Jumat, 19 Oktober 2012

Hikmah Qurban Untuk Kita




Di Indonesia, selama ini Qurban lebih sering diartikan sebagai menyembelih hewan spt kambing, kerbau atau sapi.

“ Padahal, menyembelih hewan itu kan hanya makna simbolik dari Qurban. Makna sesungguhnya adalah bagaimana kita menyembelih EGO
, sifat RAKUS, cinta berlebihan terhadap HARTA dan JABATAN atau KEKUASAAN,”

Idhul Adha harus dijadikan mementum memperbarui semangat mau berkurban. Ber-Qurban untuk kepentingan bangsa dan negara, dan bukan justru mengurbankan bangsa dan negara untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

Qurban sebagai ritual simbolik kelanjutan pelajaran seorang Ibrahim, juga menunjukkan bahwa berbagai sandang dan status sosial sesungguhnya tak ada gunanya di mata Tuhan.

Alquran menyatakan, hanya ketakwaanlah yang diperhitungkan di sisi Allah. Maka, dengan ber-Qurban sesungguhnya adalah untuk membunuh berbagai ego tadi, yang dapat menjadi penghalang upaya ketakwaan kepada Allah. Haji dan Qurban juga sama-sama melahirkan dan menumbuhkan rasa damai dan aman, serta keduanya sama-sama membangkitkan semangat kebersamaan.

Kalau dalam konteks Indonesia kini, pelajaran apa yang paling menonjol dari peristiwa perintah ber-Qurban itu? Aspek kepemimpinan sangat fundamental pada pesan ini.

Seorang pemimpin, menurut Islam, harus melayani dan mencintai, bukan yang dilayani. Karena dia (pemimpin) sesungguhnya diberi amanat itu memang untuk melayani yang memberi amanat tadi.

Nah, ketika Idhul Adha ini yang dikumandangkan adalah takbir Allahu Akbar, Allahu Akbar. Artinya, kita diajak menghayati bahwa hanya Allahlah yang agung, Dia yang paling besar, lainnya itu kecil. Janganlah kecintaan terhadap dunia dan seisinya itu menghalangi kita untuk menghayati keagungan Allah. Karena itulah, ketika berucap Allahu Akbar, berarti yang lain itu kecil.

Dari konteks ini, hikmah terpenting itu adalah bagaimana kita dapat meneladani seorang Ibrahim dalam memimpin dan melahirkan pemimpin-pemimpin berikutnya. Anak keturunannya itu kan para pemimpin.

Bisa dibayangkan, Ismail yang begitu dicintainya kemudian ia korbankan untuk memenuhi panggilan Tuhan. Tetapi, sesungguhnya kan pada sikap dan sifat Ibrahim itu, bahwa dia sukses membunuh berbagai EGO dalam dirinya sehingga menjadi pemimpin yang melayani rakyatnya. Kita inilah yang dituntut untuk dapat menjadi Ibrahim-Ibrahim itu di tengah kondisi multikrisis sekarang ini.

Selama ini mengapa jiwa dan semangat ber-Qurban itu susah ditumbuhkan, terutama pada para elit negeri ini?

Kita harus becermin pada prosesi haji dan Qurban tadi. Dalam haji itu kan sungguh mulia nilai-nilai yang ditumbuhkan. Misalnya, haji mabrur, haji yang baik. Kata al-birr (dari kata mabrur--red) itu kan semangatnya melayani fakir miskin, menolong yang tertindas. Sekalipun orang itu berkali-kali haji tapi tak ada karya nyata, ya nggak tercapai prinsip dan nilai haji tersebut.

Nah, dalam konteks kurban, kalau kita tidak ada semangat berQurban dan mencintai, lebih-lebih kepada rakyatnya sendiri, bangsa ini akan hancur. Harus diingat, kehancuran suatu bangsa itu dimulai ketika para elite-nya berbuat fasik, zalim, maksiat, dan tidak mengindahkan hukum. Maka kehancuran akan terjadi. Ini Alquran yang berbicara (QS. 17:16). Ibarat orang tua yang memintal benang, tapi setelah rapi, dirusaknya itu pintalan. Suatu kerja keras dan panjang, lalu dihancurkan dalam waktu sepintas. Dalam bahasa sosiologi itu disebut self-destroying nation.

Memimpin adalah mencintai orang lain, dan mencintai berarti siap berkurban. Jadi, adalah syarat mutlak bagi seorang pemimpin untuk memiliki kesediaan ber-Qurban yang didorong rasa cinta terhadap sesamanya yang didasari cinta pada Allah.

Saat ini, kita tidak memiliki pemimpin yang demikian ini. Yang ada adalah kesediaan para elite dan pemimpin ber-Qurban untuk diri dan golongannya sendiri, sembari sama-sama mengklaim berQurban untuk rakyat. Mereka-mereka inilah yang sesungguhnya berandil besar dalam mengantarkan bangsa ini ke jurang kehancuran.

Jadi, pelajaran apa yang bisa diambil dari Idul Qurban ini?

Tumbuh dan kembangkan semangat ber-Qurban untuk sesama. Bangsa ini sudah terlalu capek untuk dikhianati karena kesediaan berQurban hanya untuk diri dan kelompoknya. Lihatlah para pemimpin rakyat di masa lalu. Keluar masuk penjara pun mereka lakukan untuk menegakkan keadilan, melawan penindasan, yang itu semua adalah cermin kesediaan mereka berQurban demi rakyat dan bangsanya.

Prof Dr Komaruddin Hidayat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar