Saat itu Perang Tabuk. Kondisi pasukan sudah di medan
pertarungan. Tiba-tiba seseorang berujar, “Kita belum pernah melihat
orang-orang seperti para ahli baca Alquran ini. Mereka adalah orang yang lebih
buncit perutnya, lebih dusta lisannya, dan lebih pengecut dalam peperangan.”
Siapa yang dimaksud? Tak lain adalah Rasulullah SAW beserta para sahabatnya, penggenggam risalah Alquran. Sontak Auf bin Malik RA angkat suara. “Bohong kau. Justru kamu adalah orang munafik. Aku akan memberitahukan ucapanmu ini kepada Rasulullah SAW.”
Tak berselang lama, Auf bin Malik RA pun menemui Rasulullah SAW. Beberapa saat sebelum sampai di hadapan Rasulullah SAW, Allah SWT pun telah menurunkan ayat 65-66 dari Surah At-Taubah [9].
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), niscaya mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?’ Tidak perlu kalian meminta maaf karena kalian telah kafir sesudah kalian beriman. Jika Kami memaafkan sebagian daripada kalian (karena telah bertobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena sesungguhnya mereka adalah orangorang yang selalu berbuat dosa’.” (QS At-Taubah [9]: 65-66).
Beberapa saat kemudian, orang yang melontarkan kalimat tak layak itu datang menemui Rasulullah SAW. Namun, Rasul SAW telah beranjak pergi dengan menunggang untanya.
Ibnu Umar menyaksikan bahwa orang itu terus mendekati Rasul SAW. Ia berusaha menggapai sabuk pelana unta Rasul dengan menggunakan kakinya. Akibatnya, ia tak memerhatikan kondisi di depan hingga tersandung batu.
Dalam kondisi begitu, ia mengutarakan pembelaan diri. “Wahai Rasulullah, sebenarnya kami tadi hanya bersenda gurau dan mengobrol, sebagaimana obrolan orang-orang yang berpergian jauh untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan kami yang sangat jauh dan melelahkan.”
Mendengar itu, Rasulullah hanya menjawab singkat dengan sebuah kalimat tanya. “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Keterangan ini dijelaskan dalam Jami’ul Bayan fi Ta’wil Ayyil Qur’an 14/333-335, Tafsir Ibnu Abi Hatim 6/1829-1830, dan Ad Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur 4/230-231.
Dari riwayat Ibnu Umar, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, dan Qatadah, sebagaimana yang disampaikan Imam Ath-Thabari, Ibnu Hatim, Ibnu Mundzir, dan Jalaluddin As- Suyuthi tersebut, kita dapat mengambil pesan tentang batasan canda dalam hal beragama.
Bahwa beragama ini terkait erat dengan keimanan, dan keimanan bukan hanya keyakinan hati, melainkan merupakan ikrar dengan lisan kita dan bukti dengan amal kita. Di sinilah, kemudian kita perlu berhati-hati dengan canda.
Sebab, canda ada batasannya. Terlebih, bila bersangkutan dengan keimanan, tentang apa yang kita imani, dan tentang apa yang perlu kita tampilkan dari iman itu.
Siapa yang dimaksud? Tak lain adalah Rasulullah SAW beserta para sahabatnya, penggenggam risalah Alquran. Sontak Auf bin Malik RA angkat suara. “Bohong kau. Justru kamu adalah orang munafik. Aku akan memberitahukan ucapanmu ini kepada Rasulullah SAW.”
Tak berselang lama, Auf bin Malik RA pun menemui Rasulullah SAW. Beberapa saat sebelum sampai di hadapan Rasulullah SAW, Allah SWT pun telah menurunkan ayat 65-66 dari Surah At-Taubah [9].
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), niscaya mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?’ Tidak perlu kalian meminta maaf karena kalian telah kafir sesudah kalian beriman. Jika Kami memaafkan sebagian daripada kalian (karena telah bertobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena sesungguhnya mereka adalah orangorang yang selalu berbuat dosa’.” (QS At-Taubah [9]: 65-66).
Beberapa saat kemudian, orang yang melontarkan kalimat tak layak itu datang menemui Rasulullah SAW. Namun, Rasul SAW telah beranjak pergi dengan menunggang untanya.
Ibnu Umar menyaksikan bahwa orang itu terus mendekati Rasul SAW. Ia berusaha menggapai sabuk pelana unta Rasul dengan menggunakan kakinya. Akibatnya, ia tak memerhatikan kondisi di depan hingga tersandung batu.
Dalam kondisi begitu, ia mengutarakan pembelaan diri. “Wahai Rasulullah, sebenarnya kami tadi hanya bersenda gurau dan mengobrol, sebagaimana obrolan orang-orang yang berpergian jauh untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan kami yang sangat jauh dan melelahkan.”
Mendengar itu, Rasulullah hanya menjawab singkat dengan sebuah kalimat tanya. “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Keterangan ini dijelaskan dalam Jami’ul Bayan fi Ta’wil Ayyil Qur’an 14/333-335, Tafsir Ibnu Abi Hatim 6/1829-1830, dan Ad Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur 4/230-231.
Dari riwayat Ibnu Umar, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, dan Qatadah, sebagaimana yang disampaikan Imam Ath-Thabari, Ibnu Hatim, Ibnu Mundzir, dan Jalaluddin As- Suyuthi tersebut, kita dapat mengambil pesan tentang batasan canda dalam hal beragama.
Bahwa beragama ini terkait erat dengan keimanan, dan keimanan bukan hanya keyakinan hati, melainkan merupakan ikrar dengan lisan kita dan bukti dengan amal kita. Di sinilah, kemudian kita perlu berhati-hati dengan canda.
Sebab, canda ada batasannya. Terlebih, bila bersangkutan dengan keimanan, tentang apa yang kita imani, dan tentang apa yang perlu kita tampilkan dari iman itu.
Oleh: M Irfan Abdul Aziz
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/02/mb9lto-bercanda-ada-batasnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar