Minggu, 21 Oktober 2012

Haji Akbar





Di kalangan kaum Muslimin terdapat pendapat umum yang menyebutkan bahwa apabila hari Arafah jatuh pada hari Jumat maka ibadah haji mereka bertepatan dengan haji akbar.

Jika kita merujuk kepada Alquran, maka haji akbar adalah haji terakhir Rasulullah SAW tahun ke-10 hijriyah. (QS. At-Taubah: 3). Memang saat itu hari Arafah jatuh pada hari Jumat. Sehingga tidak terlalu salah menganalogikan saat itu dengan saat ini, apalagi faktor dan unsurnya sama.

Namun lebih dari itu, substansi haji akbar sebenarnya adalah tidak diperkenankan lagi kaum musyrikin melakukan tawaf di Masjidil Haram setelah tahun ke-9 hijriyah. Kedua, diturunkannya wahyu terakhir Alquran yang berarti telah sempurnanya ajaran Islam.

Istilah haji akbar dan asghar sendiri berbeda-beda di kalangan ulama tafsir. Ibnu Shihab menukil pendapat Humaid bin Abdurrahman mengatakan bahwa yang disebut haji akbar adalah hari ke-10 Dzulhijjah (yaum An-Nahr) karena pada hari tersebut pelaksanaan ibadah haji telah dilakukan dengan sempurna.

Sementara haji asghar menurut jumhur ulama sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani bisa berarti hari Arafah (9 Dzulhijjah) dan bisa pula berarti umrah.

Memang tidak dapat dimungkiri bahwa hari Arafah dan Nahr (9-10 Dzulhijjah) merupakan hari terbaik sepanjang tahun, semisal malam terbaik di malam Jumat dan Lailatul Qadr. Sedangkan Jumat adalah hari terbaik dalam hitungan satu pekan.

Jika dua keutamaan hari tersebut bertemu dan menyatu, maka tidak dapat dimungkiri akan melahirkan keutamaan baru yang besar dan dahsyat, di antaranya: bertemunya dua waktu yang mustajab, bertemunya dua hari raya mingguan dan tahunan, bertepatan dengan penghapusan Allah SWT atas dosa-dosa jamaah haji.

Juga bertepatan dengan wahyu terakhir Rasulullah SAW, bertepatan dengan waktu haji wada' Rasulullah SAW, bertepatan dengan akan terjadinya hari kiamat (Jumat), bertepatan dengan hari dikumpulkannya seluruh umat manusia di Mahsyar, dan bertepatan dengan hari pengumpulan Allah SWT bagi ahli surga.

Sehingga tidak ada yang salah dalam memanfaatkan bertemuanya dua momentum akbar dan istimewa tersebut untuk meninggikan kualitas ibadah yang kita lakukan. Yang penting untuk diluruskan adalah bahwa anggapan jika Arafah tepat hari Jumat berarti haji akbar, dibangun atas dasar qiyas (logika) dan tidak disandarkan pada Alquran dan as-Sunnah.

Dengan pengertian ini, diharapkan kaum Muslimin yang telah melaksanakan "haji fardu" tidak berburu pelaksanaan haji lagi dengan anggapan haji akbar atas dasar pemikiran bertemunya dua keutamaan, sehingga pemikiran ekonomisnya menyatakan bahwa pahala ibadah haji tersebut menyamai 70 atau 72 kali haji biasa atau bahkan seakan-akan haji bersama Rasulullah SAW.

Hal tersebut karena jika bapak dan ibu haji mengharapkan pahala berlimpah, caranya tidak mesti dengan pelaksanaan ibadah haji yang kedua atau seterusnya, melainkan masih terdapat puluhan cara lain yang lebih elegan, progresif, serta bermanfaat bagi kemanusiaan dan sosial.

Disamping itu, memberikan kesempatan kepada mereka yang melaksanakan "haji fardu" tentu merupakan pahala tersendiri bagi para pelaksana "haji sunah", agar mereka yang "haji fardu" dapat melaksanakan hajinya dengan penuh kekhusyukan, penghayatan dan kenyamanan sebab kehadiran mereka di Tanah Suci menjadi kenangan paling manis sepanjang hidup. Wallahu a'lam.

Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar