Minggu, 21 Oktober 2012

Konsep Al Fatihah




A. Bismillahir Rahmanir Rahim (Dengan nama Allah Yang Mahapengasih Mahapenyayang)


Dengan nama Allah yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu dan kemurahan-Nya bersifat kekal nan abadi. Kalimat bismillahirrahmanirrahim merupakan pembuka setiap surat dalam al-Quran dan seyogianya dibaca seorang muslim sebelum memulai setiap aktifitasnya. Sungguh teramat penting untuk memulai segala sesuatu dengan nama Allah yang Mahaagung.

Dimulai dan diakhirinya kehidupan seseorang harus disertai dengan mengucapkan nama Allah swt. Seorang muslim akan memulai hari-hari kehidupannya di dunia ini dengan menyebut nama Allah swt.

Dan dirinya juga harus mengakhiri aktifitas sehari-harinya dengan menyebut nama-Nya. Ia pergi tidur seraya mengingat dan mengharap pertolongan Allah swt; demikian pula ketika dirinya bangun di pagi hari untuk memulai kembali kegiatan rutinnya. Akhirnya, ia meninggalkan kehidupan di dunia fana ini, untuk kemudian melangkah menuju keabadian, dengan menyebut nama Allah swt.


B. Alhamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin (Segala Puji Bagi Allah Tuhan Semesta Alam)


Segala puja-puji hendaknya dipanjatkan ke hadirat Allah swt karena seluruh keagungan hanyalah milik-Nya dan segenap rahmat hanya tercurah dari-Nya. Segenap kebajikan dan kesempurnaan hanya kembali kepada-Nya.


Dengan memuji Allah swt, sesungguhnya kita tengah memuji kebaikan dan kesempurnaan mutlak. Dan semua itu niscaya akan menuntun kita dalam menggapai kesempurnaan dan kebaikan insani.


Kita harus yakin bahwa sejumlah tulang yang kuat dalam tubuh kita semata-mata berasal dari-Nya. Itulah Dia yang menciptakan kita sedemikian rupa sehingga kita mampu meraih kebajikan dan menggapai kemuliaan diri. Allah swt telah menganugerahkan kita kemampuan untuk merancang keputusan demi mencapai suatu tujuan yang penuh berkah.

Dengan anugerah Allah swt berupa kemampuan dan kecerdasan diri tersebut, manusia diharapkan dapat memanfaatkan segenap potensi fitrahnya demi menciptakan kesejahteraan bagi dirinya dan orang lain. Dan Allah swt melarang manusia untuk mementingkan dirinya sendiri dan menyia-nyiakan atai menyalahgunakan potensinya itu.


Pernyataan Rabbil ‘Alamin (Tuhan semesta alam) menyiratkan bahwasanya selain bumi ini, terdapat pula bumi-bumi lainnya yang terhubung satu sama lain.


Karenanya, orang yang beriman akan berpikir bahwasanya di jagat raya ini terdapat banyak planet, galaksi, dan sesuatu lainnya yang berada di luar jangkauan penglihatannya yang serba terbatas. Allah swt adalah Pemilik alam semesta dan segenap apa yang ada di dalamnya.


Dengan itu, wawasan berpikir seorang hamba akan semakin luas dan mendalam. Dan dirinya akan merasa bangga dan beruntung dikarenakan memiliki kemampuan untuk memahami semua itu.


Dirinya akan menjumpai kenyataan bahwa seluruh umat manusia, hewan, tumbuhan, dan segenap keberadaan lainnya di jagat raya ini semata-mata diciptakan Allah swt. Allah swt bukan hanya Tuhan dirinya, sukunya, bangsanya, atau sejenisnya semata.


Namun, Allah swt adalah juga Tuhan dari segenap planet, galaksi, dan berjuta-juta bintang di langit. Allah swt menantiasa mengawasi kita semua serta menyayangi segenap ciptaan-Nya; mulai dari yang terkecil (seperti semut), sampai yang paling besar sekalipun (galaksi, misalnya).


Dengan meyakini konsep tersebut, seorang hamba tidak akan merasa hidup sendirian. Ia yakin bahwa dirinya merupakan bagian dari keluarga besar umat manusia serta pelbagai mekhluk lainnya. Lebih khusus lagi, ia akan memiliki hubungan yang dekat dengan maujud lain yang seolah-olah menyertainya menaiki bahtera yang sama; bahtera mana yang secara umum bergerak berdasarkan sunnatullah (ketetapan Allah).


Dengan meyakini bahwa dirinya memiliki keterkaitan dengan makhluk lain, ia kemudian merasa berkewajiban untuk membantu dan membimbing umat manusia (ke jalan yang benar) sesuai dengan kemampuannya.

Selain itu, ia juga akan semakin terpacu untuk merenungkan dan mengkaji lebih mendalam, apa-apa yang ada di jagat alam ini. Kelak, ia akan meraih keuntungan yang melimpah-ruah dari semua itu dan akan senantiasa memanfaatkannya secara bijak, sesuai dengan fungsinya masing-masing.


C. Ar-Rahmanir Rahim (Mahapengasih Mahapenyayang)

Secara umum, kemurahan dan kasih sayang Allah swt meliputi segenap makhluk-Nya. Dengan kata lain, berdasarkan hukum alam, seluruh makhluk akan memperoleh keuntungan dari segenap pemberian Allah (Rahman).

Namun, di sisi lain, terdapat pula kasih sayang dan rahmat Allah swt yang hanya diperuntukkan bagi umat manusia, khususnya bagi orang-orang yang menyembah-Nya dan mematuhi segenap perintah-Nya.


Kemurahan khusus ini bersifat abadi dan akan menantiasa menyertai seseorang untuk selama-lamanya (Rahim). Berdasarkan itu, kita memahami bahwasanya terdapat dua jenis rahmat Allah; yang satu bersifat umum dan sementara, di mana setiap orang bisa mendapatkannya; dan satunya lagi bersifat khusus dan abadi, di mana hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang selalu memperbaiki dirinya.


Penyebutan nama Allah swt dan pengakuan atas belas kasih-Nya merupakan pernyataan pembuka dari al-Quran, shalat, dan setiap surat dalam al-Quran. Penempatan kalimat tersebut lebih menekankan sifat pengasih dan penyayang-Nya ketimbang kemurkaan dan kemarahan-Nya.

Adapun sifat yang terakhir disebutkan lebih ditujukan bagi orang-orang yang keras kepala, gemar membangkang, tidak jujur, dan berperilaku buruk. Ya, kemurahan-Nya sungguh tak terbatas dan meliputi segenap makhluk-Nya.[7]


D. Maliki Yaumid Diin (Pemilik Hari Kemudian)


Hari kemudian adalah Hari akhir. Setiap orang tentu akan mengalaminya. Baik orang-orang ateis (tidak bertuhan) dan materialis, maupun orang-orang beriman dan bertuhan sama-sama bersepakat tentang adanya Hari Akhir. Namun, setiap kelompok memiliki penafsiran masing-masing tentangnya. Kaum materialis lebih memandangnya sebagai proses mengalir dan berlalunya waktu (jam, hari, dan tahun), yang darinya kemudian terjadilah ketuaan dan kematian.


Namun, orang-orang yang beriman kepada Allah swt memiliki pandangan jauh lebih luas. Dirinya tidak menganggap bahwa kehidupan di dunia berakhir begitu saja. Sebaliknya, ia meyakini adanya Hari Pengadilan.

Hal ini meniscayakan dirinya hanya akan melakukan perbuatan yang memiliki ganjaran pahala seraya menghindari perbuatan dosa, khususnya terhadap mekhluk lain.


Sebabnya, di Hari Pengadilan kelak, ia akan ditanya tentang apa yang telah diperbuat selama hidup di dunia. Seseorang yang berpandangan demikian niscaya akan berusaha menjaga perilakunya dan tetap menyandarkan harapannya semata (kepada Allah swt) sampai kapan pun. Mengingat bahwa dirinya kelak akan dibangkitkan di hadapan Allah swt, penguasa Hari Pengadilan, seorang hamba tentu akan berusaha untuk mengarahkan perhatiannya semata-mata kepada Allah swt dan hanya berbuat demi menggapai keridhaan-Nya.


Ia mencari pengetahuan dengan tujuan meningkatkan kualitas dirinya dan juga untuk membantu manusia. Inilah perbuatan yang sesuai dengan keinginan Allah swt.


Pada sisi lain, dengan mengetahui bahwa Allah swt akan menjadi hakim absolut di Hari Pengadilan nanti, dirinya sama sekali tidak akan tertarik untuk melakukan tipu daya, penyelewengan dan kemunafikan. Ia juga akan berkeyakinan bahwa sesuatu yang diperoleh dengan cara yang keliru atau kesejahteraan hidup yang dibangun di atas dasar kezaliman tidak akan pernah menguntungkan dirinya. Sebaliknya, ia malah akan diganjar hukuman nan pedih atas perbuatannya itu. Sejauh kini kita telah membahas bagian pertama dari surat al-Fatihah yang berkenaan dengan pujian kepada Allah swt dan sifat-sifat-Nya. Bagian kedua darinya (yang akan kita bahas di bawah ini) berkenaan dengan ketundukan seorang hamba kepada Allah demi memohon keselamatan dari-Nya serta mengharap agar Allah swt membimbingnya di atas jalan yang lurus. Beberapa ajaran ideologi Islam yang bersifat mendasar juga ditetapkan dalam bagian ini.


E. Iyyaaka Na’budu (Kepada-Mu lah Kami Menyembah)


Maksudnya, segenap keberadaan kita dan apapun kemampuan kita (baik secara fisik, mental, maupun spiritual) semata-mata berada di tangan Allah swt. Dan kita wajib melaksanakan segenap perintah-Nya.

Pernyataan suci ini pada dasarnya menghendaki seorang hamba tunduk patuh di hadapan Allah swt dan membebaskan dirinya dari segenap belenggu penghambaan kepada tuhan-tuhan lain. Dirinya wajib menolak seluruh tuhan lain, terlebih tuhan-tuhan yang dalam sejarah umat menusia di masa lalu telah menciptakan pembedaan sekaligus penindasan di tengah-tengah masyarakat. Setiap orang yang beriman tentunya selalu berpikiran maju.


Ia beserta orang-orang beriman lainnya tidak akan pernah tunduk kepada orang lain atau sistem tertentu, kecuali orang atau sistem tersebut berpijak di atas jalan yang diridhai Allah swt.


Prinsip utama dalam Islam serta segenap agama langit lainnya adalah tidak menyembah apapun kecuali Allah swt dan hanya tunduk patuh kepada-Nya.

Sejumlah orang tidak memahami makna yang sebenarnya dari prinsip ini dan secara tidak sadar menyembah makhluk lain. Mereka menganggap bahwa hanya dengan berdoa kepada Allah swt dan mengingat nama-Nya, dirinya telah menyembah semata-mata kepada Allah swt.


Dalam pandangan al-Quran dan hadis Nabi saw, cara berpikir semacam itu jelas keliru. Makna penyembahan atau pemujaan dalam al-Quran dan juga hadis Nabi saw adalah kepatuhan dan ketundukan mutlak terhadap segenap perintah. Perintah tersebut bisa berasal dari sumber tersendiri ataupun kolektif.


Dan dalam menunaikan ibadah shalat, seseorang bleh jadi menyertakan ketundudukannya, atau bahkan tidak sama sekali. Karena itu, siapapun yang tunduk serta melaksanakan perintah seorang penguasa atau sistem yang zalim yang tidak mendasari dirinya di atas hukum-hukum Allah swt, tak lain dari pengikut dan pendukung sang penguasa atau sistem tersebut.


Dan bila orang-orang seperti itu mengabaikan beberapa ketentuan (penguasa atau sistem yang zalim) dalam kehidupan pribadi atau sosialnya untuk kemudian menyembah Allah swt, maka sesungguhnya mereka adalah kaum politeis (menyembah lebih dari satu tuhan.


Adapun jika tidak pernah menyembah Allah swt sama sekali, maka mereka tergolong orang-orang yang kafir (orang-orang yang menyangkal keberadaan Tuhan atau bertingkah laku seolah-olah Tuhan tidak ada).

Dengan ditopang pengetahuan tentang Islam, kita dengan mudah dapat menemukan alasan tentang mengapa seluruh agama langit sebelum Islam sangat menjunjung semboyan dasar laa ilaaha illallah (tidak ada Tuhan kecuali Allah).[8] Kita juga akan memahami apa yang mereka katakan, apa tujuan utamanya, dan siapa-siapa yang menentang.


Konsep yang berkenaan dengan persoalan penyembahan yang acapkali dinyatakan dalam al-Quran dan hadis Nabi saw[9] ini kiranya sangatlah jelas sehingga dipastikan akan menghapus keraguan yang muncul dalam benak intelektual. Sebagai contoh, al-Quran mengatakan:

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Mahaesa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (at-Taubah: 31)

Abu Bashir meriwayatkan bahwa Imam Ja’far as-Sadiq as berkata kepada para pengikut beliau, “Kalian adalah orang-orang yang menjauhkan diri dari ketundukan terhadap segenap aturan yang zalim. Mematuhi seseorang yang zalim adalah sama dengan menyembahnya.”

Kitab tafsir Nur ats-Tsaqalain (vol. 5, hal 481) menyebutkan ayat lain yang berbunyi:

“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- Nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku.”  (Az-Zumar (39): 17)


F. Wa Iyyaaka Nasta’iin (Dan kepada-Mu lah Kami Mengharap Pertolongan)


Kita tentu tidak akan pernah mengharapkan pertolongan dari musuh-musuh-Nya atau dari seseorang yang menyebut dirinya tuhan. sebabnya, mereka tidaklah menyembah Tuhan dan tidak akan bersungguh-sungguh menolong orang-orang yang menyembah atau mencari Tuhan.


Jalan Allah adalah jalan lurus dan sangat bersahaja yang dilintasi seluruh nabi. Jalan tersebut mengajarkan agar dalam kehidupan sosial, setiap individu menjalin hubungan persaudaraan antar satu sama lain. Lebih dari itu, jalan tersebut juga menghendaki terwujudnya gagasan tentang kerukunan hidup bersama antarbangsa.


Sebuah sistem yang tunduk kepada Allah swt sama sekali bersih dari tindakan pelecehan, ketidakadilan dan penindasan terhadap sesama. Lagipula, keberadaan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan justru sangat dijunjung tinggi.


Demi melanggengkan eksploitasinya, hampir semua rezim dan orang yang menggenggam kekuasaan berusaha mati-matian untuk menghapus cita-cita kemanusiaan tersebut dari benak masyarakatnya. Jadi, bagaimana mungkin seseorang bisa mengharapkan bantuan atau dukungan dari para perampas kekuasaan atau penjahat politik seperti itu?


Mereka (para rezim yang jahat) secara terus-menerus menentang kebenaran dan begitu bernafsu memerangi kaum yang beriman. Oleh sebab itu, kita harus meminta pertolongan semata-mata kepada Allah swt dan berdiri di atas kaki sendiri serta memanfaatkan bakat dan potensi dasar pemberian-Nya demi meraih tujuan kita.


Mempelajari prinsip-prinsip yang mendasari ayat ini serta memahami pelbagai hubungan kompleks yang terkandung di dalamnya, akan membuka wawasan pemikiran dan meningkatkan standar kehidupan kita.


G. Ihdinash Shiratal Mustaqiim (Tunjukilah Kami Jalan Yng Lurus)


Seluruh umat manusia jelas lebih membutuhkan Allah swt ketimbang yang lain sebagai pembimbing hidup. Dan secara pasti, kebutuhan tersebut nampak sebagai bentuk pengharapan dalam surat al-Fatihah, yang sekaligus menjadi prolog dari al-Quran dan juga bagian terpenting dari shalat.

Hanya lewat bimbingan Allah swt saja kecerdasan dan kebijaksanaan seseorang akan dimanfaatkan secara konstruktif dan diarahkan semata-mata bagi kebaikan.


Memanfaatkan kecerdasan dan kebijaksanaan di atas jalan kezaliman dan kebatilan tak ubahnya memberikan lampu kepada seorang pencuri di tengah kegelapan atau membiarkan orang gila dengan sebilah pisau belati nan tajam di tangannya. Jalan kebenaran adalah jalan yang sangat menyenangkan, yang melazimkan seseorang melangkah maju dan memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia.


Para nabi Allah lah yang telah merintis dan melintasi jalan ini. Dengan melintasi jalan ini, niscaya seseorang akan menapaki kemajuan dirinya dan tanpa kesulitan mampu mencapai tujuan akhirnya yang mulia.

Hal ini sangatlah masuk akal. Sebabnya, sudah menjadi ketetapan hidup bahwa seseorang harus mengembangkan dan meningkatkan kualitas dirinya semaksimal mungkin.


Dan apabila semua itu dijalankan dengan sungguh-sungguh, niscaya akan tercipta kemakmuran, kebebasan, sikap saling menghargai, dan rasa persaudaraan dalam tubuh masyarakat. Dengan demikian, segenap musuh besar kemanusiaan pun akan segera binasa. Bagaimana cara mengenali jalan ini dan membedakannya dari segenap jalan yang menyesatkan?

Al-Quran menyajikan gambaran yang paling ringkas sekaligus paling gamblang dalam ayat berikutnya, yang akan kita bahas di bawah ini.


H. Shiraathal Ladhiina An’amta ‘Alaihim (Jalan Orang-orng Yang Engkau Ridhai)


Siapakah orang-orang yang diridhai dan dirahmati-Nya? Dalam hal ini, yang disebut dengan rahmat-Nya bukanlah martabat, kesehatan, dan harta yang dimiliki seseorang.


Seabnya, kita acapkali menyaksikan bagaimana musuh-musuh besar Allah swt dan para sekutunya hidup bergelimang kekayaan, kedudukan, serta segenap hal lainnya yang bersifat material. Makna rahmat atau anugerah Allah swt tentunya jauh lebih tingi dan lebih bernilai dari sekadar itu, seperti luasnya wawasan berpikir, kebijaksanaan, dan kedalaman spiritual. Sungguh sangat beruntung orang-orang yang memperoleh segenap nikmat anugerah tersebut; mereka akan benar-benar menghargai serta menyayangi segenap makhluk ciptaan-Nya, termasuk terhadap dirinya sendiri.


Dalam sejumlah ayat, al-Quran menyebut mereka sebagai:

“Barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu; nabi-nabi, para shiddiqin[10], orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang shalih…” (an-Nisa’: 69)


Sesungguhnya ketika membaca ayat yang tercantum dalam surat al-Fatihah ini, seorang hamba tengah berharap kepada Allah swt untuk menuntunnya di atas jalan para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang yang shalih. Jalan ini telah terbentang sejak dululkala dan telah banyak dilintasi orang-orang terkemuka dalam sejarah. Dan adalah teramat jelas, ke mana muara akhir dari jalan tersebut.


Namun bagaimanapun juga, disamping jalan ini terbentang pula jalan lain yang dilintasi sebagian orang. Setiap orang yang beriman kepada Allah niscaya akan berlepas diri dari jalan tersebut serta dari orang-orang yang melintasinya. Dirinya benar-benar takut terhempas atau tergoda untuk berjalan di atas jalan tersebut. Ya, itulah jalan yang dimurkai Allah swt.


I. Ghairil Maghdhubi ‘Alaihim (Bukan Jalan Orang-orang Yang Engkau Murkai)


Siapakah orang-orang yang membangkitkan kegusaran dan kemurkaan Allah swt?

Sungguh teramat banyak! Di antaranya adalah orang-orang yang menentang Allah serta orang-orang korup yang senantiasa menjerumuskan orang-orang dungu ke dalam kubangan dosa. Termasuk juga para penindas yang suka memaksa dan menekan orang-orang untuk berbuat keburukan dan kejahatan, ara tiran, para pendusta, dan orang-orang culas.


Sepanjang sejarah, para diktator dan penindas selalu hidup bermewah-mewah di atas penderitaan serta kehinaan orang banyak.

Ini sekaligus bisa dijadikan bukti bahwa kemurkaan Allah secara khusus hanya ditujukan kepada orang-orang yang secara sadar dan sengaja berbuat dosa; bukan kepada orang-orang yang secara tidak sengaja dan tidak sadar melakukan kekeliruan atau dosa.


Sejarah menunjukkan bahwa pada umumnya orang-orang kaya dan orang-orang yang menggenggam kekuasaan di tangannya memiliki keyakinan agama yang begitu dangkal. Bahkan beberapa di antaranya sama sekali tidak memilikinya. Di samping kedua kelompok terkutuk tersebut, terdapat pula kelompok ketiga yang juga menjadi sasaran kutukan. [11] Isi ayat penutup (dalam surat al-Fatihah) sesungguhnya merujuk kepada kelompok terakhir ini.


J. Waladhdhaalliin (Juga Bukan Jalan Orang-orang Sesat)


Siapapun yang menapaki jalan selain jalan Allah –lantaran kebodohan atau mengikuti orang-orang sesat yang dsangkanya melangkah di jalan benar- niscaya kelak akan menjumpai situasi yang tidak diinginkan. Banyak orang di masa lalu yang mengikuti, mempercayai, mengagumi, dan menobatkan pemimpinnya secara membabi-buta. Apa akibatnya?


Ya, orang-orang tersebut malah terjerumus ke jurang kesengsaraan lantaran perilaku kotor pada pemimpinnya itu di kemudian hari. Namun sayang, orang-orang tersebut sudah betul-betul terikat dengan jalan pilihannya sendiri dan akalnya juga sedemikian terbelenggu sehingga menjadikannya tidak mengindahkan sama sekali risalah kebenaran yang dikumandangkan para nabi Allah.

Bahkan hampir setiap waktu mereka menentangnya. Mereka tidak mau merenung barang sejenak pun demi melakukan perbaikan diri atau untuk keluar dari kebodohan tersebut. Disebut kebodohan karena keadaan tersebut secara total hanya menguntungkan kaum penindas dan semata-mata merugikan kaum tertindas. Adapun dengan menumpuh jalan para nabi, keadaannya akan berbalik seratus delapan puluh derajat: kaum penindas menjadi lemah, sementara kaum teritndas dan terpinggirkan semakin kuat.


Seraya berlepas diri dari jalan serta cara-cara yang dipraktikkan kedua kelompok (yang tidak diridhai Allah dan yang sesat) di atas, seorang hamba pada akhirnya harus menentukan jalan yang akan dilaluinya.

Dengan mempelajari dan menilai keberadaan dirinya, seseorang niscaya akan menemukan jalan pilihannya yang terbaik; jalan para nabi. Saat itu, dirinya akan mengucapkan, “Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin (segala puji bagi Allah, Tuhan semsta alam).”[12]




Dengan membaca surat al-Fatihah yang merupakan surat pembuka dari al-Quran ini, maka pada dasarnya bagian utama dari ibadah shalat telah dilaksanakan secara sempurna.


Sebagaimana yang berlaku dalam sebuah prolog (pembukaan), surat ini (yang berposisi sebagai prolog) merangkum seluruh gagasan utama al-Quran. Bila ibadah shalat merupakan intisari Islam, maka surat ini merupakan intisari dari keseluruhan isi al-Quran. 

Tema-tema penting al-Quran yang terdapat dalam surat ini adalah sebagai berikut:

1- Alam semesta serta seluruh keberadaan di dalamnya semata-mata milik Allah swt (Rabbil ‘Aalamiin).

2- Setiap orang dan setiap sesuatu senantiasa berada dalam lingkup kasih sayang-Nya (Ar-Rahman), terlebih orang-orang yang menyembah-Nya (Ar-Rahim).

3- Kehidupan seseorang tidak berakhir begitu saja berkat kematian, melainkan terus berlanjut dan Allah secara mutlak bertindak sebagai pengawas (Maliki Yaumiddin).

4- Umat manusia harus dibebaskan dari belenggu perbudakan duniawi dan diserukan untuk tidak menyembah papun kecuali Allah swt. Dan berkat usaha ini, kelak akan tercipta kesejahteraan hidup bagi umat manusia (Iyyaka Na’budu).

5- Seseorang harus senantiasa mengharap bimbingan Allah dalam mencari jalan hidup yang hakiki (Ihdinashshiratal Mustaqim).

6- Seseorang harus mampu membedakan mana kawan dan mana lawan (musuh), dan menyikapi masing-masing kelompok (kawan maupun lawan) sesuai dengan keyakinannya (Shiratalladhina).


[1] Jalaluddin Rumi, Matsnawi, (terj.) Reynold A. Nicholson, jilid V; hal. 2049-2050.
[2] Catatan penerjemah (Parsi ke Inggris):
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (an-Nisa’: 103)
[3] قال رسول الله ( صلى الله عليه وآله ) : الصلاة معراج المؤمن
[4] Dari Fadhl bin Syadhan, Imam Ali ar-Ridha as berkata, “Sesungguhnya diperintahkan kepada manusia untuk membaca surat (dari al-Quran) dalam shalat agar al-Quran tiak sampai ditinggalkan atau dilupakan. Dan (membaca al-Quran) merupakan sebuah pelajaran. Oleh karena itu, janganlah kalian meninggalkan dan melupakannya.”
[5] “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (al-Ankabuut: 45)
[6] Surat al-Fatihah merupakan surat pembuka dari al-Quran.
[7] “…rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (al-A’raf: 156) Dalam doa ma’tsur (diriwayatkan dari imam), dikatakan, “Rahmat Allah melebihi kemurkaan-Nya.”
[8] Berdasarkan al-Quran surat al-A’raf (ayat 59 – 158) dan surat Huud (ayat 50 – 84), kita melihat bagaimana sejumlah nabi di masa lalu selalu menggunakan perkataan ini di awal dakwahnya.
[9] Hadis dari Nabi saw dan para imam as.
[10] Orang-orang yang membuktikan keimanannya dan hidup di jalan Allah dan nabi-Nya.
[11] Dalam al-Quran, terdapat beberapa sebutan khusus bagi kelompok ini pada situasi yang berlainan. Lihat surat at-Taubah (ayat 91 – 102), Shaad (58 – 61), Ibrahim (21 -22) dan al-Mukminun (47 – 48).
[12] Dianjurkan untuk membaca frase terakhir dari surat al-Fatihah secara berulang-ulang.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar