Selasa, 02 Oktober 2012

Menggapai Hidup Bahagia




Siapapun dan apapun jabatan kita, berapapun harta yang kita miliki, di manapun kita berada, sesungguhnya capaian puncak kehidupan adalah kebahagiaan. Siapapun orangnya itulah yang dicari. Bahwa mungkin melalui kekayaan, melalui kedudukan, melalui kesejahteraan, tetapi ending pointnya adalah kebahagiaan. Kebahagiaan adalah kesenangan batin yang bersifat permanen, dan relative dalam jangka panjang. Kebahagiaan adalah sesuatu yang membuat orang serba nyaman dalam menjalani kehidupan. Apakah kaya, atau miskin, apakah dia punya jabatan atau tidak, mereka yang berbahagia, pastilah dia enjoy, rileks, tenang, senang, nyaman dan merasa aman dalam menjalani hidup ini. Dengan demikian bagi orang yang beriman tentu ibadahnya semakin bagus. Akan sangat berbeda orang yang sama-sama beriman bahagia dengan yang tidak, kualitas ibadahnya berbeda. Yang tidak bahagia dalam menjalani ibadah mungkin hanya sekedar atau cuma ikut-ikutan, sehingga terasa kering kehidupannya. Sedang yang bahagia tentu akan mengarah kepada kualitas lebih baik.

Pada awal bulan Maret kemaren lembaga survey dari Canada mengadakan penelitian. Lembaga ini adalah lembaga survey internasional yang diakui kredibilitasnya. Dia mengadakan survey terhadap penduduk di 24 negara. Dengan responden sekitar 18 ribu orang. Lembaga ini ingin mengetahui negara mana yang penduduknya merasa paling bahagia.

Dan hasilnya sangat mengejutkan. Karena lembaga ini menyimpulkan, bahwa bangsa yang paling bahagia di dunia ini adalah bangsa Indonesia. Yang lebih mengejutkan lagi, di samping rankingnya nomor satu, nilainya di atas 60%. Ranking kedua India, tetapi di bawah 50%. Ranking ketiga, Meksiko, 40%. Sedang ranking paling bawah adalah Hongaria. Ranking dua dari bawah adalah Korea Selatan. Dan yang amat mencengangkan adalah negera Amerika, Inggris, Prancis, Italia, Jerman, Jepang, termasuk negara-negara yang tidak bahagia, yang prosentasenya di bawah 10%. Padahal kita ketahui bahwa kita bangsa Indonesia mengagumi mereka, meniru mereka, membangga-membanggakan mereka. Apa yang dia katakan nya dan diperbuat, kita tiru agar kita juga dikatakan maju dan modern. Kita merasa bangga kalau sudah meniru apa yang mereka perbuat. Sampai-sampai mereka memakai pakaian nggembel juga ditiru. Padahal dengan survey itu membuktikan, bahwa mereka yang kaya materi, pada umumnya tidak merasa bahagia. Karena pada umumnya orang kaya itu merasa kurang, bahkan di negara-negara yang kaya, banyak kasus bunuh diri. Dan tentu kita tahu, bahwa orang yang bunuh diri itu tentu susah, gelisah, artinya tidak bahagia. Di Jepang banyak kasus bunuh diri. Bahkan di negara Korea, ada seorang pemilik pabrik mobil mati bunuh diri. Di Amerika pernah ada survey membuktikan bahwa angka kematian di sana pernah mencapai 36 persen bunuh diri, jadi kalau ada orang mati sebanyak 100 orang, yang 36 orang mati dengan cara bunuh diri.

Dari survey itu ternyata, rata-rata yang mengaku bahagia adalah orang yang tingkat ekonominya menengah ke bawah. Atau bisa dikatakan orang miskin. Begitu juga di negara lain. Kita patut bersyukur kepada Allah SWT, di mana negara yang mayoritas penduduknya Islam ini, bahkan komunitas muslim terbesar di dunia ini adalah yang paling bahagia. Apapun, dan bagaimanapun yang terjadi dalam kehidupan. Yang jelas, bahagia atau tidak, indikasinya bukan jabatan, bukan kekayaan, tetapi sikap hidup. Oleh karena itu, marilah kita perbaiki, kita evaluasi, sikap hidup kita, supaya bisa merasa bahagia. Karena itulah yang sesungguhnya kita cari dalam hidup ini. Yang ideal kaya dan bahagia, tetapi yang seperti ini tidak banyak. Kalau bisa jangan miskin tidak bahagia. Islam tidak menganjurkan miskin atau kaya, tetapi Islam menganjurkan berbagi (ith’aamul miskiin).

Setelah saya telisik, saya renungkan terhadap hasil survey tersebut, saya menemukan dua poin yang menjadi bangsa Indonesia bahagia.

Pertama, bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini punya karakter sosial Qanaah (menerima apa adanya). Umumnya orang Indonesia qanaah, tidak gampang mengeluh, nriman, seleh,apapun yang terjadi. Sehingga apapun yang terjadi jika itu sudah terjadi, maka diterima dengan rela. Mengapa bisa menerima? Karena bertaqwa, berTuhan, mempunyai kesadaran agama. Untuk itu, saya mengajak untuk bisa mempunyai karakter seperti ini. Contoh simpelnya, jika suatu saat kita tidak punya uang, maka jika kita menerima atau tidak menerima, tetap tidak punya uang. Karena sama-sama tidak mempunyai uang, maka akan menguntungkan jika bersikap menerima dengan lapang dada, kemudian berusaha, daripada berkeluh kesah, sambat, ngresulo, yang ujungnya akan meyiksa diri sendiri. Memang tetap tidak punya uang, tetapi hati ini akan ridho, lapang, legowo. Dan inilah yang dinamakan hati yang bahagia. Begitu juga jika pada suatu saat terkena musibah, sakit dlsb. Jadi menanamkan jiwa qanaah (menerima apa adanya) dalam kondisi menyenangkan atau tidak menyenangkan, hendaknya diterima.

Kedua, bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini punya karakter sosial Syukur. Bahkan ada anekdot, kalau ada orang kakinya terantuk kerikil, dia katakana : “Alhamdulillah hanya terantuk”. Kalau kemudian berdarah dia masih mengatakan : “Alhamdulillah hanya berdarah”. Kalau kemudian menjadi luka, dia masih juga mengatakan : “Alhamdulillah hanya luka”. Kalau dia jatuh kemudian kakinya patah, dia juga masih mengatakan : “Alhamdulillah hanya patah”. Bahkan sampai parah pun dia masih juga ada kata syukurnya. Walaupun ini cuma anekdot, tetapi ini pantas menjadi karakter bangsa Indonesia. Sikap seperti inilah dalam rangka memupuk rasa syukur, di mana ini merupakan puncak kebahagiaan. Di dunia ini, orang yang paling bahagia adalah orang yang pandai bersyukur. Bukan yang paling tinggi pangkatnya, bukan yang paling banyak hartanya, bukan yang paling ganteng atau cantik. Allah SWT menjanjikan orang yang pandai bersyukur akan ditambah nikmat yang ada padanya. (QS Ibrahim : 7).Yang maknanya : “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".

Dua tahun lalu ada eksperimen di Amerika. Eksperimen ini memperlakukan sebanyak 60 orang penderita sakit jantung dalam stadium yang sama. 60 orang ini dibagi dua. 30 orang pertama, diobati dengan medis murni. Dan 60 kedua disamping diobati dengan medis seperti kelompok pertama, juga diberi tambahan motivasi untuk bersyukur. Artinya diberi pengertian agar mereka bersyukur atas sakit yang diderita. 

Dikatakan kepada mereka : “Yang anda derita kan jantung, tetapi anggota badan ada kan tidak, seperti mata, telinga, kaki, kepala dll kan tetap sehat, kenapa yang anda ingat hanya yang sakit, sementara anggota badan yang lain yang tidak sakit tidak diingat-ingat? maka dari itu anda perlu bersyukur, coba anda bayangkan jika seluruh anggota badan anda sakit semua”. 

Jadi, intinya disuruh mengingat-ingat anggota badan yang sehat, agar di lupa akan jantungnya yang sakit. Dan ternyata hasilnya cukup menakjubkan, yang diobati murni medis, yang sembuh hanya 1/3, sedang yang diberi tambahan motivasi yang sembuh lebih 2/3. Dengan demikian sikap mental inilah sesungguhnya bisa menjadikan obat sekaligus pencegah sakit.



Prof DR H Ahmad Zahro, MA
http://www.masjidalakbar.com/khutbah1.php?no=90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar