Sesungguhnya Allah adalah satu-satunya pemberi
rizki, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal itu. Karena Allah Ta’ala berfirman,
“Hai
manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang
dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi?” (QS. Fathir: 3)
“Katakanlah:
“Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah:
“Allah.” (QS. Saba’: 24)
Tidak ada yang berserikat dengan Allah dalam
memberi rizki. Oleh karena itu, tidak pantas Allah disekutukan dalam ibadah,
tidak pantas Allah disembah dan diduakan dengan selain. Dalam lanjutan surat
Fathir, Allah Ta’ala berfirman,
“Tidak
ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah; maka mengapakah engkau
bisa berpaling (dari perintah beribadah kepada Allah semata)?” (QS. Fathir:
3)
Selain Allah sama sekali tidak dapat memberi
rizki. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan
mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberikan rezki kepada
mereka sedikitpun dari langit dan bumi, dan tidak berkuasa (sedikit juapun).”
(QS. An Nahl: 73)
Seandainya Allah menahan rizki manusia, maka
tidak ada selain-Nya yang dapat membuka pintu rizki tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
“Apa
saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada
seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka
tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. dan Dialah yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fathir: 2). Itu memang benar, tidak
mungkin ada yang dapat memberikan makan dan minum ketika Allah menahan
rizki tersebut.
Allah Memberi Rizki
Tanpa Ada Kesulitan
Allah memberi rizki tanpa ada kesulitan dan
sama sekali tidak terbebani. Ath Thohawi rahimahullah dalam
matan kitab aqidahnya berkata, “Allah itu Maha Pemberi Rizki dan sama sekali
tidak terbebani.” Seandainya semua makhluk meminta pada Allah, Dia akan
memberikan pada mereka dan itu sama sekali tidak akan mengurangi kerajaan-Nya
sedikit pun juga. Dalam hadits qudsi disebutkan, Allah Ta’ala berfirman,
“Wahai
hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan
serta semua jin dan manusia berdiri di atas bukit untuk memohon kepada-Ku,
kemudian masing-masing Aku penuh permintaannya, maka hal itu tidak akan
mengurangi kekuasaan yang ada di sisi-Ku, melainkan hanya seperti benang yang
menyerap air ketika dimasukkan ke dalam lautan.” (HR. Muslim no. 2577, dari
Abu Dzar Al Ghifari). Mengenai hadits ini, Ibnu Rajab rahimahullah berkata,
“Hadits ini memotivasi setiap makhluk untuk meminta pada Allah dan meminta
segala kebutuhan pada-Nya.”[1]
Dalam hadits dikatakan, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah
Ta’ala berfirman padaku, ‘Berinfaklah kamu, niscaya Aku akan berinfak
(memberikan ganti) kepadamu.’ Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Pemberian Allah selalu cukup, dan tidak pernah berkurang walaupun
mengalir siang dan malam. Adakah terpikir olehmu, sudah berapa banyakkah yang
diberikan Allah sejak terciptanya langit dan bumi? Sesungguhnya apa yang ada di
Tangan Allah, tidak pernah berkurang karenanya.” (HR. Bukhari no. 4684 dan
Muslim no. 993)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata,
“Allah sungguh Maha Kaya. Allah yang memegang setiap rizki yang tak terhingga,
yakni melebihi apa yang diketahui setiap makhluk-Nya.”[2]
Allah Menjadikan Kaya
dan Miskin dengan Adil
Allah memiliki berbagai hikmah dalam pemberian
rizki. Ada yang Allah jadikan kaya dengan banyaknya rizki dan harta. Ada pula
yang dijadikan miskin. Ada hikmah berharga di balik itu semua. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan
Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki.”
(QS. An Nahl: 71)
Dalam ayat lain disebutkan,
“Sesungguhnya
Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya;
Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.”
(QS. Al Isro’: 30)
Dalam ayat kedua di atas, di akhir ayat Allah
berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha
melihat akan hamba-hamba-Nya”. Ibnu Katsir menjelaskan maksud penggalan
ayat terakhir tersebut, “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat
manakah di antara hamba-Nya yang pantas kaya dan pantas miskin.” Sebelumnya
beliau rahimahullah berkata, “Allah menjadikan kaya dan miskin
bagi siapa saja yang Allah kehendaki. Di balik itu semua ada hikmah.”[3]
Di tempat lain, Ibnu Katsir menerangkan firman
Allah,
“Dan
jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan
melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya
dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi
Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27)
Beliau rahimahullah lantas
menjelaskan,“Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang
mereka butuh , tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan
lainnya, serta akan bertingkah sombong.”
Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan lagi,
“Akan tetapi Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan
Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih
mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan
kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang
memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.”[4]
Dalam sebuah hadits disebutkan,
“Sesungguhnya
di antara hamba-Ku, keimanan barulah menjadi baik jika Allah memberikan
kekayaan padanya. Seandainya Allah membuat ia miskin, tentu ia akan kufur. Dan
di antara hamba-Ku, keimanan barulah baik jika Allah memberikan kemiskinan
padanya. Seandainya Allah membuat ia kaya, tentu ia akan kufur”.[5]
Hadits ini dinilai dho’if(lemah),
namun maknanya adalah shahih karena memiliki dasarshahih dari
surat Asy Syuraa ayat 27.
Kaya Bukan Tanda Mulia,
Miskin Bukan Tanda Hina
Ketahuilah bahwa kaya dan miskin bukanlah
tanda orang itu mulia dan hina. Karena orang kafir saja Allah beri rizki,
begitu pula dengan orang yang bermaksiat pun Allah beri rizki. Jadi rizki tidak
dibatasi pada orang beriman saja. Itulah lathif-nya Allah (Maha Lembutnya
Allah). Sebagaimana dalam ayat disebutkan,
“Allah
Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezki kepada yang di
kehendaki-Nya dan Dialah yang Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Asy Syura:
19)
Sifat orang-orang yang tidak beriman adalah
menjadikan tolak ukur kaya dan miskin sebagai ukuran mulia ataukah tidak. Allah
Ta’ala berfirman,
“Dan
mereka berkata: “Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak- anak (daripada
kamu) dan Kami sekali-kali tidak akan diazab. Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku
melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa
yang dikehendaki-Nya). Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Dan
sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan
kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda
disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di
tempat-tempat yang Tinggi (dalam syurga).” (QS. Saba’: 35-37)
Orang-orang kafir berpikiran bahwa banyaknya
harta dan anak adalah tanda cinta Allah pada mereka. Perlu diketahui bahwa jika
mereka, yakni orang-orang kafir diberi rizi di dunia, di akherat mereka akan
sengsara dan diadzab. Allah subhanahu wa ta’ala telah menyanggah pemikiran
rusak orang kafir tadi dalam firman-Nya,
“Kami bersegera
memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak
sadar.” (QS. Al Mu’minun: 56)
Bukanlah banyaknya harta dan anak yang
mendekatkan diri pada Allah, namun iman dan amalan sholeh. Sebagaiman dalam
surat Saba’ di atas disebutkan,
“Dan
sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan
kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal-amal saleh.” Penjelasan dalam ayat ini senada dengan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya
Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada
hati dan amal kalian” (HR. Muslim no. 2564, dari Abu Hurairah)
Kaya bisa saja sebagai istidroj dari
Allah, yaitu hamba yang suka bermaksiat dibuat terus terlena dengan maksiatnya
lantas ia dilapangkan rizki. Miskin pun bisa jadi sebagai adzab atau siksaan.
Semoga kita bisa merenungkan hal ini.
Ibnu Katsir rahimahullah ketika
menerangkan firman Allah,
“Adapun
manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya
kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila
Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku
menghinakanku“. (QS. Al Fajr: 15-16);
Beliau rahimahullah berkata,
“Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengingkari orang yang
keliru dalam memahami maksud Allah meluaskan rizki. Allah sebenarnya menjadikan
hal itu sebagai ujian. Namun dia menyangka dengan luasnya rizki tersebut, itu
berarti Allah memuliakannya. Sungguh tidak demikian, sebenarnya itu hanyalah ujian.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Apakah
mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu
(berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka?
Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 55-56)
Sebaliknya, jika Allah menyempitkan rizki, ia
merasa bahwa Allah menghinangkannya. Sebenarnya tidaklah sebagaimana yang ia
sangka. Tidaklah seperti itu sama sekali. Allah memberi rizki itu bisa
jadi pada orang yang Dia cintai atau pada yang tidak Dia cintai. Begitu pula
Allah menyempitkan rizki pada pada orang yang Dia cintai atau pun tidak.
Sebenarnya yang jadi patokan ketika seseorang
dilapangkan dan disempitkan rizki adalah dilihat dari ketaatannya pada Allah
dalam dua keadaan tersebut. Jika ia adalah seorang yang berkecukupan, lantas ia
bersyukur pada Allah dengan nikmat tersebut, maka inilah yang benar. Begitu
pula ketika ia serba kekurangan, ia pun bersabar.”[6]
Sebab Bertambah dan
Barokahnya Rizki
Takwa kepada Allah adalah sebab utama rizki
menjadi barokah. Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan
mengenai Ahli Kitab,
“Dan
sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al
Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Rabbnya, niscaya mereka akan mendapat
makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan
yang pertengahan. dan Alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan
mereka.” (QS. Al Maidah: 66)
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
“Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al A’rof: 96)
“Barangsiapa
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluark, dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq:
2-3)
“Dan
bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam),
benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang
banyak).” (QS. Al Jin: 16)
“Dan
(ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7)
Sebab Berkurang dan Hilangnya
Barokah Rizki
Kebalikan dari di atas, rizki bisa berkurang
dan hilang barokahnya karena maksiat dan dosa. Mungkin saja
hartanya banyak, namun hilang barokah atau kebaikannya. Karena rizki dari
Allah tentu saja diperoleh dengan ketaatan. Allah Ta’ala berfirman,
“Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Rum:
41).
Yang dimaksudkan kerusakan di sini—kata
sebagian ulama– adalah kekeringan, paceklik, hilangnya barokah (rizki).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Yang dimaksudkan
kerusakan di sini adalah hilangnya barokah (rizki) karena perbuatan hamba. Ini
semua supaya mereka kembali pada Allah dengan bertaubat.” Sedangkan yang
dimaksud dengan kerusakan di laut adalah sulitnya mendapat buruan di laut.
Kerusakan ini semua bisa terjadi karena dosa-dosa manusia.[7]
Yang Penting Berusaha
dan Tawakkal
Keimanan yang benar rizki bukan hanya
dinanti-nanti. Kita bukan menunggu ketiban rizki dari langit. Tentu saja harus
ada usaha dan tawakkal, yaitu bersandar pada Allah.
Dari Umar bin Al
Khoththob radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Seandainya kalian betul-betul bertawakkal
pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung
mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan
kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.”[8]
Ibnu ‘Allan mengatakan bahwa As Suyuthi mengatakan,
“Al Baihaqi mengatakan dalam Syu’abul Iman:
Hadits ini bukanlah dalil untuk duduk-duduk
santai, enggan melakukan usaha untuk memperoleh rizki. Bahkan hadits ini
merupakan dalil yang memerintahkan untuk mencari rizki karena burung tersebut
pergi di pagi hari untuk mencari rizki.
Jadi, yang dimaksudkan dengan hadits ini –wallahu a’lam-: Seandainya mereka bertawakkal pada Allah Ta’ala dengan pergi dan melakukan segala aktivitas dalam mengais rizki, kemudian melihat bahwa setiap kebaikan berada di tangan-Nya dan dari sisi-Nya, maka mereka akan memperoleh rizki tersebut sebagaimana burung yang pergi pagi hari dalam keadaan lapar, kemudian kembali dalam keadaan kenyang. Namun ingatlah bahwa mereka tidak hanya bersandar pada kekuatan, tubuh, dan usaha mereka saja, atau bahkan mendustakan yang telah ditakdirkan baginya. Karena ini semua adanya yang menyelisihi tawakkal.”[9]
Jadi, yang dimaksudkan dengan hadits ini –wallahu a’lam-: Seandainya mereka bertawakkal pada Allah Ta’ala dengan pergi dan melakukan segala aktivitas dalam mengais rizki, kemudian melihat bahwa setiap kebaikan berada di tangan-Nya dan dari sisi-Nya, maka mereka akan memperoleh rizki tersebut sebagaimana burung yang pergi pagi hari dalam keadaan lapar, kemudian kembali dalam keadaan kenyang. Namun ingatlah bahwa mereka tidak hanya bersandar pada kekuatan, tubuh, dan usaha mereka saja, atau bahkan mendustakan yang telah ditakdirkan baginya. Karena ini semua adanya yang menyelisihi tawakkal.”[9]
Rizki yang Paling Mulia
Sebagian kita menyangka bahwa rizki hanyalah
berputar pada harta dan makanan. Setiap meminta dalam do’a mungkin saja kita
berpikiran seperti itu. Perlu kita ketahui bahwa rizki yang paling besar yang
Allah berikan pada hamba-Nya adalah surga (jannah). Inilah yang Allah
janjikan pada hamba-hamba-Nya yang sholeh. Surga adalah nikmat dan rizki yang
tidak pernah disaksikan oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan
tidak pernah tergambarkan dalam benak pikiran. Setiap rizki yang Allah sebutkan
bagi hamba-hamba-Nya, maka umumnya yang dimaksudkan adalah surga itu sendiri.
Hal ini sebagaimana maksud dari firman Allah Ta’ala,
“Supaya Allah memberi Balasan kepada
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. mereka itu adalah
orang-orang yang baginya ampunan dan rezki yang mulia.” (QS. Saba’: 4)
"Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan
mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam
surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya.”
(QS. Ath Tholaq: 11) [10]
Jika setiap kita memahami hal ini, yang Allah
satu-satunya pemberi rizki dan sungguh Allah benar-benar yang terbaik bagi
kita, maka tentu saja kita tidak akan menggantungkan hati pada selain Allah
untuk melariskan bisnis. Allah Ta’ala sungguh benar-benar Maha Mencukupi. Allah
Maha Mengetahui manakah yang terbaik untuk hamba-Nya, sehingga ada yang Dia
jadikan kaya dan miskin. Setiap hamba tidak perlu bersusah payah mencari solusi
rizki dengan meminta dan menggantungkan hati pada selain-Nya. Tidak perlu lagi
bergantung pada jimat dan penglaris. Gantilah dengan banyak memohon dan meminta
kemudahan rizki dari Allah. Wallahu waliyyut taufiq.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al
Hambali, Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Muassasah Ar Risalah, 1419, 2/48
[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani,
Darul Ma’rifah, Beirut, 1379, 13/395.
[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘zhim, Ibnu Katsir,
Muassasah Qurthubah, 8/479
[4]Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/278.
[5]As
Silsilah Adh Dho’ifah no. 1774. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini dho’if.
[6] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14/347.
[7] Tafsir Al Qurthubi (Al Jaami’ li Ahkamil
Qur’an), Mawqi’ Ya’sub (sesuai standar cetakan), 14/40.
[8] HR. Ahmad (1/30), Tirmidzi no. 2344,
Ibnu Majah no. 4164, dan Ibnu Hibban no. 402. Syaikh Al Albani dalam Silsilah
Ash Shohihah no.310 mengatakan bahwa hadits ini
shahih. Syaikh Muqbil Al Wadi’i dalam Shohih Al Musnad no. 994 mengatakan
bahwa hadits ini
hasan.
[9] Dalilul Falihin,
Ibnu ‘Alan Asy Syafi’i, Asy Syamilah, 1/335.
[10] Bahasan dalam tulisan ini, kami
kembangkan dari tulisan di web: http://www.dorar.net/enc/aqadia/1241,
dengan judul: Pengaruh iman terhadap nama Allah “Ar Rozzaq”.
Dari artikel Memahami Allah Maha Pemberi Rizki — Muslim.Or.Id by null
Tidak ada komentar:
Posting Komentar