uzur. Beliau mendahului orang yang
ditemuinya dengan salam bahkan beliau mendahului berjabat tangan dengan para
sahabatnya.
Ketika seseorang datang untuk menemuinya saat beliau salat, maka
beliau mempersingkat salatnya dan menanyakan keperluan orang itu. Setelah
menyelesaikan keperluan manusia, beliau kembali menyelesaikan shalatnya. Beliau
selalu menebar senyum kepada kawan dan lawan dan memiliki kepribadian yang
paling baik. Ketika beliau berada di rumahnya, beliau melayani keluarganya.
Beliau mencuci bajunya. Beliau memperbaiki sandalnya dan memberi minum unta.
Beliau makan bersama pembantu. Beliau memenuhi kebutuhan orang yang lemah,
orang yang sedih, dan orang yang miskin. Bahkan kebaikan beliau dan kasih
sayangnya sampai pada tingkat di mana beliau membiarkan cucunya menaiki
punggungnya saat beliau sedang shalat.
Kasih sayang beliau tidak hanya terbatas kepada manusia bahkan
juga tertuju pada binatang dan pohon. Beliau memberi makan binatang dengan
tangannya sendiri bahkan beliau pernah merawat anjing yang sakit. Beliau
memerintahkan pasukan Islam saat berperang demi menegakkan keadilan Islam agar
mereka tidak membunuh anak kecil, orang tua, kaum wanita dan hendaklah mereka
tidak mencabut pohon dan tidak pula merobohkan rumah.
Apa yang dibawa oleh Nabi saw bukan hanya suatu undang-undang yang
mengatur hubungan antara manusia dan manusia yang lain, dan apa yang dibawa
oleh Nabi saw bukan hanya berisi suatu sistem untuk meningkatkan kualitas
kehidupan dan kemajuannya, ini semua adalah hal relatif namun beliau datang
dengan membawa peradaban yang abadi yang mengatur hubungan antara manusia dan
alam, dan mengembalikan keserasian di alam wujud sehingga semua berjalan secara
seimbang dan mencapai kesempurnaan menuju Allah SWT. Meskipun pada titik
terakhir dari kehidupannya, beliau masih sibuk mengurusi masa depan dakwah dan
beliau sangat cemas terhadap masa depan agama dan sangat peduli dengan problema
kaum Muslim. Beliau khawatir suatu saat Islam hanya tinggal namanya namun
hakikatnya telah lenyap. Namun sebelum beliau meninggal, Allah SWT telah
memperlihatkan kepada beliau sesuatu yang membuat hati beliau menjadi tenang.
Dan di hari Senin dari bulan Rabiul Awal yang mulia, beliau kembali kepada
Tuhannya dalam keadaan ridha dan diridhai.
Salam kepadamu ya Rasulullah dan kepada keluarga serta sahabat
yang setia bersamamu.♦
Tidak ada komentar:
Posting Komentar