Rabu, 24 Oktober 2012

Tafakur Umur




 
“Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya.”

“Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.” (QS. Fathir: 11).

Dalam ayat di atas, Allah SWT memberi penegasan bahwa hidup manusia di dunia adalah suatu proses panjang yang sudah tertulis dan diabadikan dalam lauh mahfudz. Dari proses penciptaan, lahirnya ke dunia, tumbuh dewasa hingga menunggu kapan panggilan-Nya menyapa.

Dalam tiap fase kehidupan itulah Allah menganugerahkan fasilitas gratis yaitu umur yang nilainya takkan sebanding dengan apa pun. Terlebih jika umur itu dikerahkan untuk melakukan hal-hal terbaik untuk Allah juga sesama guna menghadapi pertemuan dengan-Nya kelak.

Pertemuan dengan Allah diawali dengan berakhirnya jatah usia manusia di alam dunia. Sebagaimana kita tahu, kematian tidak dapat dipercepat apalagi ditangguhkan. Sejauh apa pun kaki melangkah, setinggi apapun benteng tempat persembunyian, seterpencil manapun kita hijrah ke suatu negeri, tetap ada fase kehidupan yang tidak bisa kita hindari; kematian.

Kematian bak final dari setiap perlombaan yang kita ikuti selama di dunia—hanya saja, perlombaan untuk berbuat hasanah atau maksiat—itu diserahkan sepenuhnya kepada hamba itu sendiri. Sebab hidup ialah memilih. Jalan mana yang semestinya kita pilih, harus dipertimbangkan secara matang agar penyesalan tidak timbul di kemudian hari.

Sejatinya, setiap insan ‘tahu’ bahwa dirinya akan mati dan kembali kehadirat Ilahi Rabbi, namun amat disayangkan, bekal untuk menghadapi sesuatu yang amat besar itu sering diabaikan. Persiapan menghadapi kehidupan yang sebenarnya perlu disiapkan dengan berbagai amalan yang berbuah pahala dan ridha Allah, tanpa perlu menyampingkan kewajiban-kewajiban duniawi.

“Orang yang terbaik di antara kamu bukanlah orang yang meninggalkan dunianya untuk akhirat dan yang meninggalkan akhiratnya untuk dunianya. Sesungguhnya, dunia ini ialah bekal ke akhirat dan janganlah kamu menjadi beban atas manusia.” (HR Ibnu Asakir)

“Perbanyak mengingat kematian,” begitu Rasulullah SAW memberikan anjuran kepada umatnya. Sebab, dengan mengingat kematian, kikislah perasaan tamak terhadap harta, tahta, dan cinta yang berlebih kepada sesama. Kesadaran penuh akan makna kematian, jika sudah menusuk ke relung hati, juga akan menghadirkan perasaan cukup (qanaah) dan penyerahan diri secara total kepada Allah (tawakal).

Jika kita sepakat bahwa semua milik Allah (Inna Lillah) serta semua akan kembali kepada Allah (Ilaihi Raji’un), maka nampaknya sudah jelas tugas kita di dunia. Rezeki, kematian, jodoh, semua sudah dirancang sedemikian rapi oleh Allah, namun dengan tetap berikhtiar kepada-Nya.

Kalau kita mau berpikir jernih, sebenarnya tidak ada takdir buruk untuk manusia, yang ada hanyalah manusia itu sendiri yang belum melihat sisi baik dari setiap cobaan dalam tahap-tahap kehidupan. Juga tidak ada takdir yang tidak sejalan antara apa yang ditetapkan Allah dengan apa yang kita inginkan.

Jika umur adalah amanah Allah, maka Allah jualah yang akan mengambil titipannya—sesuai waktu yang masih menjadi rahasia-Nya. Tetapkan rasa syukur jika mendapatkan apa yang kita kehendaki, dibarengi dengan rasa sabar jika apa yang kita kehendaki, belumlah Dia wujudkan hingga saat ini. Dengan syukur dan sabar, maka hidup semakin berarti. Wallahu a’lam.


Oleh: Ina Salma Febriani
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/22/mc9l9w-tafakur-umur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar