A.
Bismillahir Rahmanir Rahim (Dengan
nama Allah Yang Mahapengasih Mahapenyayang)
Dengan nama Allah yang rahmat-Nya
meliputi segala sesuatu dan kemurahan-Nya bersifat kekal nan abadi. Kalimat
bismillahirrahmanirrahim merupakan pembuka setiap surat dalam al-Quran dan
seyogianya dibaca seorang muslim sebelum memulai setiap aktifitasnya. Sungguh
teramat penting untuk memulai segala sesuatu dengan nama Allah yang Mahaagung.
Dimulai dan diakhirinya kehidupan
seseorang harus disertai dengan mengucapkan nama Allah swt. Seorang muslim akan
memulai hari-hari kehidupannya di dunia ini dengan menyebut nama Allah swt.
Dan dirinya juga harus mengakhiri
aktifitas sehari-harinya dengan menyebut nama-Nya. Ia pergi tidur seraya
mengingat dan mengharap pertolongan Allah swt; demikian pula ketika dirinya
bangun di pagi hari untuk memulai kembali kegiatan rutinnya. Akhirnya, ia
meninggalkan kehidupan di dunia fana ini, untuk kemudian melangkah menuju
keabadian, dengan menyebut nama Allah swt.
B. Alhamdu
Lillahi Rabbil ‘Alamin (Segala
Puji Bagi Allah Tuhan Semesta Alam)
Segala puja-puji hendaknya dipanjatkan
ke hadirat Allah swt karena seluruh keagungan hanyalah milik-Nya dan segenap
rahmat hanya tercurah dari-Nya. Segenap kebajikan dan kesempurnaan hanya
kembali kepada-Nya.
Dengan memuji Allah swt, sesungguhnya
kita tengah memuji kebaikan dan kesempurnaan mutlak. Dan semua itu niscaya akan
menuntun kita dalam menggapai kesempurnaan dan kebaikan insani.
Kita harus yakin bahwa sejumlah tulang
yang kuat dalam tubuh kita semata-mata berasal dari-Nya. Itulah Dia yang menciptakan
kita sedemikian rupa sehingga kita mampu meraih kebajikan dan menggapai
kemuliaan diri. Allah swt telah menganugerahkan kita kemampuan untuk merancang
keputusan demi mencapai suatu tujuan yang penuh berkah.
Dengan anugerah Allah swt berupa
kemampuan dan kecerdasan diri tersebut, manusia diharapkan dapat memanfaatkan
segenap potensi fitrahnya demi menciptakan kesejahteraan bagi dirinya dan orang
lain. Dan Allah swt melarang manusia untuk mementingkan dirinya sendiri dan
menyia-nyiakan atai menyalahgunakan potensinya itu.
Pernyataan Rabbil ‘Alamin (Tuhan
semesta alam) menyiratkan bahwasanya selain bumi ini, terdapat pula bumi-bumi
lainnya yang terhubung satu sama lain.
Karenanya, orang yang beriman akan
berpikir bahwasanya di jagat raya ini terdapat banyak planet, galaksi, dan
sesuatu lainnya yang berada di luar jangkauan penglihatannya yang serba
terbatas. Allah swt adalah Pemilik alam semesta dan segenap apa yang ada di
dalamnya.
Dengan itu, wawasan berpikir seorang
hamba akan semakin luas dan mendalam. Dan dirinya akan merasa bangga dan
beruntung dikarenakan memiliki kemampuan untuk memahami semua itu.
Dirinya akan menjumpai kenyataan bahwa
seluruh umat manusia, hewan, tumbuhan, dan segenap keberadaan lainnya di jagat
raya ini semata-mata diciptakan Allah swt. Allah swt bukan hanya Tuhan dirinya,
sukunya, bangsanya, atau sejenisnya semata.
Namun, Allah swt adalah juga Tuhan
dari segenap planet, galaksi, dan berjuta-juta bintang di langit. Allah swt
menantiasa mengawasi kita semua serta menyayangi segenap ciptaan-Nya; mulai
dari yang terkecil (seperti semut), sampai yang paling besar sekalipun
(galaksi, misalnya).
Dengan meyakini konsep tersebut,
seorang hamba tidak akan merasa hidup sendirian. Ia yakin bahwa dirinya
merupakan bagian dari keluarga besar umat manusia serta pelbagai mekhluk
lainnya. Lebih khusus lagi, ia akan memiliki hubungan yang dekat dengan maujud
lain yang seolah-olah menyertainya menaiki bahtera yang sama; bahtera mana yang
secara umum bergerak berdasarkan sunnatullah (ketetapan Allah).
Dengan meyakini bahwa dirinya memiliki
keterkaitan dengan makhluk lain, ia kemudian merasa berkewajiban untuk membantu
dan membimbing umat manusia (ke jalan yang benar) sesuai dengan kemampuannya.
Selain itu, ia juga akan semakin
terpacu untuk merenungkan dan mengkaji lebih mendalam, apa-apa yang ada di
jagat alam ini. Kelak, ia akan meraih keuntungan yang melimpah-ruah dari semua
itu dan akan senantiasa memanfaatkannya secara bijak, sesuai dengan fungsinya
masing-masing.
C.
Ar-Rahmanir Rahim (Mahapengasih
Mahapenyayang)
Secara umum, kemurahan dan kasih
sayang Allah swt meliputi segenap makhluk-Nya. Dengan kata lain, berdasarkan
hukum alam, seluruh makhluk akan memperoleh keuntungan dari segenap pemberian
Allah (Rahman).
Namun, di sisi lain, terdapat pula
kasih sayang dan rahmat Allah swt yang hanya diperuntukkan bagi umat manusia,
khususnya bagi orang-orang yang menyembah-Nya dan mematuhi segenap perintah-Nya.
Kemurahan khusus ini bersifat abadi
dan akan menantiasa menyertai seseorang untuk selama-lamanya (Rahim).
Berdasarkan itu, kita memahami bahwasanya terdapat dua jenis rahmat Allah; yang
satu bersifat umum dan sementara, di mana setiap orang bisa mendapatkannya; dan
satunya lagi bersifat khusus dan abadi, di mana hanya diperuntukkan bagi
orang-orang yang selalu memperbaiki dirinya.
Penyebutan nama Allah swt dan
pengakuan atas belas kasih-Nya merupakan pernyataan pembuka dari al-Quran,
shalat, dan setiap surat dalam al-Quran. Penempatan kalimat tersebut lebih
menekankan sifat pengasih dan penyayang-Nya ketimbang kemurkaan dan
kemarahan-Nya.
Adapun sifat yang terakhir disebutkan
lebih ditujukan bagi orang-orang yang keras kepala, gemar membangkang, tidak jujur,
dan berperilaku buruk. Ya, kemurahan-Nya sungguh tak terbatas dan meliputi
segenap makhluk-Nya.[7]
D. Maliki
Yaumid Diin (Pemilik Hari
Kemudian)
Hari kemudian adalah Hari akhir.
Setiap orang tentu akan mengalaminya. Baik orang-orang ateis (tidak bertuhan)
dan materialis, maupun orang-orang beriman dan bertuhan sama-sama bersepakat
tentang adanya Hari Akhir. Namun, setiap kelompok memiliki penafsiran
masing-masing tentangnya. Kaum materialis lebih memandangnya sebagai proses
mengalir dan berlalunya waktu (jam, hari, dan tahun), yang darinya kemudian
terjadilah ketuaan dan kematian.
Namun, orang-orang yang beriman kepada
Allah swt memiliki pandangan jauh lebih luas. Dirinya tidak menganggap bahwa
kehidupan di dunia berakhir begitu saja. Sebaliknya, ia meyakini adanya Hari
Pengadilan.
Hal ini meniscayakan dirinya hanya
akan melakukan perbuatan yang memiliki ganjaran pahala seraya menghindari
perbuatan dosa, khususnya terhadap mekhluk lain.
Sebabnya, di Hari Pengadilan kelak, ia
akan ditanya tentang apa yang telah diperbuat selama hidup di dunia. Seseorang
yang berpandangan demikian niscaya akan berusaha menjaga perilakunya dan tetap
menyandarkan harapannya semata (kepada Allah swt) sampai kapan pun. Mengingat
bahwa dirinya kelak akan dibangkitkan di hadapan Allah swt, penguasa Hari
Pengadilan, seorang hamba tentu akan berusaha untuk mengarahkan perhatiannya
semata-mata kepada Allah swt dan hanya berbuat demi menggapai keridhaan-Nya.
Ia mencari pengetahuan dengan tujuan
meningkatkan kualitas dirinya dan juga untuk membantu manusia. Inilah perbuatan
yang sesuai dengan keinginan Allah swt.
Pada sisi lain, dengan mengetahui
bahwa Allah swt akan menjadi hakim absolut di Hari Pengadilan nanti, dirinya
sama sekali tidak akan tertarik untuk melakukan tipu daya, penyelewengan dan
kemunafikan. Ia juga akan berkeyakinan bahwa sesuatu yang diperoleh dengan cara
yang keliru atau kesejahteraan hidup yang dibangun di atas dasar kezaliman
tidak akan pernah menguntungkan dirinya. Sebaliknya, ia malah akan diganjar
hukuman nan pedih atas perbuatannya itu. Sejauh kini kita telah membahas bagian
pertama dari surat al-Fatihah yang berkenaan dengan pujian kepada Allah swt dan
sifat-sifat-Nya. Bagian kedua darinya (yang akan kita bahas di bawah ini)
berkenaan dengan ketundukan seorang hamba kepada Allah demi memohon keselamatan
dari-Nya serta mengharap agar Allah swt membimbingnya di atas jalan yang lurus.
Beberapa ajaran ideologi Islam yang bersifat mendasar juga ditetapkan dalam
bagian ini.
E. Iyyaaka
Na’budu (Kepada-Mu lah Kami
Menyembah)
Maksudnya, segenap keberadaan kita dan
apapun kemampuan kita (baik secara fisik, mental, maupun spiritual) semata-mata
berada di tangan Allah swt. Dan kita wajib melaksanakan segenap perintah-Nya.
Pernyataan suci ini pada dasarnya
menghendaki seorang hamba tunduk patuh di hadapan Allah swt dan membebaskan
dirinya dari segenap belenggu penghambaan kepada tuhan-tuhan lain. Dirinya
wajib menolak seluruh tuhan lain, terlebih tuhan-tuhan yang dalam sejarah umat
menusia di masa lalu telah menciptakan pembedaan sekaligus penindasan di
tengah-tengah masyarakat. Setiap orang yang beriman tentunya selalu berpikiran
maju.
Ia beserta orang-orang beriman lainnya
tidak akan pernah tunduk kepada orang lain atau sistem tertentu, kecuali orang
atau sistem tersebut berpijak di atas jalan yang diridhai Allah swt.
Prinsip utama dalam Islam serta
segenap agama langit lainnya adalah tidak menyembah apapun kecuali Allah swt
dan hanya tunduk patuh kepada-Nya.
Sejumlah orang tidak memahami makna
yang sebenarnya dari prinsip ini dan secara tidak sadar menyembah makhluk lain.
Mereka menganggap bahwa hanya dengan berdoa kepada Allah swt dan mengingat
nama-Nya, dirinya telah menyembah semata-mata kepada Allah swt.
Dalam pandangan al-Quran dan hadis
Nabi saw, cara berpikir semacam itu jelas keliru. Makna penyembahan atau
pemujaan dalam al-Quran dan juga hadis Nabi saw adalah kepatuhan dan ketundukan
mutlak terhadap segenap perintah. Perintah tersebut bisa berasal dari sumber tersendiri
ataupun kolektif.
Dan dalam menunaikan ibadah shalat,
seseorang bleh jadi menyertakan ketundudukannya, atau bahkan tidak sama sekali.
Karena itu, siapapun yang tunduk serta melaksanakan perintah seorang penguasa
atau sistem yang zalim yang tidak mendasari dirinya di atas hukum-hukum Allah
swt, tak lain dari pengikut dan pendukung sang penguasa atau sistem tersebut.
Dan bila orang-orang seperti itu
mengabaikan beberapa ketentuan (penguasa atau sistem yang zalim) dalam
kehidupan pribadi atau sosialnya untuk kemudian menyembah Allah swt, maka
sesungguhnya mereka adalah kaum politeis (menyembah lebih dari satu tuhan.
Adapun jika tidak pernah menyembah
Allah swt sama sekali, maka mereka tergolong orang-orang yang kafir
(orang-orang yang menyangkal keberadaan Tuhan atau bertingkah laku seolah-olah
Tuhan tidak ada).
Dengan ditopang pengetahuan tentang
Islam, kita dengan mudah dapat menemukan alasan tentang mengapa seluruh agama
langit sebelum Islam sangat menjunjung semboyan dasar laa ilaaha illallah
(tidak ada Tuhan kecuali Allah).[8] Kita
juga akan memahami apa yang mereka katakan, apa tujuan utamanya, dan
siapa-siapa yang menentang.
Konsep yang berkenaan dengan persoalan
penyembahan yang acapkali dinyatakan dalam al-Quran dan hadis Nabi saw[9] ini
kiranya sangatlah jelas sehingga dipastikan akan menghapus keraguan yang muncul
dalam benak intelektual. Sebagai contoh, al-Quran mengatakan:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya
dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka
mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah
Tuhan yang Mahaesa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha
Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (at-Taubah: 31)
Abu Bashir meriwayatkan bahwa Imam
Ja’far as-Sadiq as berkata kepada para pengikut beliau, “Kalian adalah
orang-orang yang menjauhkan diri dari ketundukan terhadap segenap aturan yang
zalim. Mematuhi seseorang yang zalim adalah sama dengan menyembahnya.”
Kitab tafsir Nur ats-Tsaqalain (vol.
5, hal 481) menyebutkan ayat lain yang berbunyi:
“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut
(yaitu) tidak menyembah- Nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita
gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku.”
(Az-Zumar (39): 17)
F. Wa
Iyyaaka Nasta’iin (Dan
kepada-Mu lah Kami Mengharap Pertolongan)
Kita tentu tidak akan pernah
mengharapkan pertolongan dari musuh-musuh-Nya atau dari seseorang yang menyebut
dirinya tuhan. sebabnya, mereka tidaklah menyembah Tuhan dan tidak akan
bersungguh-sungguh menolong orang-orang yang menyembah atau mencari Tuhan.
Jalan Allah adalah jalan lurus dan
sangat bersahaja yang dilintasi seluruh nabi. Jalan tersebut mengajarkan agar
dalam kehidupan sosial, setiap individu menjalin hubungan persaudaraan antar
satu sama lain. Lebih dari itu, jalan tersebut juga menghendaki terwujudnya
gagasan tentang kerukunan hidup bersama antarbangsa.
Sebuah sistem yang tunduk kepada Allah
swt sama sekali bersih dari tindakan pelecehan, ketidakadilan dan penindasan
terhadap sesama. Lagipula, keberadaan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan
justru sangat dijunjung tinggi.
Demi melanggengkan eksploitasinya,
hampir semua rezim dan orang yang menggenggam kekuasaan berusaha mati-matian
untuk menghapus cita-cita kemanusiaan tersebut dari benak masyarakatnya. Jadi,
bagaimana mungkin seseorang bisa mengharapkan bantuan atau dukungan dari para
perampas kekuasaan atau penjahat politik seperti itu?
Mereka (para rezim yang jahat) secara
terus-menerus menentang kebenaran dan begitu bernafsu memerangi kaum yang
beriman. Oleh sebab itu, kita harus meminta pertolongan semata-mata kepada
Allah swt dan berdiri di atas kaki sendiri serta memanfaatkan bakat dan potensi
dasar pemberian-Nya demi meraih tujuan kita.
Mempelajari prinsip-prinsip yang
mendasari ayat ini serta memahami pelbagai hubungan kompleks yang terkandung di
dalamnya, akan membuka wawasan pemikiran dan meningkatkan standar kehidupan
kita.
G. Ihdinash
Shiratal Mustaqiim (Tunjukilah
Kami Jalan Yng Lurus)
Seluruh umat manusia jelas lebih
membutuhkan Allah swt ketimbang yang lain sebagai pembimbing hidup. Dan secara
pasti, kebutuhan tersebut nampak sebagai bentuk pengharapan dalam surat
al-Fatihah, yang sekaligus menjadi prolog dari al-Quran dan juga bagian
terpenting dari shalat.
Hanya lewat bimbingan Allah swt saja
kecerdasan dan kebijaksanaan seseorang akan dimanfaatkan secara konstruktif dan
diarahkan semata-mata bagi kebaikan.
Memanfaatkan kecerdasan dan
kebijaksanaan di atas jalan kezaliman dan kebatilan tak ubahnya memberikan
lampu kepada seorang pencuri di tengah kegelapan atau membiarkan orang gila
dengan sebilah pisau belati nan tajam di tangannya. Jalan kebenaran adalah
jalan yang sangat menyenangkan, yang melazimkan seseorang melangkah maju dan
memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia.
Para nabi Allah lah yang telah
merintis dan melintasi jalan ini. Dengan melintasi jalan ini, niscaya seseorang
akan menapaki kemajuan dirinya dan tanpa kesulitan mampu mencapai tujuan
akhirnya yang mulia.
Hal ini sangatlah masuk akal.
Sebabnya, sudah menjadi ketetapan hidup bahwa seseorang harus mengembangkan dan
meningkatkan kualitas dirinya semaksimal mungkin.
Dan apabila semua itu dijalankan
dengan sungguh-sungguh, niscaya akan tercipta kemakmuran, kebebasan, sikap
saling menghargai, dan rasa persaudaraan dalam tubuh masyarakat. Dengan
demikian, segenap musuh besar kemanusiaan pun akan segera binasa. Bagaimana
cara mengenali jalan ini dan membedakannya dari segenap jalan yang menyesatkan?
Al-Quran menyajikan gambaran yang
paling ringkas sekaligus paling gamblang dalam ayat berikutnya, yang akan kita
bahas di bawah ini.
H.
Shiraathal Ladhiina An’amta ‘Alaihim (Jalan
Orang-orng Yang Engkau Ridhai)
Siapakah orang-orang yang diridhai dan
dirahmati-Nya? Dalam hal ini, yang disebut dengan rahmat-Nya bukanlah martabat,
kesehatan, dan harta yang dimiliki seseorang.
Seabnya, kita acapkali menyaksikan
bagaimana musuh-musuh besar Allah swt dan para sekutunya hidup bergelimang
kekayaan, kedudukan, serta segenap hal lainnya yang bersifat material. Makna
rahmat atau anugerah Allah swt tentunya jauh lebih tingi dan lebih bernilai
dari sekadar itu, seperti luasnya wawasan berpikir, kebijaksanaan, dan
kedalaman spiritual. Sungguh sangat beruntung orang-orang yang memperoleh
segenap nikmat anugerah tersebut; mereka akan benar-benar menghargai serta
menyayangi segenap makhluk ciptaan-Nya, termasuk terhadap dirinya sendiri.
Dalam sejumlah ayat, al-Quran menyebut
mereka sebagai:
“Barangsiapa yang menaati Allah dan
Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi
nikmat oleh Allah, yaitu; nabi-nabi, para shiddiqin[10],
orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang shalih…” (an-Nisa’: 69)
Sesungguhnya ketika membaca ayat yang
tercantum dalam surat al-Fatihah ini, seorang hamba tengah berharap kepada
Allah swt untuk menuntunnya di atas jalan para nabi, para shiddiqin, para
syuhada, dan orang-orang yang shalih. Jalan ini telah terbentang sejak
dululkala dan telah banyak dilintasi orang-orang terkemuka dalam sejarah. Dan
adalah teramat jelas, ke mana muara akhir dari jalan tersebut.
Namun bagaimanapun juga, disamping
jalan ini terbentang pula jalan lain yang dilintasi sebagian orang. Setiap
orang yang beriman kepada Allah niscaya akan berlepas diri dari jalan tersebut
serta dari orang-orang yang melintasinya. Dirinya benar-benar takut terhempas
atau tergoda untuk berjalan di atas jalan tersebut. Ya, itulah jalan yang
dimurkai Allah swt.
I. Ghairil
Maghdhubi ‘Alaihim (Bukan
Jalan Orang-orang Yang Engkau Murkai)
Siapakah orang-orang yang membangkitkan
kegusaran dan kemurkaan Allah swt?
Sungguh teramat banyak! Di antaranya
adalah orang-orang yang menentang Allah serta orang-orang korup yang senantiasa
menjerumuskan orang-orang dungu ke dalam kubangan dosa. Termasuk juga para
penindas yang suka memaksa dan menekan orang-orang untuk berbuat keburukan dan
kejahatan, ara tiran, para pendusta, dan orang-orang culas.
Sepanjang sejarah, para diktator dan
penindas selalu hidup bermewah-mewah di atas penderitaan serta kehinaan orang
banyak.
Ini sekaligus bisa dijadikan bukti
bahwa kemurkaan Allah secara khusus hanya ditujukan kepada orang-orang yang
secara sadar dan sengaja berbuat dosa; bukan kepada orang-orang yang secara
tidak sengaja dan tidak sadar melakukan kekeliruan atau dosa.
Sejarah menunjukkan bahwa pada umumnya
orang-orang kaya dan orang-orang yang menggenggam kekuasaan di tangannya
memiliki keyakinan agama yang begitu dangkal. Bahkan beberapa di antaranya sama
sekali tidak memilikinya. Di samping kedua kelompok terkutuk tersebut, terdapat
pula kelompok ketiga yang juga menjadi sasaran kutukan. [11] Isi
ayat penutup (dalam surat al-Fatihah) sesungguhnya merujuk kepada kelompok
terakhir ini.
J.
Waladhdhaalliin (Juga Bukan
Jalan Orang-orang Sesat)
Siapapun yang menapaki jalan selain
jalan Allah –lantaran kebodohan atau mengikuti orang-orang sesat yang
dsangkanya melangkah di jalan benar- niscaya kelak akan menjumpai situasi yang
tidak diinginkan. Banyak orang di masa lalu yang mengikuti, mempercayai,
mengagumi, dan menobatkan pemimpinnya secara membabi-buta. Apa akibatnya?
Ya, orang-orang tersebut malah
terjerumus ke jurang kesengsaraan lantaran perilaku kotor pada pemimpinnya itu
di kemudian hari. Namun sayang, orang-orang tersebut sudah betul-betul terikat
dengan jalan pilihannya sendiri dan akalnya juga sedemikian terbelenggu
sehingga menjadikannya tidak mengindahkan sama sekali risalah kebenaran yang
dikumandangkan para nabi Allah.
Seraya
berlepas diri dari jalan serta cara-cara yang dipraktikkan kedua kelompok (yang
tidak diridhai Allah dan yang sesat) di atas, seorang hamba pada akhirnya harus
menentukan jalan yang akan dilaluinya.
Dengan
mempelajari dan menilai keberadaan dirinya, seseorang niscaya akan menemukan
jalan pilihannya yang terbaik; jalan para nabi. Saat itu, dirinya akan
mengucapkan, “Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin (segala puji bagi Allah, Tuhan
semsta alam).”[12]
Dengan membaca
surat al-Fatihah yang merupakan surat pembuka dari al-Quran ini, maka pada
dasarnya bagian utama dari ibadah shalat telah dilaksanakan secara sempurna.
Sebagaimana
yang berlaku dalam sebuah prolog (pembukaan), surat ini (yang berposisi sebagai
prolog) merangkum seluruh gagasan utama al-Quran. Bila ibadah shalat merupakan
intisari Islam, maka surat ini merupakan intisari dari keseluruhan isi
al-Quran.
Tema-tema
penting al-Quran yang terdapat dalam surat ini adalah sebagai berikut:
1- Alam
semesta serta seluruh keberadaan di dalamnya semata-mata milik Allah swt
(Rabbil ‘Aalamiin).
2- Setiap
orang dan setiap sesuatu senantiasa berada dalam lingkup kasih sayang-Nya
(Ar-Rahman), terlebih orang-orang yang menyembah-Nya (Ar-Rahim).
3- Kehidupan
seseorang tidak berakhir begitu saja berkat kematian, melainkan terus berlanjut
dan Allah secara mutlak bertindak sebagai pengawas (Maliki Yaumiddin).
4- Umat
manusia harus dibebaskan dari belenggu perbudakan duniawi dan diserukan untuk
tidak menyembah papun kecuali Allah swt. Dan berkat usaha ini, kelak akan
tercipta kesejahteraan hidup bagi umat manusia (Iyyaka Na’budu).
5- Seseorang
harus senantiasa mengharap bimbingan Allah dalam mencari jalan hidup yang
hakiki (Ihdinashshiratal Mustaqim).
6- Seseorang
harus mampu membedakan mana kawan dan mana lawan (musuh), dan menyikapi
masing-masing kelompok (kawan maupun lawan) sesuai dengan keyakinannya
(Shiratalladhina).
[1] Jalaluddin Rumi, Matsnawi, (terj.) Reynold A. Nicholson, jilid V; hal. 2049-2050.
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (an-Nisa’: 103)
[4] Dari Fadhl bin Syadhan, Imam Ali ar-Ridha as berkata, “Sesungguhnya diperintahkan kepada manusia untuk membaca surat (dari al-Quran) dalam shalat agar al-Quran tiak sampai ditinggalkan atau dilupakan. Dan (membaca al-Quran) merupakan sebuah pelajaran. Oleh karena itu, janganlah kalian meninggalkan dan melupakannya.”
[5] “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (al-Ankabuut: 45)
[7] “…rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (al-A’raf: 156) Dalam doa ma’tsur (diriwayatkan dari imam), dikatakan, “Rahmat Allah melebihi kemurkaan-Nya.”
[8] Berdasarkan al-Quran surat al-A’raf (ayat 59 – 158) dan surat Huud (ayat 50 – 84), kita melihat bagaimana sejumlah nabi di masa lalu selalu menggunakan perkataan ini di awal dakwahnya.
[11] Dalam al-Quran, terdapat beberapa sebutan khusus bagi kelompok ini pada situasi yang berlainan. Lihat surat at-Taubah (ayat 91 – 102), Shaad (58 – 61), Ibrahim (21 -22) dan al-Mukminun (47 – 48).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar